x

Iklan

Rumpun Semanggi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dilan Jaman Now Lebih Ganas

Dilan 1990 jadi fenomena. Di tahun 2018 juga ada yang mirip Dilan, lebih brutal

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Jangan rindu, kata Dilan, berat, kau tak akan kuat, biar aku saja." Ini adalah salah satu, diantara ucapan Dilan yang membuat Milea tersipu malu. Ucapan itu menunjukkan Dilan sangat cerdas, ia tahu bagaimana menyusun kata-kata yang dapat membuat Milea tersenyum-senyum sendiri – setelah mendengarnya, sampai jadi rindu saat malam.

Selain dengan kata-kata, Dilan juga piawai menunjukannya lewat tindakkan. Tiba-tiba di luar terdengar keributan, seluruh murid yang di kelas, keluar untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Ternyata, Dilan sedang berkelahi dengan Anhar. Tentu, saat Milea melihat itu, ia sangat tersanjung. Sudah dapat ia pastikan, hal itu terjadi karena pembalasan atas apa yang dilakukan Anhar kepada Milea, menamparnya.

Kata-kata yang membuat Milea tersenyum-senyum sendiri itu, dan Pembelaan Dilan atas Milea tentu adalah bagian-bagian yang paling di-ingat, dan membekas dalam pikiran serta perasaan para penonton, termasuk saya. Tapi ada satu adegan lagi, yang membuat penonton pasti teringat juga, yaitu, adegan ia tertangkap guru BP, saat Dilan menonjok wajah sang guru BP karena menarik seragam sekolah dan menamparnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa yang dilakukan Dilan di tahun 1990 itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang dilakukan “mirip” Dilan di tahun 2018, tepatnya tanggal 1 bulan februari 2018. Dilan di tahun 2018 itu, inisialnya MH, kelas XI. Bukan anak SMA Bandung, dan bukan pula panglima geng motor, ia itu adalah anak SMA 1, Torjun, Sampang, Madura. Meskipun demikian, akibat yang ia ciptakan lebih ganas daripada efek yang diciptakan Dilan di tahun 1990.

Kejadiannya lebih kurang sama. Siapapun sudah tahu kalau di dalam upacara bendera, orang-orang harus berbaris rapi, disiplin di tempatnya. Begitu juga dengan aktivitas di dalam kelas, siapapun sudah tahu bahwa ketika murid dan guru sedang dalam proses belajar dan mengajar, maka murid harus memperhatikannya dengan seksama, paling tidak, ia tidak membuat kegaduhan yang membuat orang lain merasa dirugikan, terganggu

Seperti Dilan, yang ketika bajunya ditarik, ia melawan, dan menegaskan diri bahwa ia memang sedang melawan, lalu pak Suripto menamparnya. Kejadian yang sama juga terjadi di Sampang. MH, yang sudah diperingatkan oleh Achmad Budi Cahyono, guru seni, agar belajar dan tidak menganggu temannya, kalau tetap melakukan itu maka wajahnya akan dicoret dengan cat lukis.

Bukannya sadar, MH justru semakin menjadi. Ia makin menganggu proses kegiatan belajar dan mengajar – dengan mencoret-coret lukisan teman-temannya. Sesuai dengan ancaman yang sudah diperingatkan oleh gurunya, MH bagian pipinya dicoret oleh Achmad budi Cahyono dengan cat lukis. Tidak terima dengan perlakuan itu, MH memukul secara bertubi-tubi kepala sang guru.

Setelah dibawa ke puskesmas dan rumah sakit Dr. Soetomo, Surabaya, lebih kurang pukul 21.40, sang guru seni itu menghembuskan nafas terakhirnya, kembali ke hadirat sang ilahi.

Lebih ganaskah Dilan versi 2018 itu dibandingkan Dilan versi 1990 itu? Jika dibandingkan aplle to aplle, jelas Dilan versi 2018 itu jauh sangat ganas. Ia memukul secara bertubi-tubi kepala guru, dan guru itu adalah guru seni – yang jika melihat penampilannya, seni lebih menguasai dirinya, daripada nafsu untuk merusak, menghancurkan orang lain.

Tapi jika dilihat sesuai zamannya, maka apa yang dilakukan Dilan versi 2018 itu, sebenarnya tidak lebih ganas dibandingkan Dilan versi 1990. Dilan versi 2018 melakukan itu ketika zaman membuat para guru kehilangan wibawa di hadapan muridnya, sedangkan murid terlalu jumawa di hadapan gurunya; ketika orang tua justru bahu membahu untuk memenangkan anaknya.

Sedangkan Dilan versi 1990, zaman itu guru sangat terasa wibawanya, dan murid sangat terasa hormatnya, begitu juga orang tua – tidak pernah membela anaknya ketika anak mereka sudah diserahkan kepada sekolah. Justru yang sering terjadi, ketika orang tua mendengar anaknya mendapatkan hukuman, mereka justru menambah hukuman itu.

Jika Dilan pada zaman itu sanggup memukul gurunya, walaupun tidak mati, tentu, itu sama ganasnya dengan penganiayaan yang dilakukan Dilan versi 2018 yang berujung kematian. Wajar, jika dikonversi penganiayaan yang dilakukan Dilan 1990 maka konversinya di 2018 adalah kematian. Padahal, lebih kurang baru tujuh hari Dilan diluncurkan, tapi sudah ada guru yang menjadi korban, ini pertanda yang buruk untuk dunia pendidikan kita.

Andai saja para pemuda itu lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengasah berbagai macam keahlian, melakukan aktivitas yang positif dan menghasilkan, misalnya seperti yang dilakukan Atta Halilintar dan Ria Ricis. Meskipun Atta dan Ria Ricis bukanlah contoh yang ideal, paling tidak mereka lebih baik daripada Dilan versi 2018, atau 1990 itu, yang sanggup memukul gurunya, dan bahkan berujung kematian.

Pertanyaannya sederhana: untuk apa? apa gunanya memukul sang guru? Kalau ingin menunjukan jati diri itu pendekar, alangkah lebih baik hasrat itu disalurkan misalnya, ke ajang One Pride MMA; itu lebih adil, lebih jantan, lebih terkenal dan menghasilkan, dibandingkan memukul sang guru seni yang jiwanya sehalus lukisan dan seperti lirik senja jiwa yang dinyanyikannya:

Satu-satu, pergi

Satu-satu..

Rumpun Semanggi ~ all new perspektif

https://www.facebook.com/Rumpun-Semanggi-200505614023144/

Sumber gambar: news.okezone.com

05 Februari 2018

Ikuti tulisan menarik Rumpun Semanggi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu