Ia ingin menangis yang coba ditahan. Tapi mulut manyun, lalu isak mulai terdengar sesunggukan. Rona mata memerah, berkaca-kaca, yang juga coba ditahan dengan mendongakkan kepala. Air bening di mata itu akhirnya tumpah ruah. Membasahi pipi yang sudah mengeriput.
“Aku tak mau dilupakan”, katanya, masih dengan isak tangis yang tertahan. Lalu menghela napas pendek, disusul helaan agak panjang: “Aku pun tak menganggap diriku gading yang tak retak. Juga bukan dengan cara yang ganjil atau genap aku menerimamu.”
Tak satu jua yang kuasa mencegah gading yang retak. Namun, gading retak bukanlah gading yang patah. Semua mendamba penerimaan dengan cara yang genap. Tapi keunggulan genap, justru karena ada yang gasal. Begitulah cara hidup mendikte.
Wahai gading yang retak, janganlah patah?
Syarifuddin Abdullah | 04 Februari 2018 / 19 Jumadil-akhir 1439H
Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.