x

Iklan

cheta nilawaty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Film Art House di Benak Tunanetra

Art House adalah film yang menggambarkan keadaan sejujur-jujurnya, minim perpindahan setting, dengan ending cerita multitafsir

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Adham, calon mempelai pria itu mengatakan ingin bersenggama dengan Nisa, calon mempelai wanitanya. Pembicaraan itu berlangsung di bawah lampu lalu lintas di 03.00 pagi. Selama 15 min film diputar lokasi setting pengambilan gambar tak juga berpindah, masih di sekitaran lampu lalu lintas dan di atas sepeda. Dialog pun tak banyak berubah konflik nya, masih seputar hasrat Adham dan Nisa. Kami para Tunanetra yang mendengar dialog dalam film cukup tergelitik dengan dialog tersebut, tanpa tahu apa makna dibalik adegan tersebut dan masih harus menebak nebak bagaimana endingnya.

Film tersebut berjudul Pingitan karya sutradara film-film pendek, Orizon Astonia. Selain Pingitan diputar pula tiga film karya Ozon lainnya. Sama seperti Pingitan, film Ozon yang berjudul ‘Pelacur dan Seekor Anjing’, ‘, ‘Lewat Sepertiga Malam‘ serta ‘Gadis Berkerudung Hitam dan Serigala’ sama abstraknya dengan ‘Pingitan’. Film film itu tidak mengambil latar setting yang banyak, dialognya terasa sangat datar dengan konflik yang tidak mendayu-dayu atau dibuat buat. Beberapa pengamat film menyebut karya Orizon Astonia sebagai bentuk the art house-nya film Indonesia. Genre ini mengusung konflik Yang ada di sekitar kita namun tidak membumbuinya dengan dramatisasi yang berlebihan

Film film art house biasa mengusung sebuah konflik sejujur-jujurnya. Karena itu, biasanya Art house mengambil satu setting gambar dalam waktu cukup lama. Satu adegan digambarkan seditail dan semirip mungkin dengan adegan aslinya. “Tak ada sweet things atau cheezy dalam satu adegan yang disajikan,” ujar Ozon – panggilan Orizon Astonia, dalam acara Blind Date Cinema yang diadakan di Paviliun 28, Ahad 14 Januari 2018.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam kesempatan menonton itu sebenarnya ozon mengaku ingin melihat reaksi penonton Tunanetra bila disuguhkan film film art house. Meski film meninggalkan pertanyaan besar bagi orang orang yang masih memiliki pandangan, film art house ternyata cukup dapat dinikmati penonton Tunanetra. Mungkin karena film art house selalu menampilkan dialog seditail mungkin, sehingga dapat memberikan gambaran suatu adegan dengan jelas kepada penonton Tunanetra. “Saya pikir teman teman Tunanetra akan merasa bosan, ternyata malah ikut bereaksi entah tertawa atau terdiam di sepanjang film diputar,” ujar Ozon menanggapi reaksi teman teman Tunanetra usai menonton film film pendeknya.

Empat film pendek Orizon Astonia sudah diikutsertakan dalam berbagai macam festival film internasional. Memang selain dibuat tanpa bumbu drama berlebihan, ciri khas film art house adalah seringnya film film tersebut diikutsertakan dalam festival film internasional. Bila kita menonton keempat film pendek Ozon, kita seperti menonton film film lama ‘Tiga Dara’. Terutama dialognya yang menggunakan bahasa baku, film  Ozon tetap mampu menangkap drama kehidupan dengan sangat luwes.

Manonton film Ozon, saya seperti mendengar orang di sekitar saya sedang menceritakan masalah yang mereka alami. Sensasi dan emosi saya sebagai penonton Tunanetra tidak tergali sama sekali. Dalam pikiran malah berkelebat pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya tidak bisa saya dapatkan dalam film. Hampir semua film pendek Ozon berakhir dengan ending yang menggantung. Pengalaman ini seperti “belum selesai mengerjakan soal ujian sudah diberikan pertanyaan baru”.

Bagi Tunanetra yang masih mencari hiburan daari kegiatan menonton, film Orizon Astonia bukan pilihan tepat. Film art house memang diperuntukkan bagi mereka yang sudah berada pada tahap menonton film untuk kajian dan penelitian. Dari ketiga film Ozon,  hanya ‘Lewat Sepertiga Malam’ saja yang memiliki pergantian setting paling banyak. Bagi penonton dari kalangan melihat, pasti agak sedikit membosankan. Tapi bagi penonton Tunanetra seperti saya, pergantian setting yang tidak terlalu banyak semakin memfokuskan perhatian pada adegan yang disajikan.

Minimnya pergantian setting, bagi penonton Tunanetra dan pembisiknya berarti meminimalisir dialog selama film diputar. Pembisik dapat menerjemahkan gambar film dengan lebih terfokus kepada Tunanetra yang dibisikinya. Seharusnya, dengan menonton film yang minim pergantian setting, Tunanetra lebih dapat menyimpulkan sebuah cerita. Tapi sekali lagi,bila menonton film masih sebagai kegiatan hiburan, maka sensasi emosi tetap menjadi unsur terdepan dalam sebuah film.

 

kredit foto: indiewire.com

Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu