x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kematian

Kematian akan selamanya misteri dan misterius. Dan mungkin sebaiknya ia terus begitu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kematian akan selamanya misteri dan misterius. Belum pernah ada pengalaman mati yang bisa dibagi dan dirujuk. Tak pernah ada orang mati yang hidup kembali dan menceritakan proses kematiannya.

Puluhan atau mungkin ratusan bahkan ribuan risalah yang pernah ditulis tentang kematian. Dan kematian tetap saja misteri dan misterius.

Dalam ilmu mantiq, ada metode mendefenisikan sesuatu dengan cara memahami kata kontrasnya (lawan katanya). Akan mudah memahami ‘panas’, bila sudah paham ‘dingin’, atau sebaliknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi tak semua hal bisa didefenisikan, bahkan di bidang sains sekalipun. Para ilmuwan masih gagap mendefenisikan apa itu innovasi. Tiap penjelasan innovasi umumnya hanya menyebut contoh-contohnya: gadget penyimpan data dulu menggunakan disket ukuran besar dengan kapasitas yang terbatas, lalu muncul penemuan disket yang lebih mungil dengan kapasitas yang lebih tinggi, lalu muncul flashdisc dengan kapasitas jauh lebih besar: awal 2 giga, kemudian 4 giga, 8 giga, 16 giga, 32 dan seterusnya. Itulah inovasi. Majalah The Economist, beberapa tahun silam pernah menurunkan riset tentang inovasi, tapi pada akhirnya menyimpulkan: the best way to understand innovation is to know what it is not (cara termudah untuk memahami inovasi adalah dengan mengetahui yang bukan inovasi).

Bila kematian coba dipahami melalui lawan katanya, bisa dikatakan bahwa mati adalah tidak hidup. Tapi penjelasan seperti ini gampang dituding terlalu menyederhanakan sesuatu yang rumit dan tak terjangkau. Lagi pula, benarkah kita memahami tentang hidup? Jika dicermati, berbagai kajian tentang hidup sebenarnya bukan berbagi cerita tentang hidup, tapi berbagi cerita tentang kegiatan dan pengalaman dalam kehidupan. Dan itu beda.

Sejarah penelitian tentang kematian juga membuktikan bahwa defenisi mati bisa beruabah-ubah dari masa ke masa.

Awalnya, orang memahami mati jika seseorang berhenti bernapas. Namun terbuki ada orang yang tidak bernapas selama periode yang melebihi batas normal menurut medis, namun jantungnya masih berdenyut. Lalu defenisi mati pun diubah menjadi: jika jantung tak lagi berdenyut. Tapi kemudian ditemukan orang yang jantungnya tak berdenyut selama periode yang melebihi batas normal menurut ukuran medis, tetapi darahnya masih mengalir. Maka defenisi mati pun menjadi: jika darah sudah berhenti mengalir dalam tubuh.

Namun bahkan ketika nantinya, entah kapan, para ilmuwan berhasil merumuskan defenisi final tentang mati dan kematian, kita mungkin akan tetap bingung memahami proses kematian.

Roh atau nyawa yang tercerabut lalu terlepas dari fisik tubuh, belum pernah bisa diidentifikasi, tak pernah bisa digambarkan, alih-alih dijelaskan.

Sebagai perbandingan sederhana, saat menggembosi sebuah ban yang penuh angin, dan angin keluar dari ban itu, kita masih bisa merasakan dorongan atau terpaan angin atau mendengar desis angin yang terhembus keluar melalui celah kebocoran ban. Di sini kita tahu karena sebelumnya kita mengetahui dua obyek: angin dan ban yang digembosi

Tapi ketika nyawa terlepas dari fisik/tubuh, bahkan sekedar diraba dan dirasakan pun tidak. Kecuali orang yang mengalaminya sendiri. Sebab kita belum punya rujukan tentang bentuk dan rupa roh. Para ahli tarikat atau spritualis pun masih gagal menggambarkan wujud roh.

Nyawa manusia, yang kadang digambarkan sebagai “penggerak” seluruh bagian tubuh manusia (juga binantang) bekerja dengan mekanisme yang misterius.

Di kampung dulu, ketika masih di sekolah dasar, saya pernah menyaksikan seseorang yang seperti berjuang keras, mengerang kesakitan, berteriak lantang, kadang nyerocos dengan kata-kata yang tak jelas. Dan tak seorang pun bisa memastikan apakah orang itu yang menahan rohnya keluar dari tubuhnya, atau rohnya itu yang bertahan tak mau keluar dari tubuhnya. Meskipun akhirnya dia mati juga.

Ketika Islamic State (IS) masih “jago-jagonya” di wilayah Mosul Irak, pernah beredar sebuah video mengerikan: di tepian sungai Tigris, seorang anggota IS memegang pistol. Lalu memanggil satu per satu orang yang mau dieksekusi. Setiap calon korban didorong ke hadapannya, anggota IS itu menempelkan pistol di kepala korban, dan jeddderrrrr: orang yang dieksekusi itupun tumbang, langsung terhempas ke sungai Tigris. Tak terlihat ada di antara orang-orang yang diekseskusi itu yang tampak merasa kesakitan.

Cerita lain: seorang yang pernah ditugaskan menjadi anggota regu tembak dalam satu eksekusi mati bercerita begini: cukup hanya dengan sebutir peluru, yang disarangkan di dada kiri (tembus jantung) atau persis di jidat kepala (tembus otak), dan roh pun terlepas dari fisik orang yang dieksekusi.

Kematian karena itu adalah tumpukan anta-berantah. Setiap ulasan tentang kematian (termasuk artikel ini) pada dasarnya mengirim pesan: berhentilah membahas tentang kematian, sampai kau merasakannya sendiri.

Dan mungkin sebaiknya ia terus begitu. Tak terbayangkan bagaimana kisruhnya kehidupan seandainya setiap orang mengetahui kapan (waktu) dan dimana (tempat) dia akan wafat. “Tentang ruh mereka bertanya kepadamu (ya Muhammad). Katakanlah bahwa ruh itu adalah urusan Tuhanku!” (QS Al-Isra’, ayat 85).

Kematian akan selamanya misteri dan misterius. Tapi satu hal yang pasti, kita semua adalah calon mayat. Maut itu bisa menjemput kapan saja, di mana saja.

Syarifuddin Abdullah | 23 Januari 2018 / 07 Rabi’ul-awal 1439H.

Sumber ilustrasi: s1.trosjed.net.hr

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler