x

Sejumlah pengawal kerajaan se-Nusantara mengikuti puncak upacara adat Tolak Bala Nusantara di Kawasan Benteng Somba Opu, Makassar, 19 Februari 2017. Upacara ini juga untuk melestarikan budaya Bugis Makassar. ANTARA/Abriawan Abhe

Iklan

cheta nilawaty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Calalai: Pengakuan Sosial Terhadap 5 Gender

Sejak abad ke-13, Indonesia pernah mengakui secara sosial kemasyarakatan tentang gender selain perempuan dan laki laki.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Suara perempuan terdengar mendareskan tembang berbahasa Bugis kuno. Kata-kata yang dilafazkannya berisi penggambaran serta penciptaan manusia di dunia. Bahwa kehidupan manusia ditakdirkan berada di tengah tengah antara tingginya langit dan dalamnya laut. Filosofi itu tercantum dalam salah satu serat Bugis kuno, Lagaligo.

“Manuscript itu diteliti dan disimpan oleh salah satu peneliti dari Belanda di Universitas Leiden, usianya diperkirakan sebelum abad ke-13 Masehi,” ujar Sutradara Film Calalai, Kiki Febriyanti, saat pemutaran film tersebut di Paviliun 28, Ahad 14 Januari 2017.

Calalai adalah film yang mengejahwantakan apa yang terkandung dalam Lagaligo. Serat yang ditemukan di wilayah Pangkep, Sulawesi Selatan itu mengakui adanya gender lain selain perempuan dan laki laki. Dalam serat Lagaligo ada lima gender yang diakui. Perempuan, laki laki, peremuan yang berperilaku dan bekerja seperti laki laki disebut Calalai, lelaki yang berperilaku dan melakukan kerja perempuan disebut Calabai dan individu yang tak memilih keduanya disebut Bisu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

”Menurut kepercayaan suku Bugis kuno, Tuhan suka menitiske dalam raga orang orang dalam golongan bisu,” ujar Professor Nurhayati Rahman, Guru Besar Filologi di Universitas Hasanuddin. Hingga saat ini, Ia satu satunya orang yang dapat membaca serat yang usianya lebih tua dari mahabarata dan Ramayana ini.

Lagaligo sudah diterjemahkan dalam 3 jilid buku dari rencana 9 jilid. Tiga jilid pertama sudah diterjemahkan Nurhayati sejak tahun 1995 langsung dari Leiden atau dua tahun setelah diterbitkan. Kini Lagaligo sudah didaftarkan sebagai kekayaan budaya dari Indonesia ke Unesco. Tidak hanya itu, Lagaligo juga sudah dibuatkan versi digitalnya dan dapat diunduh langsung dari Lagaligo.com

Salah satu cerita  dalam Lagaligo adalah  peralihan gender dari perempuan ke laki laki atau Calalai. Cerita  ini didokumentasikan Kiki Febriyanti dalam “Calalai In The Betweeness”. Ahad kemarin film ini diputar di Paviliun 28, tempat acara Blind Date Cinema - acara nonton bareng Tunanetra dilaksanakan.

Dalam film itu, Kiki merekam sepak terjang seorrang pendeta atau bisu tertua Suku Bugis bernama Makmeli, 83 tahun. Sebagai seorang bisu, Makmeli tidak memilih salah satu gender, meski ia terlahir sebagai perempuan. Ia dipercaya masyarakat Bugis tradisional dapat menyembuhkan penyakit tak kasat mata sekaligus menggambarkan fenomena alam yang akan terjadi di masa datang.

Dalam strata sosial suku Bugis tradisional , orang  orang seperti Makmeli, dianggap sebagai mediator dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam kepercayaan mereka, Tuhan terkadang harus turun ke dunia untuk menyelesaikan masalah yang tidak dapat terselesaikan oleh manusia.

Karena menempati strata sosial yang cukup penting, seorang Bisu juga memiliki derajat yang sama di tataran pamong praja laki laki meskipun Ia perempuan. Tak jarang mereka dilibatkan pula dalam bursa politik pemilihan kepala daerah.

Sebagai seorang yang tidak tunduk pada satu gender, orang orang seperti Makmeli tidak menikah. Kehidupan mereka terpelihara dengan baik oleh masyarakat di sekitarnya. Bahkan ada salah satu Calalai yang akan menjadi calon Bisu yang enggan berinteraksi dengan laki laki atau perempuan tulen. Mereka baru terbuka dan komunikatif saat menjadi mediator di acara acara adat saja.

Dalam adegan lain di film itu, ada cerita tentang Marni. Ia adalah Calabai atau individu yang memilih sebagai perempuan walau secara biologis terlahir sebagai laki laki. Seorang pendamping pembisik saat menonton, menggambarkan sosok Marni sebagai perempuan berkerudung dengan pemerah bibir mencolok. “Meski memilih jadi Calabai, saya dapat menyelesaikan pekerjaan perempuan sekaligus laki laki dengan baik,” ujar Marni.

Filosofi lima gender dalam suku Bugis ini sudah diakui secara sosial. Mereka menganggap peralihan gender sebagai cerminan raga manusia yang hidup di antara langit dan laut. Tidak hanya di pangkep Sulawesi Selatan, beberapa pendeta Toraja juga mengadopsi prinsip gender yang sama. Meski kontroversi gender sedang terjadi dalam masyarakat, fakta sejarah tidak dapatdikesampingkan. Bahwa Indonesia pernah mengakui status gender selain perempuan dan laki laki dalam strata kemasyarakatannya sejak 700 tahun yang lalu.

Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler