x

Iklan

julkhaidar romadhon

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

BULOG Ditengah Polemik Impor Beras dan Surplus Produksi

Impor beras dan surplus produksi dua hal yang saling bertentangan. namun sekarang seakan dimunculkan isunya ke tengah publik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution meminta semua pihak berhenti memperdebatkan surplus tidaknya produksi beras. Menurutnya, pemerintah melakukan impor beras sebanyak 500.000 ton untuk meredam kenaikan harga beras saat ini.

"Jadi tolong tidak usah lagi berdebat, ini (produksi beras) surplus atau defisit. Harganya naik itu saja," ujar Darmin saat ditemui di Gedung Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (19/1). Darmin mengatakan, pihaknya tengah mendorong Badan Urusan Logistik (Bulog) mempercepat tender impor beras. Hal tersebut dilakukan agar beras impor segera sampai ke Indonesia (https://www.merdeka.com/uang/menko-darmin-tolong-tidak-usah-berdebat-lagi-soal-impor-beras.html).

Kegaduhan sebenarnya dimulai ketika pemerintah mengumumkan akan mengimpor 500 ribu ton beras khusus dari Vietnam dan Thailand. Ditunjuklah PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) bukan BULOG berdasarkan Permendag  No 1/2018. Pada hari yang sama, pemerintah mengubah kebijakan. Menurut Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution, pemerintah tetap mengimpor 500 ribu ton namun pengimpornya adalah BULOG bukan PPI. Jenis berasnya pun bukan lagi beras khusus melainkan beras umum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Senin 15 Januari 2018. “Yang mengimpor itu BULOG bukan PPI. Salah itu. Sejak jumat saya sudah suruh koreksi itu. Harus BULOG yang mengimpor”. Kalla mengatakan impor 500 ribu ton beras dilakukan untuk menambah stok beras BULOG. Tidak boleh kurang di angka 1 juta ton. Saat ini cadangan beras BULOG 930 ribu ton. “pemerintah tidak boleh mengambil risiko stok” (bisnis.tempo).  

Perubahan kebijakan pengimpor oleh pemerintah dari PPI ke BULOG akibat masukan dari banyak pihak. Salah satunya datang dari Ombudsman RI yang menilai terdapat gejala maladministrasi dalam pengelolaan data stok dan rencana impor. Selain itu, penunjukkan PT PPI sebagai pengimpor beras melanggar Perpres 48/2016 dan Inpres No.5/2015 yang mengatur bahwa institusi yang diberikan tugas impor dalam upaya menjaga stabilitas harga beras adalah Perum BULOG.

Peran BULOG dalam Proses Impor Beras

Walaupun perdebatan impor beras sudah diminta dihentikan, namun polemik yang terjadi ditengah masyarakat terlanjur terjadi. Banyak pihak yang menuding bahwa BULOG lah yang bersalah dalam proses impor beras ini. Ada beberapa argumentasi  yang sempat mengemuka ke publik antara lain pertama;  impor terjadi karena kesalahan BULOG karena tidak bisa menyerap beras yang ada alias pasif, kedua; BULOG menginginkan impor beras karena disinyalir mendapat komisi 20-30 dolar per ton dan ketiga; BULOG sengajatidak menggelontorkan stocknya besar-besaran agar harga terus melambung.

Ketiga argumentasi tersebut sangat lemah dan tidak berdasar. Hal ini bisa kita lihat, berdasarkan fakta atau bukti lapangan yang ada selama ini.

Argumentasi pertama yang mengatakan BULOG tidak aktif sehingga tidak bisa menyerap beras suangatlah tidak beralasan. Fakta membuktikan bahwa pada tahun 2008 dan 2009 BULOG pernah menyerap gabah beras petani sebanyak 4 juta ton, terbesar sepanjang sejarah. Keadaan inipun terjadi ketika krisis ekonomi global melanda negara-negara dunia dan ancaman krisis terhadap Indonesia sudah di depan mata.  Peristiwa tersebut semakin diperparah dengan harga beras dunia yang tinggi melebihi harga beras domestik.

Selain itu, BULOG juga tergabung dalam Tim Upaya Khusus (UPSUS) Padi Jagung Kedele (PAJALE) serta Serap Gabah Petani (SERGAP) yang terdiri dari Kementerian Pertanian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tujuan dibentuknya tim gabungan ini adalah tidak lain untuk mengoptimalkan penyerapan hasil gabah beras yang telah diproduksi oleh petani. Tim ini juga dibentuk tidak hanya di tingkat pusat, namun sampai tingkat Provinsi dan Kabupaten diseluruh Indonesia.

Pegawai BULOG bersama tim bahu membahu setiap hari turun ke sawah, untuk membeli gabah beras petani sesuai dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah. Semua kegiatan ini dilaporkan secara berjenjang dari daerah sampai ke tingkat pusat dan dilakukan evaluasi rutin. Dengan adanya tim yang dibentuk, sangat mustahil jika pegawai BULOG tidak bekerja optimal apalagi sampai menolak membeli gabah beras petani. Karena sudah pasti ketahuan dan pasti akan ada laporannya ke pusat bahkan diliput pemberitaan media nasional.

Dari fakta diatas, kita bisa tarik kesimpulan bahwa argumentasi pegawai BULOG tidak bekerja optimal atau pasif adalah salah besar. Pekerjaan dalam menyerap gabah beras petani merupakan pekerjaan biasa dan rutinitas, sehingga tidak perlu diajari seolah-olah pegawainya tidak tahu cara menyerap gabah beras petani.

Dari berdirinya BULOG pada tahun 1967 sampai dengan sekarang  atau sudah berusia 50 tahun, tugas utama BULOG hanya itu-itu saja. Menyerap gabah beras petani, menyimpan dan merawat di gudang hingga menyalurkannya kepada masyarakat. Sehingga, kemampuan pegawainya di lapangan tidak perlu diragukan apalagi diajari masalah menyerap dan merawat beras. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa BULOG bukanlah lembaga yang baru lahir atau terbentuk sehingga keahliannya tidak perlu diragukan lagi dalam mengurusi dunia perberasan tanah air.

Argumentasi kedua yang mengatakan bahwa BULOG menginginkan impor beras karena disinyalir banyak pihak mendapat komisi 20-30 dolar per ton juga sangat tidak tepat dan salah besar.  Dari rangkaian ihwal pembatalan impor dari PT PPI ke BULOG diatas, kita tidak melihat peran BULOG satupun. Apalagi menggunakan otoritasnya untuk mengatur dan mempengaruhi pemerintah agar impor dilaksanakan oleh BULOG. Hal ini dikarenakan, BULOG sekarang berbentuk BUMN bukan Lembaga Pemerintahan Non Kementerian (LPNK) seperti dahulu dan sudah lama terjadi sejak tahun 2003.

Artinya apa ? dengan berbentuk BUMN, BULOG sekarang hanyalah sebagai operator atau pelaksana, bukan lagi sebagai regulator atau pembuat kebijakan. Kalau dahulu kepala BULOG setingkat Menteri, namun sekarang hanyalah seorang Direktur Utama yang berada dibawah Kementerian BUMN. Kebijakan impor beras ini pasti diputuskan pada tingkat level menteri bukan pada level dirut. Semua ini bisa kita lihat, dari pernyataan yang dilontarkan Wapres Jusuf Kalla, Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.

Sehingga dapat kita simpulkan bahwa pembatalan impor dari PPI ke BULOG adalah wilayah otorisasi atau kewenangan pemerintah. Sangat jauh panggang dari api, jika publik berpersepsi bahwa BULOG menggunakan otorisasinya untuk mempengaruhi pemerintah agar impor beras tetap dilakukan oleh BULOG.   

Selain itu juga, impor beras sebanyak 500 ribu ton ini juga akan diawasi oleh pemerintah. Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan serta Pusat Pelaporan Analisis Keuangan tentu akan terus memantau dan tidak akan tinggal diam. Aliran rekening miliaran pasti akan sangat mudah tercium dan terdeteksi. Apalagi Komisi VI DPR RI akan membentuk tim agar impor ini berjalan secara transparan tanpa ada permainan “kong kali kong”.

Argumentasi ketiga adalahbahwaBULOG sengajatidak menggelontorkan stocknya besar-besaran agar harga terus melambung juga tidak beralasan. BULOG bersama Kementerian Perdagangan sampai dengan detik ini masih terus melakukan Operasi Pasar (OP). Bahkan titik operasi pasar ditambah menjadi 20.000 titik yang tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan operasi pasar beras terbesar dilakukan beberapa hari lalu oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Tidak tanggung-tanggung, beras medium yang dilepas ke pasaran sebanyak 20 ribu ton di wilayah DKI Jakarta.

Kalau kita perhatikan dengan seksama dan agak tarik mundur ke belakang, sebenarnya dalam kurun beberapa minggu terakhir Pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk menstabilkan harga beras. Berbagai cara telah dilakukan, baik oleh Kementerian Perdagangan, Bulog dan pihak Kepolisian. Operasi pasar beras dan gerakan stabilisasi harga pangan telah dilakukan besar-besaran, dan serentak di seluruh wilayah Indonesia. Peresmiannyapun sudah dimulai pada pertengahan bulan Desember tahun 2017. 

Tidak hanya itu, BULOG juga melakukan Gerakan Stabilisasi Pangan (GSP) yang juga dilakukan secara massiv di seluruh Provinsi di Indonesia. Gerakan GSP ini dilakukan dari lebaran hari raya idul fitri hingga sampai detik ini (https://www.kompasiana.com/julkhaidar/mencari-aktor-dibalik-layar-stabilnya-harga-pangan-di-pasaran_594dbb248e8f7f05537be162).

 

Komoditas yang dibawa tidak hanya beras, tetapi kebutuhan pokok lainnya seperti telur, daging, minyak goreng, bawang merah, bawang putih dan terigu.  GSP juga merupakan kegiatan tim gabungan yang terbentuk dari berbagai unsur yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Pihak Kepolisian dengan Satgas Pangannya. Kinerja tim ini sangat baik dan bisa dibuktikan, ketika Presiden memberikan apresiasi pada rakortas terhadap situasi stabilnya harga pangan di pasaran.

 

Artinya disini apa? Kinerja BULOG dalam menstabilkan harga pangan sudah diakui oleh pemerintah. Sehingga sangatlah tidak beralasan jika pegawai BULOG dicap tidak serius bekerja dan sengaja untuk tidak mengeluarkan stocknya pada saat operasi pasar agar harga tidak stabil.   

 

Resolusi Perbaikan

Melihat situasi yang bekembang sekarang, publik bisa melihat bahwa ada ketidaksinkronan antara pemerintah yang dalam hal ini Kementerian. Kebijakan yang baru saja dibuat tiba-tiba dibatalkan dengan alasan ketidak pahaman. Selain itu juga, kepentingan ego sektoral semakin terlihat disini. Perdebatan perlu tidaknya impor antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, juga semakin menunjukkan ke publik carut marutnya pengelolaan pangan tanah air. Secara tidak langsung, inilah refleksi lemahnya koordinasi dan komunikasi antar lembaga yang ada dalam pemerintahan saat ini.

 

Andaikan Badan Pangan Nasional sudah terbentuk, maka polemik diatas pasti tidak akan terjadi. Overlapping kebijakan satu dengan kebijakan yang lain juga tidak akan terdengar. Polemik data produksi dan konsumsi yang melahirkan impor sedikit demi sedikit akan sirna. Hal ini tidak lain dan tidak bukan karena pembuat kebijakan tunggal terkait masalah pangan nasional merupakan kewenangan lembaga pangan yang satu ini. Semoga kegaduhan yang terjadi dapat dijadikan pembelajaran berharga dan membukakan mata banyak pihak bahwa negeri ini butuh lembaga yang mengurusi ini semua.

 

*) Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya

  

Ikuti tulisan menarik julkhaidar romadhon lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler