x

Iklan

Noor Azasi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Desa akan Ikut Sibuk Menyambut Pilkada 2018

Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018 telah dimulai dengan prosesi pendaftaran dan penetapan pasangan calon.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selanjutnya akan ada pencocokan dan penelitian data pemilih (pencoklit), kampanye (15 Februari- 23 Juni 2018) dan pencoblosan serentak pada 27 Juni 2018. Pilkada berlangsung di 171 daerah, diantaranya 17 provinsi dan 115 kabupaten. Ribuan desa yang berada di daerah-daerah tersebut, tentu juga akan ikut terlibat. Para calon membutuhkan suara warga dari desa-desa. Tim sukses masing-masing pasangan calon akan memobilisasi warga, baik kampanye di ruang terbuka maupun dialog di ruang tertutup. Sebaliknya, desa juga perlu dukungan bupati bila kelak terpilih, melalui kebijakan, regulasi dan program yang terkait maupun langsung menyasar desa.

Berdasarkan Pasal 12 dan Pasal 22 PP Nomor 60/2014 jo PP Nomor 22/2015, bupati memiliki kewenangan untuk menetapkan Dana Desa bagi setiap desa di wilayahnya serta membuat pedoman teknis kegiatan yang didanai dengan Dana Desa dengan merujuk pedoman umum dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa). Atas dasar kewenangan ini, ada peluang bupati kepala daerah terpilih mengarahkan penggunaan Dana Desa untuk pembangunan infrastruktur tertentu yang sudah ditentukan spesifikasi dan pelaksana pembangunannya. Selain itu, desa juga berkepentingan karena adanya Alokasi Dana Desa (ADD) maupun bantuan dari bupati dan gubernur.

Melalui Permendesa Nomor 19 Tahun 2017, Kemendesa sebenarnya telah menetapkan 4 program prioritas penggunaan Dana Desa, yaitu pengembangan produk unggulan kawasan perdesaan (Prukades) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) serta pembangunan embung dan sarana olahraga desa. Penggunaannya diarahkan melalui skema swakelola dan padat karya. Misalnya, dengan alokasi anggaran pembangunan embung dan irigasi sebesar Rp 250.000.000,-. Gaji dan upah diasumsikan sebesar 30 % atau Rp 75.000.000,-. Dengan waktu pelaksanaan diasumsikan 3 bulan, jumlah hari kerja 25 hari per bulan dan upah Rp 100.000,- per hari, maka setiap kegiatan pembangunan embung dan irigasi dapat menyerap sebanyak 10 orang tenaga kerja lokal dengan pendapatan Rp 2.500.000,- per bulan selama tiga bulan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Suasana pilkada kemungkinan akan sedikit mengganggu pelaksanaan kegiatan pembangunan semacam ini. Apalagi bila sampai terjadi konflik horizontal yang membelah warga karena perbedaan pandangan maupun perbedaan pilihan pasangan calon yang didukung sebagaimana yang terjadi di sejumlah daerah pada pilkada 2017 lalu.

Pemilihan secara langsung sebenarnya bukan hal asing bagi masyarakat desa. Bukan hanya karena sebelumnya sudah mengalami beberapa kali pemilihan umum (pemilu) dan pilkada langsung. Namun banyak desa sudah melaksanakan pemilihan kepala desa (pilkades) secara langsung sejak lama. Persoalan mahar dan politik uang bisa ditarik ke belakang.

Pada pilkades di sebuah desa pantura 1990-an, lazim terdengar ungkapan tambah girik ketika ada calon yang kekurangan modal sehingga perlu pinjaman untuk menambahnya. Tak jarang, warga biasa yang mengikuti taruhan, juga menggadaikan asset berupa girik atau surat tanda bukti kepemilikan tanah karena tidak punya uang tunai. Ada yang mengeluarkan modal hingga seratus juta untuk menjadi kepada desa pada masa itu. Lebih-lebih sekarang, setelah desa memperoleh Dana Desa dan ADD.

Pada sisi lain, ada sejumlah desa yang pemimpinnya tidak dipilih secara langsung melainkan berdasarkan garis keturunan seperti kepala desa atau kepala adat pada sejumlah desa atau kampung di Maluku dan Nusa Tenggara Timur, mirip sistem monarkhi. Ada lagi yang pemilihannya secara mufakat dalam sebuah forum musyawarah adat sebagaimana praktek nagari di Sumatera Barat. Atau seperti imam, saling tunjuk sebagai kepala desa atau pambakal seperti di kampung-kampung bubuhan Banjar, Kalimantan Selatan. Di Papua, pemilu menggunakan sistem noken, dimana pemilihan suara sebuah komunitas berdasarkan perintah kepala suku.

Secara substantif, demokrasi merupakan sistem politik yang memberi ruang partisipasi dan pengakuan atas kesamaan hak rakyat dalam hukum dan pemerintahan. Namun, dengan sistem feodal dan praktek transaksional yang masih banyak terjadi di lapangan, partisipasi dan pengakuan hak rakyat terdistorsi menjadi sebatas catatan administratif dan prosedural. Apalagi sudah berkembang apatisme di kalangan rakyat. Seseorang yang memperoleh dukungan murni tanpa pamrih pun, banyak yang lupa janji-janji kampanye politiknya ketika sudah berkuasa.

Oleh karena itu para pendamping dan pegiat sosial, kader pemberdayaan masyarakat desa (KPMD) serta berbagai lembaga sosial-kemasyarakatan yang ada di desa, dapat melakukan peran kontrol dan advokasi. Dimulai dari membangun kesadaran politik masyarakat desa ketika proses pilkada sedang berlangsung, mengadakan dialog untuk memperkaya visi dan misi para calon. Dan selanjutnya mengawal agar kepala daerah terpilih tidak mengabaikan nasib rakyat, dengan selalu mengingatkan mengenai janji-janji kampanye dan hak-hak konstitusional rakyat yang harus dipenuhinya sebagai pucuk pimpinan pemerintahan daerah. Jika diperlukan, dapat melakukan kerja pemberdayaan agar masyarakat desa dapat terlibat dalam proses pembangunan daerah sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaannya pada lokasi dan sasaran yang tepat. Partisipasi berkelanjutan ini perlu dikembangkan sebagai bagian dari demokrasi.

*****

Ikuti tulisan menarik Noor Azasi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler