x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Sains dan Agama Bertemu

Di tengah skeptisisme banyak pihak, mungkinkah sains dan agama bertemu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Banyak orang berpendapat, sains dan agama tidak dapat hidup berdampingan karena keduanya berjalan di atas dasar yang berlainan—yang satu atas dasar sepenuhnya rasional dan yang satu lagi atas dasar sepenuhnya keimanan. Sains dan  agama dianggap eksklusif satu sama lain, sehingga tidak mungkin seseorang dapat menerima keduanya sekaligus. Jika seseorang menerima agama, ia tidak dapat menerima sains; begitu pula sebaliknya, dan ia tidak bisa keduanya secara bersamaan.

Sebagian ilmuwan bahkan menganggap bahwa sains adalah sumber kebenaran yang utama—sains menjadi ‘agama’ mereka. Sementara, sebagian agamawan menolak sains karena kebenaran sains dianggap sebagai kebenaran yang dikonstruksi oleh manusia, bukan berasal dari ‘langit’. Kedua kelompok yang berada di posisi yang berbeda ini sesungguhnya bersepakat dalam satu hal: bahwa sains dan agama tidak bisa bertemu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pandangan tersebut bukanlah satu-satunya. Dalam bukunya, Juru Bicara Tuhan, fisikawan Ian G. Barbour menyebutkan tiga pandangan lain tentang hubungan sains dan agama. Pertama, sains dan agama bersifat independen sebab berada di dua domain yang terpisah. Keduanya bekerja dengan dua bahasa yang berbeda dan memiliki dua fungsi yang berlainan.

Kedua, bahwa sains dan agama dapat berdialog lantaran menurut pandangan ini keduanya memiliki kesejajaran metodologis dan konseptual. Pendukung pandangan ini berpendapat bahwa sains tidaklah seobjektif—dan agama tidaklah sesubjektif—sebagaimana yang diduga. Ada perbedaan titik tekan antara kedua bidang ini, tapi pembedaan ini dianggap tidak mutlak.

Ketiga, bahwa sains dan agama dapat diintegrasikan asalkan dilakukan perumusan ulang gagasan teologi tradisional. Dalam pemetaan oleh Barbour, pandangan integrasi pun dapat dipilah ke dalam tiga versi yang berlainan. Sebagai peta yang mengandung unsur simplifikasi, apa yang dilakukan Barbour—yang juga seorang teolog—cukup memadai untuk melihat lanskap isu relasi sains dan agama.

Lantas bagaimana perspektif sarjana Muslim? Salah satu pandangan menarik yang belakangan ini kerap dibicarakan ialah yang dilontarkan Bruno Guiderdoni, astrofisikawan yang menjabat Direktur Riset di Centre National de la Recherche Scientifique, Prancis, dan kini memimpin pula Observatorium Lyon. Di samping karya di bidang astrofisika, Guiderdoni secara ekstensif memelajari dan menulis isu-isu mengenai spiritualitas, epistemologi dalam relasi antara sains dan agama, serta refleksi kehadiran Islam di Barat.

Dalam kuliahnya di Universitas Harvard, AS, dalam rangka Paul Tillich Lecture pada 5 Mei 2007, Guiderdoni menunjukkan bukti-bukti persilangan Islam dan sains. Ia mengajukan argumen yang menolak klaim-klaim bahwa ketidakmampuan Islam (sebagai agama) untuk membuat koneksi yang solid dengan penalaran telah bertanggung jawab atas ketertinggalan kaum Muslim dalam berpartisipasi di dunia ilmiah.

Yang dimaksud dengan ‘koneksi yang solid’ ialah landasan keagamaan yang menjadi basis pemeluk Islam untuk berkiprah di dunia ilmu pengetahuan. Namun, Guiderdoni mengatakan bahwa koneksi yang solid itu ada. Melalui pemeriksaan yang cermat atas prinsip-prinsip Islam, Guiderdoni menegaskan bahwa ‘ajaran spiritual dari sumber daya intelektual yang berasal dari iman Islam benar-benar mendorong umat Islam untuk mencari pengetahuan’. “Quran,” kata Guiderdoni, “memberikan banyak contoh mengenai hubungan yang kuat antara Islam dan pengetahuan.”

Quran, menurut Guiderdoni, memberi panduan kepada umat Islam tentang ‘cara merayakan misteri Tuhan dan juga cara mendekati kecerdasannya’—panduan ini menjadi dasar untuk mengembangkan sains. “Kecerdasan ini,” kata Guiderdoni, “memerlukan penggunaan nalar yang tercakup dalam perspektif pengetahuan yang lebih luas.” Anjuran untuk mencari pengetahuan merupakan kewajiban relijius bagi semua Muslim. Dalam pandangan Islam, kata Guiderdoni, “nalar adalah pemberian Tuhan kepada manusia, dan Tuhan menjamin keampuhannya.”

Guiderdoni juga menegaskan penekanan Islam terhadap peran etika dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Guiderdoni mencontohkan bahwa, menurut Islam, manusia diciptakan untuk menjadi ‘penjaga taman di kebun’, untuk ‘merawat penghuni kebun lainnya’ (tanaman, hewan). Pandangan etis ini relevan dengan persoalan yang dihadapi umat manusia saat ini, misalnya bagaimana menghadapi pemanasan global, penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan, maupun pelestarian keanekaragaman hayati. “Kekuatan yang diberikan ilmu pengetahuan,” kata Guiderdoni, “harus disertai rasa etika yang lebih besar, yang diperlukan untuk menggunakan kekuatan ini secara cerdas.” Bagi Guiderdoni, ilmu dan iman saling berhubungan. (Gerhana bulan tertutup awan/tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler