x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

‘Kill The Messenger’, Pendukung Anies Kini, dan Ahoker Dulu

Penguasa harus terbiasa “dihabisi” oleh media. “Membunuh si "pembawa pesan” hanya menunjukkan betapa kritik itu (jangan-jangan) ada benarnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejarah itu hanya peristiwa yang berulang. Jika lokus peristiwa itu itu digeser sedikit ke Indonesia, maka Anda menemukan pengulangan peristiwa yang sama, bahkan dalam waktu yang relatif singkat. Pengulangan itu bisa terjadi karena banyak hal, salah satunya karena ingatan yang pendek terhadap sebuah peristiwa. Ingatan pendek ini tak hanya terjadi pada kalangan akar-rumput, melainkan juga para elite. Hari ini di dunia nyata dan dunia maya, kita menemukan fenomena itu berulang: kill the messenger! Bedanya, hanya pelakunya saja. Ide ceritanya tak jauh berbeda.

Fenomena kill the messenger ini berangkat dari kisah jurnalis peraih Pulitzer Gary Webb yang membuat laporan ekslusif tentang ‘aliansi jahat’ antara otoritas intelijen, CIA, di Amerika Serikat dengan pemberontak antikomunis di Nikaragua, Contras. Pada pertengahan 1990, Gary yang dikenal dengan reputasinya sebagai jurnalis investigasi dan bekerja untuk San Jose Mercury News mendapatkan informasi terkait keterlibatan “elite politik” di Washington. Dengan metode “makan bubur panas”, ia perlahan-lahan menyusuri informasi demi informasi tentang telah terjadinya skandal perdagangan gelap obat-obatan terlarang alih-alih mendukung perlawanan Contras terhadap pemerintah komunis Nikaragua. Naluri jurnalis investigatif Webb mendorongnya menemui informan-informan penting hingga ke Nikaragua. Upayanya meliput dan menulis keterlibatan agensi intelijen negaranya ini pun mendapatkan ancaman. Gary bergeming. Ia pun merilis laporan jurnalistik investigasinya berjudul The Dark Alliance pada Agustus 1996.

Alhasil, laporan jurnalistik itu mengguncang publik Amerika, terutama CIA yang menjadi target pemberitaan. Apa yang terjadi kemudian adalah “serangan balik” atas kompetensi Webb dalam menulis laporan tersebut. Kehidupan pribadinya “dihabisi”. Akurasi pemberitaannya dipertanyakan bahkan oleh media-media besar, seperti Washington Post hingga Los Angeles Times. Sementara itu seluruh informan yang buka suara dan dikutip oleh Webb dalam tulisannya justru membantah memberikan laporan itu. San Jose Mercury News, media tempat di mana Webb bekerja, yang tadinya ikut merasakan popularitas melalui liputan investigatifnya Webb, perlahan “menyerah” dengan tekanan. Mereka mulanya mengganti sampul laporan The Dark Alliance yang provokatif karena menyertakan lambang CIA. Mereka juga memindahkan Webb ke pos liputan “kering berita”. Webb melawan dan bekerja sendiri pada akhirnya –tanpa korporasi media.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Membunuh ‘para pembawa pesan’ ini juga pernah dialami oleh almarhum Bondan Winarno, wartawan senior yang juga pakar kuliner. Liputan investigatifnya yang diterbitkan menjadi buku berjudul Bre-X, Sebungkah Emas di Kaki Pelangi bisa menjadi contoh. Bondan, 47 tahun ketika itu, sejatinya berprofesi sebagai pengusaha. Jiwa jurnalisnya jua yang mengendus ketidakberesan dalam skandal emas Busang, Kalimantan Timur. Bondan pun melakukan investigasi mandiri dengan biaya sendiri untuk membongkar kejanggalan tersebut, termasuk meninggalnya geologis asal Filipina, Michael De Guzman.    

Setelah buku tentang skandal Busang terbit, Bondan pun mendapat tuntutan hukum dari Menteri Pertambangan dan Energi masa itu, Ida Bagus Sudjana. Bondan dituntut hingga Rp 2 triliun atas tulisannya yang dianggap mencemarkan nama baik Sudjana. Bondan pun kalah di pengadilan, meski hukumannya tak sampai Rp 2 triliun. Ironisnya, Bondan merasa sendiri ketika itu. Tidak ada insan pers yang mendukung perjuangannya membongkar skandal hingga diseret ke pengadilan. Bondan lebih beruntung dibanding Almarhum Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, wartawan Bernas Yogyakarta, yang ditemukan tewas dianiaya yang diduga kuat berkaitan dengan pemberitaannya pada 1996. Meski kalah, karya Bondan tetaplah menjadi “tinta emas” dalam perjalanan jurnalistik kita.

“Membunuh karakter” jurnalis adalah cara yang ditempuh oleh pihak-pihak yang tidak suka dengan pemberitaan media. Di sisi lain, media-media kompetitor lebih suka menjadi “pemadam kebakaran” dengan “malu-malu” juga membunuh karakter jurnalis atau media yang berani membongkar skandal besar itu. Fenomena itulah yang terjadi akhir-akhir ini. Setelah kematian jurnalis Udin pada , belakangan ini cara membunuh media atau jurnalis dilakukan dengan cara-cara yang sama untuk “mematikan” Gary Webb.

Saat Tempo mengkritik kebijakan reklamasi Ahok, serangan balik dilakukan oleh pendukung Ahok atau Ahoker. Mereka menyerang Tempo dari sisi kredibilitas narasumber, posisi keuangan perusahaan, dan pelintiran isu lainnya. Serangan yang bertubi-tubi ini diharapkan mampu menggeser opini publik bahwa media yang membongkar skandal itu cacat kompetensi dan integritasnya. Bagi Tempo, peristiwa tersebut bukan yang pertama. Apa yang terjadi dengan kasus Asian Agri juga Tomy Winata, adalah kasus-kasus peliputan yang berujung pada tuntutan hukum.  

Dunia berputar. Politisi berganti. Ahok kalah dalam Pilkada DKI yang panas dan melelahkan itu. Anies Baswedan adalah gubernur baru. Anies adalah politisi, seperti Ahok. Maka, tak ada alasan untuk berhenti mengkritik setiap kebijakannya, salah satunya melalui media. Apa yang dilakukan Najwa Shihab melalui acara talkshow-nya tempo hari adalah salah satu media untuk menguji kompetensi pemimpin ibukota mengenai kebijakan-kebijakannya. Pendukung Anies yang mungkin antusias awalnya melihat jagoannya tampil langsung di televisi bersama wakilnya Sandiaga Uno, harus keki melihatnya “dihabisi” Najwa.

Najwa pun menjadi sasaran kemarahan pendukung Anies. Kompetensinya sebagai presenter dan jurnalis diragukan, bahkan disuruh belajar oleh warganet yang sama sekali tak punya latar pendidikan jurnalistik. Ia dianggap lancang karena kerap memotong penjelasan Anies. Masalah? Tentu tidak. Ini soal gaya. Anda tak bisa menyamakan Jimmy Kimmel dan Conan O’Brien dalam sebuah acara bincang-bincang. Najwa lebih suka mencecar lawan bicaranya. Pertanyaannya menyelidik. Opininya hanya ujian bagi mereka yang kuat membantah dan menganggapnya salah dengan data-data yang kuat. Jika tidak, Anda tak akan menjadi bintang panggung di acara bincang-bincang tersebut. Ia bukan Karni Ilyas yang bertanya perlahan dan tekun mendengar. Terlepas dari gaya-gaya itu, sekali lagi, politisi bukan santo. Mereka harus terbiasa “dihabisi” oleh media. “Membunuh pembawa pesan” hanya menunjukkan betapa kritik itu (jangan-jangan) ada benarnya. ***

sumber foto: bungkam mulut oleh kakitangankita [deviantart]

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler