x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perspektif Ruang dan Waktu: Perjalanan Mengelilingi Bumi

Cara pandang terhadap waktu dan ruang, dengan segala dinamika di dalamnya, dapat terpengaruh oleh posisi jarak dan waktu pandanganya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bulan sabit ke purnama, lalu balik lagi ke sabit. Malam berganti siang, kembali lagi ke malam.

Selain karena faktor alam, juga soal perspektif. Setiap obyek akan terlihat berbeda, bergantung pada posisi dan jarak pandang.

Memandangi gunung dari jarak 100 (seratus) meter akan berbeda hasilnya, jika dipandangi dari titik sejauh 10.000 (sepuluh ribu) meter.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jarak jauh memang bisa membuat gunung terlihat utuh, indah dan kekar. Tapi detail kandungan keutuhan-keindahan-kekarnya gunung takkan pernah diketahui secara baik, kecuali jika kita ke gunung.

Sebab – selain soal suhu udara, tekanan dan mungkin suasananya – puncak gunung relatif tak terasa puncaknya, jika kita sedang berada di puncak. Lereng tak terasa lerengnya, kalau sedang berada di lereng. Dataran rendah pun tak terasa rendahnya, ketika sudah berada di bawah.

Maka untuk menyelami suasana gunung, ya, sesekali memang harus ke gunung. Karena selalu takkan pernah sama antara yang “hanya mendengar” dan “yang melihat.”

Melalui transportasi modern, yang memperpendek jarak antar benua, cara pandang dan respon kita terhadap perubahan suasana alam juga sangat ditentukan oleh posisi kita.

Kita bisa hidup selama beberapa hari, dan tak lagi bisa memperlakukan secara normal setiap perubahan waktu dan ruang (jam, hari, tempat). Sebab dalam perjalanan antar benua, panjang periode siang dan malam tak bisa lagi diperlakukan secara matris, seperti saat kita diam di satu tempat.

Ilustrasi: jika pada hari Senin saya terbang dari Jakarta jam 06.00 WIB pagi, bergerak ke arah barat laut menuju Qatar, yang ditempuh sekitar 9 jam, saya akan tiba di Doha jam 11.00 siang waktu Doha (belum masuk waktu zhuhur, padahal di Jakarta sudah pukul 15.00 WIB, yang berarti menjelang atau sudah ashar).

Jika saya berangkat lagi dari Doha (pukul 12.00 waktu Qatar) menuju Washington DC Amerika yang ditempuh sekitar 14 jam – melintasi wilayah Eropa atau Afrika Utara – saya akan tiba di Washington pada Senin pukul 18.00 waktu Washington (EST), sementara di Jakarta sudah pukul 06.00 WIB (hari Selasa pagi).

Selama di atas pesawat, yang terus bergerak ke arah barat, ada beberapa waktu shalat wajib, yang sulit diidentifikasi secara persis.

Jika dari Washington DC saya berangkat lagi pukul 18.00 EST menuju Los Angles (LA), yang ditempuh sekitar 6 jam, saya akan tiba di LA sekitar pukul 21.00 waktu LA, dan hari masih Senin. Sementara di Jakarta sudah pukul 12.00 WIB (hari Selasa siang).

Bila dari LA melanjutkan lagi perjalanan menuju Manila, Filipina, yang ditempuh sekitar 13 jam, saya akan tiba di Manila pada pukul 02.00 dinihari waktu Manila (dan saat itu hari sudah Rabu).

Selanjutnya jika dari Manila berangkat lagi pada Rabu, pukul 03.00 dinihari waktu Manila menuju Jakarta, yang ditempuh sekitar 4 jam, saya akan tiba di Jakarta sekitar pukul 07.00 WIB (Rabu).

Dalam ilustrasi perjalanan mengelilingi bumi via udara, dari Jakarta dan kembali lagi ke Jakarta, yang total berlangsung sekitar 55 jam (Senin-Selasa-Rabu), dan melintasi beberapa perbedaan waktu antara satu titik dengan titik berikutnya, lintas benua, saya hidup dan seolah-olah kehilangan satu hari (Selasa).

Posisi dan perspektif terhadap setiap waktu shalat akan berbeda, jika seandainya saya tetap diam di Jakarta selama tiga hari itu.

Maka sekali lagi, cara pandang terhadap waktu dan ruang (dengan segala dinamika di dalamnya) dapat terpengaruh oleh posisi jarak dan waktu pandangnya. Setiap obyek akan terlihat berbeda, bergantung pada posisi dan jarak pandang kita. Dan itulah perspektif.

Syarifuddin Abdullah | 03 Februari 2018 / 18 Jumadil-ula 1439H

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB