x

Jemaah calon haji berdoa di puncak bukit Jabal Rahmah, saat mereka tiba di Arafah untuk menjalani wukuf, di luar kota suci Mekkah, Arab Saudi, 30 Agustus 2017. Puncak ibadah haji ditandai dengan pelaksanaan wukuf di Arafah. AP/Khalil Hamra

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ongkos Ibadah Haji 2018 Naik?

Kemungkinan besar BPIH tahun 2018 naik cukup drastis, sekitar Rp 900.670 ribu atau menjadi Rp 35.790.982, disesuaikan dengan 5 persen PPN pemerintahan Arab

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah Kementrian Agama pada tahun 2017 lalu menaikkan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp 209.008 ribu sehingga total BPIH 2017 menjadi Rp 34.890.312, maka kemungkinan besar BPIH tahun 2018 naik cukup drastis, sekitar Rp 900.670 ribu atau menjadi Rp 35.790.982. Kenaikan ini menyesuaikan dengan diberlakukannya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi setiap jamaah haji oleh pemerintah Arab Saudi. Perhitungan kenaikan BPIH 2018, belum diputuskan secara resmi karena menunggu hasil rapat DPR dengan pemerintah, namun perkiraan kenaikan BPIH sudah hampir dipastikan dan tak mungkin dihindari, mengingat masih banyak komponen lainnya yang harus disesuaikan dengan kebijakan PPN 5 persen yang telah diputuskan otoritas Arab Saudi.

Sebenarnya, kenaikan BPIH yang hanya berkisar antara 3-4 persen sejauh ini tidak akan menjadi masalah bagi antusiasme jamaah haji Indonesia yang sudah menunggu antrian hingga puluhan tahun. Terlebih, pihak pemerintah Indonesia terus melakukan perbaikan dan peningkatan bagi kenyamanan warga Tanah Air selama melakukan ibadah di Tanah Suci. Berapa persen-pun kenaikan BPIH, tak akan menyurutkan niat masyarakat muslim Indonesia untuk dapat segera menunaikan rukun Islam kelima, yaitu kewajiban menjalankan ibadah haji ke Mekkah, Arab Saudi. Bagi saya, rasio BPIH yang ditetapkan pemerintah sejauh ini, masih relatif lebih murah, jika menghitung berbagai komponen biaya selama 41 hari—termasuk makan dan penginapan—plus tiket pesawat pulang-pergi Jakarta-Arab Saudi.

Sejauh ini, soal pelaksanaan ibadah haji di Indonesia kerap kali menjadi sorotan berbagai pihak, terutama soal lamanya waktu menunggu (waiting list) ibadah haji yang dikeluhkan masyarakat. Belum lagi soal polemik Dana Abadi Umat (DAU) yang berasal dari hasil uang simpanan jamaah haji yang belum diberangkatkan, malah seperti “rebutan” berbagai pemangku kepentingan. Polemik soal DAU pada akhirnya berakhir dengan dibentuknya Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 74P tahun 2017. Profesionalisme para anggota BPKH diharapkan mampu menjembatani polemik ditengah publik yang “saling mencurigai” dalam hal pengelolaan dana haji ini yang berjumlah triliunan rupiah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ibadah haji di Indonesia memang unik, selain segala sesuatunya dimonopoli pemerintah sehingga muncul fenomena haji ilegal yang tidak melalui jalur resmi yang ditetapkan, sulit juga membendung antusiasme masyarakat muslim yang tentu saja membludak ingin menunaikan ibadah haji. Konsekuensi pengelolaan dana haji yang pada akhirnya “dipaksa” keluar dari pihak Kementrian Agama dan berpindah ke tangan “swasta”, mungkin saja pada akhirnya rasionalitas biaya ibadah haji akan senantiasa menyesuaikan dan kemungkinan terus mengalami kenaikan, bukannya bertambah turun. Sejauh yang saya tahu, kekurangan-kekurangan dana operasional ibadah haji Indonesia selalu saja di-cover melalui DAU yang dilakukan pemerintah. Jika kemudian dana itu dikelola pihak lain, sulit rasanya untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang pada akhirnya beban kekurangan biaya malah ditanggung sendiri oleh setiap jamaah.

Saya justru khawatir, penyelenggaraan ibadah haji akan di “swastanisasi” sehingga berdampak pada cara pandang yang bisnis oriented, mengingat saat ini, pemerintah—melalui Kementrian Agama—hanya bertugas dalam penanganan manajemen dan operasional ibadah haji saja. Saya justru membayangkan, untuk operasional tata cara dan pelatihan manasik haji saja seringkali pemerintah terkendala biaya dan akhirnya diserahkan kepada pihak swasta yang saat ini mewujud dalam  Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH), dimana mau tidak mau setiap jamaah haji yang akan berangkat, mengeluarkan kocek tambahan untuk KBIH diluar BPIH yang ditentukan.

Keberadaan KBIH bagi jamaah haji adalah “keniscayaan”, walaupun besaran biayanya telah ditetapkan melalui Surat Edaran Dirjen PHU Kementrian Agama tak lebih dari Rp 3,5 juta, namun bisa saja menyesuaikan pada akhirnya dengan kenaikan BPIH yang setiap tahunnya meningkat. Hasil dari survei yang saya lakukan sendiri soal kenyamanan jamaah yang ikut KBIH dan non-KBIH, ternyata melalui KBIH para jamaah relatif lebih nyaman selama beribadah di Tanah Suci dibanding mereka yang tidak bergabung dengan KBIH. Kenyataan “swastanisasi” ibadah haji yang pengelolaan keuangannya diserahkan pihak lain, saya kira, akan berdampak signifikan pada akhirnya soal beban pembiayaan ibadah haji ke depan yang pasti akan selalu meningkat bahkan bisa lebih besar.

Secara kebetulan, saya termasuk yang ada dalam daftar antrian ibadah haji yang kemungkinan berangkat di tahun 2018 ini, sehingga perlu kiranya mengetahui secara lebih detil proses-proses kemudahan dan kenyamanan dalam soal ibadah haji. Saya membayangkan, jika BPIH dipatok sebesar Rp 35.790.982 dan ditambah dengan biaya KBIH sebesar Rp 3.500.000, berarti total biaya ibadah haji perorang mencapai Rp 39.290.982, hampir Rp 40 juta perjamaahnya. Walaupun saya meyakini, bahwa rasio ini tidak berlaku selama kita berniat secara tulus menjalankan ibadah, namun saya kira, alangkah lebih baiknya jika soal jaminan kenyamanan dan pengetahuan soal haji bagi para jamaah tetap dibawah pengawasan pemerintah dan tidak di-swastanisasi kepada pihak ketiga.

Sejatinya, haji adalah soal ibadah, sehingga tak dapat diukur dengan rasio pembiayaan sebesar apapun. Hal ini dibuktikan oleh panjangnya antrian pemberangkatan ibadah haji, namun tak pernah menjadi gejolak publik untuk memaksakan kehendak agar dapat diberangkatkan segera. Apalagi jika dipahami bahwa haji merupakan “panggilan” Tuhan, maka menjadi hak Tuhan-lah siapa yang pada akhirnya setiap tahun dipanggil mengunjungi Rumah-Nya. Namun, jangan pula kemudian keyakinan umat muslim terhadap keikhlasan ibadah ini, justru dimanfaatkan segelintir orang untuk mengeruk keuntungan-keuntungan ekonomi dari setiap prosesi ibadah haji. Sulit untuk tidak mengatakan, jumlah jamaah haji Indonesia yang semakin meningkat setiap tahunnya, justru bagi pihak-pihak pebisnis menggiurkan, karena mereka jelas akan mendulang rupiah, lupa kalau mereka hendak beribadah.

Saya justru meyakini, BPIH di tahun 2018 ini pasti naik dan terus mengalami kenaikan di tahun-tahun berikutnya, apalagi pengelolaan dana haji sudah ditangani pihak “swasta” diluar Kementrian Agama. mereka yang mendapatkan kesempatan berhaji di 5 atau 10 tahun mendatang, dipastikan harus menabung lebih banyak, karena seluruh kelengkapan BPKH sudah berjalan semestinya dan Kementrian Agama hanya menjalankan tugas manajerial, dari soal pendaftaran, pembagian kelompok-kelompok pemberangkatan, dan penyediaan sarana dan prasarana selama di Tanah Suci. Soal pelatihan harus dikelola pihak swasta dalam bentuk kelompok-kelompok tersendiri melalui KBIH, karena Kemenag tak memiliki kewenangan untuk menanggulangi pelatihan ibadah haji secara intensif karena memang ketiadaan biaya operasional. Meskipun saya tetap berharap, profesionalisme dan peningkatan yang lebih baik dalam tata-kelola ibadah haji, harus tetap menjadi tanggung jawab pemerintah, jika perlu negara-pun terus memberikan dukungan untuk kebaikan dan kekhusyukan para jamaah haji beribadah.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler