x

Sejumlah peserta Cross Culture International Folk Art Festival 2017 bersiap-siap diarak menggunakan becak sebelum tampil menghibur warga Surabaya, di Taman Bungkul, Surabaya, 16 Juli 2017. ANTARA/Zabur Karuru

Iklan

edriana noerdin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Siapakah yang Dirugikan dengan Kebijakan Becak di Jakarta?

Di Koja hanya ada 25 dari total keseluruhan tukang becak sekitar 300an becak di DKI.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

By: Edriana Noerdin

 

Yang menarik dari hasil perbincangan saya tentang kebaradaan becak di Jakarta tadi malam di CNN adalah pernyataan Kang Yayat dan Pak Jhoni Simanjuntak (FPDIP) bahwa penghasilan tukang becak itu paling banyak "hanya" Rp 1,5 juta/ bulan jadi di bawah UMP DKI maka lebih baik mereka dialih-fungsikan. Kemudian mereka juga mengatakan bahwa jumlah becak itu sangat sedikit. Di Koja hanya ada 25 dari total keseluruhan tukang becak sekitar 300an becak di DKI. Keberadaan becak atau keinginan pak Gubernur meregulasi kembali becak adalah pelanggaran hukum. Wah saya rasa ini khas pendapat kelas menengah yang anti becak dan partai wong cilik kok bisa berpendapat begitu ya?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Bapak-bapak yang terhormat:

 

1. Secara hukum tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pak Gubernur dengan mengatur kebijakan penggunaan becak di DKI. Karena sesuai dengan UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum, tidak ada larangan terhadap becak. Dalam UU tersebut yang dilarang sebagai angkutan umum adalah kendaraan roda dua, sementara kendaraan roda tiga boleh beroperasi. Jadi yang dilanggar apanya?

 

2. Kalau dikatakan melanggar Perda 8/2007 Pasal 29 ayat 1 yang melarang becak di Jakarta maka bapak-bapak jangan lupa bahwa dalam ayat 2) Perda tsb dinyatakan: "Kendaraan bermotor/tidak bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dapat dijadikan sebagai sarana angkutan umum setelah mendapat izin dari Gubernur atau pejabat yang ditunjuk. Artinya ada diskresi Gubernur yang bisa mengatur keberadaan becak di Jakarta.

 

3. Kalau alasan sosiologis maka becak tetap dibutuhkan oleh ibu-ibu rumah tangga yang pulang pergi ke pasar untuk membawa barang belanjaan banyak tidak kena hujan dan panas, sehingga yang membutuhkan dan yang menyediakan jasa masih sangat banyak (supply dan demand), maka tidak ada alasan untuk membunuh/ mematikan keberadaan mereka.

 

Kalau alasannya keberadaan mereka menimbulkan kemacetan maka kembali itu adalah masalah regulasi. Kebijakan yang mengatur keberadaan mereka, lokasi beroperasinya, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Ketika kehadiran ojek yang jelas-jelas melanggar UU 22/2009 kita biarkan dan kita dukung masak kehadiran becak yang jelas-jelas tidak melanggar UU tsb ingin kita matikan?

 

4. Tidak benar kalau komunitas becak sedikit dan hanya 300an saja seperti kata kang Yayat.  Bapak Rasdullah Ketua Sebaja (Serikat Becak Jakarta) mengatakan anggota Sebaja saja ada sekitar 1300 orang/becak. Belum lagi tukang becak yang tidak tergabung dalam Sebaja. Artinya masih sangat banyak becak yang sampai sekarang masih beroperasi di Jakarta. Keberadaan mereka harus diakui dan dibuat kebijakan yang tepat untuk mengatur dan melindungi mereka.

 

Tidak benar juga pendapatan mereka hanya 1,5 juta/ bulan. Bagi tukang becak yang setiap saat diuber-uber satpol PP sehingga mengakibkan jam kerja mereka menjadi sempit mereka masih bisa mendapatkan penghasilan sebesar  Rp.70.000-100.000/ hari. Apalagi bila dalam sehari itu mereka sedang tidak dikejar Satpol PP maka penghasilannya bisa mencapai Rp 150.000/hari.

 

5. Kedua panelis tsb mengatakan kasihan para  tukang becak itu sudah tua-tua masih narik becak karena yang muda sudah tidak mau lagi narik becak jadi lebih baik mereka alih profesi saja. Statement ini pun tidak berdasar, kalaupun banyak tukang becak yang tua  maka itu adalah persoalan lain dan mereka bisa juga diikutkan dalam program  seperti Kartu Lansia. Bila kebijakan sudah jelas maka para tukang becak bisa diikutkan dalam program  BPJS ketenaga kerjaan.

 

Pak Rasdulla dalam suatu dialog mengatakan kalau mereka alih profesi paling yang bisa mereka kerjakan adalah menjadi tukang bangunan atau dagang. Tapi karena alih profesi itupun tidak mudah dan profesi baru bukan keahlian mereka maka akhirnya mereka balik lagi jadi tukang becak.

 

Analogi pak Rasdullah dan tukang becak lainnya yang ditanya adalah: "Bila Anda beli nasi goreng lalu kalau nasi gorengnya ga enak apa bapak-bapak mau bayarin semua?" Artinya keahlian kami ya hanya narik becak, bukan yang lain. Alih profesi belum tentu sebagai jawaban yg tepat karena tidak semua kami mau,  kami bisanya "hanya narik" dan kami juga sudah punya pelanggan yang mengharapkan bantuan antar jemput kami tiap hari."

 

Kata pak Sani, seorang tukang becak di Jakarta Utara, "bagi kami yang berusaha mencari nafkah yang halal di Jakarta masak mau di kriminalisasikan? Dikejar-kejar Tibum dianggap seolah2 kami penjahat dan kami dianggap sumber kemacetan?"

 

Wassalam.

Ikuti tulisan menarik edriana noerdin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB