x

Toko buku Mahall al-Maa menyimpan ribuan buku yang sebagian merupakan literatur langka yang dapat dibeli dengan harga yang ditentukan oleh pembeli ataupun sekedar dibaca di tempat maupun dipinjam. Hussein Alazaat

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tak Pernah Berhenti Membaca Buku

Pikiran-pikiran besar lahir karena aktivitas membaca.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Untuk menghancurkan sebuah kebudayaan, Anda tidak harus membakar buku, cukup membuat orang berhenti membaca.”

--Ray Bradbury

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan membaca buku, kita tahu bahwa kita tidak sendirian, begitu selalu kata pembaca buku. “Kamu tak pernah merasa kesepian.” Dalam bukunya, A Reading Diary: A Passionate Reader’s Reflections on a Year of Books, Alberto Manguel mengungkapkan perasaannya: “Mungkin karena inilah kita membaca, dan mengapa di saat kegelapan kita kembali kepada buku, yakni: untuk menemukan kata-kata untuk apa yang sudah kita ketahui.” Tidak pernah ada kebosanan.

Haruki Murakami punya alasan sendiri mengapa tak pernah lepas dari membaca buku setiap harinya. “Perlahan-lahan, seperti sebuah film yang mulai menghilang, dunia nyata pun menguap. Aku sendirian, di dalam dunia cerita—perasaan yang paling kusukai di dunia ini.” Me time.

Tiap-tiap orang boleh punya alasan sendiri mengapa ia membaca, walaupun banyak orang juga punya alasan untuk melakukan hal sebaliknya: tidak punya waktu. Umumnya, membaca buku tidak memperoleh tempat dalam jadwal kegiatan harian yang sudah padat oleh bekerja, rapat, bertemu mitra dan klien, bermain, piknik, berolahraga, hingga kegiatan bersama keluarga. Bahkan, me time pun dibebaskan dari kegiatan membaca buku.

Secara personal, banyak hal yang hilang bila kita berhenti membaca buku: hiburan, petualangan, perjumpaan dengan peristiwa, manusia, juga pemahaman tentang hidup. Karya-karya klasik Agatha Christie dan Arthur Conan Doyle menawarkan hiburan sekaligus teka-teki yang menegangkan, sekaligus memahami watak manusia. Konstantinopel 1453 mengajak pembaca untuk kembali ke masa lebih dari 550 tahun yang silam dan menyaksikan apa yang terjadi di kota bersejarah ini. Kita berusaha mengerti bagaimana masa lampau membentuk masa kini.

Membaca buku berarti memelihara kemampuan kita berimajinasi—membayangkan sesuatu yang sebenarnya tidak nyata ada di hadapan kita. Imajinasi merupakan modal sekaligus kekuatan yang dimiliki siapapun dalam menulis buku. Dan imajinasi pula yang membawa pembaca untuk memasuki cerita mereka. Seperti kata Brad Kessler dalam Goat Song, “Sebuah buku bagaikan kunci bagi pasak jiwa. Satu sama lain harus pas agar kunci terbuka. Lalu klik, dunia pun terhampar.”

Membaca buku adalah perjalanan yang kaya, kita menjumpai rupa-rupa karakter, yang sebagian di antaranya mengejutkan, sebagian lainnya membikin kita mudah tertawa, memancing amarah, kesal, dan sebagian lainnya mengundang rasa empati kita. Ada momen-momen tidak terduga. Ada paparan yang membuka horison. Ada kesimpulan yang tetap membuat kita bertanya-tanya.

Saat membaca buku-buku non-fiksi (sejarah, biografi, politik, maupun sains), kita sesungguhnya tengah mengarungi lautan gagasan. Banyak hal baru kita dapatkan dari penulis-penulis yang berdedikasi. Mereka berupaya memberi kontribusi dengan menawarkan pemahaman dan penafsiran baru atas peristiwa tertentu atau sosok tertentu—membaca karya Peter Carey, kita menyerap gambaran yang lebih utuh tentang Pangeran Diponegoro.

Semua itu menstimulasi otak kita agar terus berpikir. Diam hanya akan menjadikan otak kita ‘beku’ dan tumpul karena jarang digunakan untuk diasah. Dalam konteks ini, diasah berarti digunakan untuk membaca teks, memahaminya, menafsirkannya, dan menarik pelajaran darinya. Dengan membaca, kita berusaha mencerna sesuatu melalui pikiran orang lain. Mungkin saja akhirnya kita tidak setuju dengan pemikirannya, tapi setidaknya kita dapat memahami mengapa orang lain berpikir demikian. Seperti kata penulis Malorie Blackman (1962-...), “Membaca adalah latihan berempati; berlatih berjalan dengan memakai sepatu orang lain barang sementara waktu.”

Lantaran otak terus dipakai, saraf-sarafnya terus bekerja dan terkoneksi. Getaran-getaran listrik disalurkan lewat saraf-saraf ini. Otak yang aktif memberi keuntungan bagi pemiliknya, sehingga kita dapat menjaga kebugaran mental dan kognitif. Membaca buku mendorong otak kita terus aktif berpikir, dan ini akan menjaga ketajaman berpikir kita lantaran terus diasah. Para peneliti mengungkapkan temuan mereka, membaca buku fiksi akan mengasah rasa empatetik kita, mendorong kita lebih peka terhadap situasi-situasi sulit yang dihadapi manusia—yang mungkin saja juga kita alami.

Dalam skala besar, aktivitas membaca buku memberi kontribusi yang tidak ternilai terhadap upaya manusia membangun kebudayaannya. Tatanan, etika, sistem, relasi, hukum, bahasa, hingga tata cara kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat dalam membaca. Pikiran-pikiran besar lahir karena aktivitas membaca. Tidak heran bila penulis novel Fahrenheit 451, Ray Bradbury (1920-2012), mengatakan: “Untuk menghancurkan sebuah kebudayaan, Anda tidak harus membakar buku, cukup membuat orang berhenti membaca.” **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler