x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Jiwa-Jiwa Terjaga untuk Memimpin

Jiwa-jiwa yang tertidur hanyut dibuai oleh aktivitas-aktivitas non-produktif

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: Focus or Digress   

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Business and Executive Coach

 

“Setiap kali saya bicara hal jelek tentang orang lain, Ibu akan minta saya berdiri di depan cermin selama 10 menit. Kata Ibu, it's reflected badly about me,” tutur Richard Branson. “Didikan itu mengajarkan kepada saya untuk tidak pernah membicarakan kejelekan siapa pun.”

Dengan selalu melihat hal terbaik dari manusia, katanya, kita akan mendapatkan yang terbaik dari setiap pribadi. “Bagi seorang pemimpin, itu absolutely critical.”  Richard Branson adalah pendiri Virgin Group, di bawahnya bernaung 400-an perusahaan.

Selain dikenal karena memiliki cara-cara marketing dan pengembangan bisnis yang extraordinary, Richard Branson bersama Steve Jobs sering dijadikan contoh  sebagai tokoh bisnis dengan perilaku kepemimpinan yang istimewa dan sangat fokus dalam setiap proses pengembangan usaha.

Richard Branson pernah menolak diundang untuk jadi pembicara dalam suatu seminar bisnis di AS, dengan alasan acara tersebut tidak terdaftar dalam jadual tahunan dia. Kendati panitia kemudian bersedia menjemput ke lokasi dia berada dengan jet pribadi – supaya waktunya tidak terbuang di perjalanan -- dan menambah honorarium sampai ratusan ribu dolar, dia tetap menolak. Alasannya, kepergian tersebut mengganggu fokus yang tengah dikerjakannya saat itu.

Steve Jobs ketika kembali memimpin Apple Inc. 1997 dalam waktu dua tahun memangkas jumlah proyek dari 350 menjadi hanya 10 proyek baru. Gagasan-gagasan bagus bermunculan hampir tiap saat, tapi CEO dan board members Apple Inc. sepakat untuk memusatkan resources pada beberapa yang dinilai memiliki impact signifikan. Apple Inc. yang sebelumnya terancam bangkrut, berhasil bangkit kembali dan sampai saat ini termasuk deretan perusahaan tersehat di AS.

Keinginan atau godaan untuk melakukan banyak macam kegiatan dalam waktu bersamaan, apalagi jika inisiatif kegiatan baru tersebut sangat menggiurkan, dapat membahayakan organisasi, shareholders, dan stakeholders.

Kebiasaan mengubah-ubah konsentrasi dan asyik loncat-loncat ke banyak kegiatan, menurut tradisi Buddhism masuk kategori monkey mind. Penyebab timbulnya monkey mind bisa saja karena ingin dianggap pintar dalam banyak hal, atau supaya selalu dianggap tidak ketinggalan dalam setiap gossip yang bermunculan di media sosial, atau bisa juga karena tidak dapat mengendalikan diri dalam mengkonsumsi entertainment, dst.nya.

Mereka kelihatan lincah dan tangkas dalam banyak hal, tapi tidak ada hasil signifikan dalam kehidupannya, apalagi untuk organisasi. Jiwanya tertidur dalam ayunan pikirannya sendiri yang pindah-pindah konsentrasi.

Sleep is the sister of death, and the people of Paradise do not sleep,” kata Nabi Muhammad Salallahu 'alaihi wa sallam (Source: al-Mu’jam al-Awsat 938). Sleep di sini dapat ditafsirkan merujuk pada “jiwa yang tertidur”, intelektualitas yang ditumpulkan.

Menurut Collins Thesaurus sleep sama dengan hibernation. Menurut kamus Inggris yang lain, sleep adalah consciousness practically suspended.

Dalam kehidupan masyarakat sekarang, ketika distraksi menelikung dari segala arah dan kita tidak selalu terjaga, tidak terus to be on alert, mudah sekali seseorang tergelincir menggadaikan jiwanya kepada kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan positive impact bagi kehidupan. Fisik dan pikirannya mungkin demikian aktif, tapi jiwanya tertidur, hanyut, mengalami hibernasi.

Menurut time management yang diajarkan Imam Al Ghazali (1058 – 1111), seseorang yang tidak memiliki disiplin diri dan selalu senang terjebak pada iming-iming kenikmatan sesaat ibarat meniru “kawanan hewan yang selalu berpindah-pindah ke setiap rerumputan hijau.”

Bukankah Anda sering menemukan orang-orang yang memiliki kecenderungan khilaf seperti itu? Senang mengikuti arus, tidak memiliki tujuan pilihan sendiri.

Dalam organisasi bisnis dan pemerintahan, sesuai best practices The 4 Disciplines of Execution, atau 4 DX -- yang dikembangkan Chris McChesney, Sean Covey, dan Jim Huling -- banyak strategi hebat jadi layu, tidak pernah terwujud. Karena para eksekutifnya cenderung hanyut dalam angin puyuh kesibukan sehari-hari, urgent-urgent, tanpa memiliki prioritas utama kegiatan yang important, serta tidak fokus.

Kegiatan harian, mingguan, atau bulanan yang urgent dan harus diselesaikan memang tidak dapat ditinggalkan. Setiap eksekutif juga berhak menjalankan hobi atau menikmati hiburan. Pertanyaannya, apakah 100% waktu dalam kehidupan harus diserahkan untuk menangani yang urgent melulu, plus hobi dan entertainment? Tidak adakah hal yang very important untuk manfaat bersama?

Bagaimana kalau menginvestasikan 20% dari waktu kita, difokuskan untuk mengembangkan diri, mengubah perilaku kepemimpinan, membangun tim yang lebih hebat, dan meraih prestasi yang lebih signifikan? Kalau Anda kenal Pareto Principle tentunya paham, bagaimana upaya 20% dapat menghasilkan 80%.

Dalam kenyataannya, jika kita mengerahkan rata-rata 20% resources kita – energi/modal, waktu, kecerdasan – untuk fokus mengerjakan prioritas utama dalam kehidupan dan organisasi kita, hasilnya akan lebih signifikan. Dibandingkan dengan mengerahkan 80% energi untuk melakukan banyak hal bersamaan, tanpa clarity apa yang hendak dicapai, kecuali urgent-urgent melulu, apalagi ditambah entertainment tanpa kendali.

Menginvestasikan 20% resources tersebut untuk melakukan disruption terhadap diri dan organisasi kita, membangun mindset dan habit baru, cukup menantang. Ya, itu memang kegiatan counterintuitive

Namun barangkali dengan begitu hidup jadi lebih menarik – menikmati ketidaknyamanan, melakukan sejumlah hal counterintuitive, untuk tumbuh. Bukankah salah satu indikasi utama menentukan kualitas hidup seseorang dapat dilihat dari pilihan-pilihannya menggunakan waktu yang dipinjamkan oleh Tuhan?

Bukankah waktu ibarat es krim, cepat lumer kalau kita tidak segera memanfaatkannya? Bedanya, waktu tidak bisa disimpan di freezer untuk dinikmati nanti -- dengan berbagai alasan.

Dalam lanskap sekarang, ketika metabolisme ekonomi sudah demikian makin cepat, organisasi dan pribadi-pribadi cerdas yang ingin tetap exist, berperan penting, sepantasnya lebih akuntabel, mengetahui dengan gamblang prioritas hidupnya, dan melakukan actions paling efektif meraih yang diprioritaskan. Merawat jiwa diupayakan selalu terjaga.

Membiasakan bercermin, melakukan evaluasi diri, mengandalkan potensi terbaik masing-masing anggota tim (ketimbang menghakimi berdasarkan kelemahannya), dan fokus ke depan -- sebagaimana Richard Branson dan Steve Jobs berproses meraih sukses --  oleh Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching sudah diolah menjadi salah satu metode pengembangan kepemimpinan yang tervalidasi, untuk meningkatkan efektivitas para eksekutif dan leaders.

Dalam program Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching, para eksekutif dan leaders ditantang dan dibiasakan untuk lebih akuntable bagi dirinya masing-masing dan bagi para stakeholders.

Kita bisa menjadi siapa pun yang kita inginkan. Tantanganya adalah, itu dilakukan berdasarkan pilihan dan tindakan kita, bukan dengan diam saja (bystander). Coba renungkan: Are we creating ourselves, or wasting the opportunity and being created by external forces instead?    

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Consulting.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader of the Future Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(www.nextstageconsulting.co.id)   

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler