x

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Keris Tanpa Nama

Siapapun penyandang keris itu takkan pernah mati selama memberikan ‘makan dan minum’ berupa daging dan darah kasta kaum brahmana dan kesatria.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Panah berterbangan menghitamkan langit, turun bagai hujan di tengah pertempuran yang berkecamuk, menambah kekacauan.

Ujung tajam tombak bersliweran bagai seribu predator mematikan memburu daging manusia. Pedang dan golok melengkung menghisap darah, teriakan marah dan sorak komando, namun tak satupun kata sesal dan maaf yang menyedihkan pernah terucap.

Jayakatwang memimpin pasukannya terus menyerang menggelegar, cetar membahana. Perisai bundar di atas kepalanya serangan gencar tersebut. Orang-orang berguguran di sepanjang jejak kudanya. Sebagian besar adalah pengawalnya, namun dia terus maju tanpa ragu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka adalah kesatria, pengorbanan untuk sang raja bernilai tinggi untuk membuka gerbang nirwana.

Keris legendaris dengan banyak sebutan sekaligus tanpa nama, ditempa oleh maestro senjata terkemuka Mpu Gandring. Beberapa orang menyebutnya sebagai Keris Abadi, yang lain menyebutnya Luk Fajar, Pembunuh Ningrat atau Cipta Dewa.

Menjadi gosip yang tak henti-henti dibicarakan di kedai minuman di seluruh tlatah Singhasari dengan takjub. Dibumbui mitos iri hati pada setiap perpanjangan jalan dari ibukota, keris itu menjadi incaran para pengejar kekuasaan dan kemuliaan sejati.

Peramal dan pengamen menceritakan tentang kekuatannya, dan kutukan bagi orang-orang yang membawanya. Mereka berbicara tentang pemberian yang diberikan pembawanya, hanya satu yang disepakati semua:

Siapapun penyandang keris itu takkan pernah mati selama memberikan ‘makan dan minum’ berupa daging dan darah kasta kaum brahmana dan kesatria.

Dan Jayakatwang takkan berhenti berperang hingga telapak tangannya kapalan. Dia harus mendapatkan keris itu.

Empat tentara kerajaan Singhasari, jubah perang mereka kotor dan robek, menghambur ke arahnya tanpa halangan. Jayakatwang memutar golok usangnya, menyeret lumpur merah kecoklatan oleh mayat dan darah bersama aroma busuk yang ganas menguar. Pemimpin pasukan yang ditugaskan untuk menangkapnya itu menebaskan pedang panjang, tapi momentum ayunan golok Jayakatwang yang menangkis tusukan itu membuatnya terpelanting ke sisi lain medan pertempuran.

Tiga tentara lainnya serempak menyerang. Jayakatwang mencabut pedang panjangnya, melepaskan dua kepala dengan satu sabetan, tapi harus menghindar dari serangan yang lain. Pinggangnya tergores tipis, terasa sedikit perih bagai terkena lentikan kecil bara api. Dia menjerit marah dan melepaskan pedang panjangnya dan dengan tangannya meninju penyerangnya di hidung. Tredengar bunyi tulang rawan remuk dan darah muncrat menodai jubahnya bagai sandi rahasia di atas lontar.

Prajurit-prajuritnya telah tiba di tembok istana. Tangga kayu mulai berdiri tegak di sepanjang dinding batu. Wira dalem Singhasari mencoba menjatuhkan tangga dan menghujani panah ke bawah. Orang-orang jatuh seperti bulir padi dipanen, sabit maut yang mematikan menebas tanpa ampun.

Namun, semangat pasukan pertahanan istana Singhasari sudah berada di titik nadir, bahkan sebelum pertempuran ini dimulai. Mereka takkan bertahan lebih lama lagi.

Jayakatwang menahan diri. Dia hanya melihat para pejuangnya melintas dinding dan menjebol gerbang istana, tak terbendung bagai air pasang purnama di pantai Gelang-gelang. Begitu gerbang roboh, bagai bendungan meledak para prajurit Gelang-gelang mengerumuni jalan masuk seperti semut, melemparkan mayat pemanah musuh dengan teriakan balas dendam penuh sukacita riang gembira.

Dia masuk menyibak lautan prajurit, turun dari kudanya dan menaiki salah satu tangga menuju candi pemujaan. Telik sandinya telah mengabari bahwa Baginda Kertanegara sedang melakukan persembahan.

Senyum lebar dan megah tergores di matanya, mengabaikan rasa sakit dari belasan luka di tubuh.

Dia sudah dekat.

Berdiri di pintu candi, dia berbalik menoleh tatar kota, jantung kerajaan musuhnya. Prajurit-prajuritnya menyapu bagai wabah sakit perut, meninggalkannya mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan. Api dan asap mengepul di seluruh penjuru. Teriakan ketakutan penduduknya menggema sahut menyahut, tembang megatruh dalam satu nada kematian dan dukalara.

Jayakatwang tidak punya perasaan apa-apa untuk mereka.

Bagaimana mungkin dia bersimpati untuk rakyat musuhnya, sementara dirinya sendiri telah begitu banyak berkorban?

Ketiga putra dari para gundik.

Yang tersisa hanya Ardhakara, putranya dari prameswari yang justru bergabung dengan kerajaan Singhasari.

Bahkan, anaknya yang terkecil lahir saat dia jauh dari Gelang-gelang, meninggal karena demam. Tak pernah merasakan sentuhan kasih ayahnya.

Dia telah berkorban lebih banyak dari apa yang pantas untuk dikorbankan.

Jayakatwang menuruni tangga batu yang lebar menuju ruang pemujaan candi. Di situlah Raja Kertanegara yang konon hidup abadi sebagai titisan Dewa Syiwa berada.

Di situlah takdirnya menunggu.

Prajurit Singhasari setia sampai akhir. Mereka bunuh diri dan mayatnya berserakan di selasar candi. Jayakatwang berlari melintasi lorong-lorong candi yang dihias dengan indah, lantai berlapis beledu merah yang dipercantik oleh arca-arca emas.

Dia menemukan Kertanegara di ruang pemujaan, menunggunya. Keris tanpa nama di tangan. Wajahnya mengenakan topeng Syiwa berlapis emas. Lelaki itu tersenyum di balik topengnya, hampir sama legendarisnya dengan keris itu.

Kertanegara menyebutnya anak sundal dan berjanji akan memberinya kematian yang menyakitkan. Jayakatwang menanggapi dengan diam.

Dia mendekat dengan hati-hati, mengetahui musuhnya adalah manusia yang berbahaya. Namun, begitu goloknya terayun, terlihat bahwa Raja Agung itu hanyalah seorang amatir belaka. Caranya menggenggam keris keliru dan ayunannya liar tak bertenaga.

Jayakatwang meneriakkan raungan perang dan mencabut ruyung besi dari pinggangnya, menghantam tangan yang memegang keris sehingga benda itu jatuh berdentang, dan ayunan berikutnya mengubur gadanya ke jidat topeng emas hingga pecah, terus melaju meretakkan tulang tengkorak. Topeng emas yang pecah terbelah terlempar ke lantai.

Dan Jayakatwang tersentak.

Legenda menahun mengatakan bahwa Kertanegara adalah kesatria dan pemimpin yang hebat sebelum mewarisi keris Mpu Gandring.

Kertanegara tidak lebih tua dari anak-anaknya....

Gada terlepas dari tangannya, dan Jayakatwang menyaksikan dengan ngeri saat otak berhamburan dan darah menyembur dari retak tengkorak yang menganga, dan kehidupan mulai meninggalkan raga bocah itu.

Padahal dia memegang keris legendaris itu. Yang memberikan keabadian.

Bocah laki-laki itu tersenyum seakan mengerti pertanyaan yang berkecamuk dalam kepalanya, dan berkata bahwa semua itu bohong belaka. Sebuah cara bagi keluarga kerajaan untuk mempertahankan kekuasaan. Kebohongan yang dibangun dengan cermat.

Ada lebih dari dari sepuluh Kertarajasa, dan topeng itu menjadi rahasia mereka.

Bocah itu, dengan napas terakhirnya mengatakan bahwa keris itu itu mempunyai kutukan seperti legenda aslinya. Dia menyebutnya ‘Derita’.

Lalu dia mati.

Jayakatwang berlutut, menatap pisau tanpa guna itu penuh kengerian. Dia telah berkorban begitu banyak. Dia telah mengorbankan segalanya demi keris itu. Waktu. Pasukan. Keturunannya.

Sia-sia.

Air mata asin mengalir di wajahnya. Bocah itu salah..

Nama sebenarnya dari keris itu bukan ‘Derita’. Bukan untuknya.

Namanya adalah ‘Sesal’.

 

Banda Aceh, 3 Februari 2018

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler