x

Ponsel Android One Xiaomi dilaporkan bernama Mi A1. Kredit: GSMArena

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bila Data Pribadimu Diuangkan Perusahaan

Banyak perusahaan memetik keuntungan dari data pribadi yang dihimpun dari konsumen dan pelanggan yang miskin perlindungan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengisi data pribadi menjadi syarat yang tidak bisa dihindari oleh siapapun bila ingin menggunakan jasa tertentu, mulai dari aplikasi media sosial, mengajukan kartu kredit dan pinjaman, membeli produk tertentu, hingga keperluan lain seperti layanan kesehatan. Bagi calon pengguna jasa, pilihannya hanya ada dua: mengisi formulir atau tidak mengisi. Bila tidak mengisi berarti calon pengguna tidak bisa memakai jasa tersebut. Tidak ada pilihan lain yang dapat dirundingkan.

Bila suatu ketika telepon Anda berdering, mungkin Anda terkejut. Dari ujung sana, terdengar suara menyapa, “Selamat siang, pak X!” Lho, bagaimana dia tahu, sedangkan saya tidak pernah berbagi nomor telepon ke sebarang orang? “Kami dari perusahaan Y yang bekerja sama dengan perusahaan Z,” ujarnya lagi, dan kemudian meminta waktu untuk menjelaskan produknya.

Anda termangu sejenak, beberapa bulan lalu saya mengisi formulir aplikasi di perusahaan Z. Jadi, sangat mungkin perusahaan Y memperoleh data dari perusahaan Z. Padahal, Anda tidak pernah memberi izin apapun untuk membagikan data pribadi ke pihak lain. Tapi itulah yang terjadi. Sebagai konsumen, Anda merasa menjadi sasaran tembak dari aktivitas promosi dan pemasaran perusahaan Y. Artinya, perusahaan Z telah menguangkan data konsumennya dengan menjual data itu ke pihak lain—inilah ‘monetisasi’.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika data semakin berlimpah, yang dipopulerkan dengan istilah era ‘big data’, monetisasi menjadi sumber penghasilan baru bagi banyak perusahaan yang menyimpan berlimpah data pribadi konsumennya. Data yang mereka himpun bukan hanya data seperti nama, tempat dan tanggal lahir, alamat tinggal, serta nomor telepon dan pendidikan. Data lain yang sangat bernilai untuk dimonetisasi ialah perilaku; dalam konteks bisnis, ini bisa berupa data kebiasaan berbelanja, pemakaian kartu, kegemaran dan hobi, besar belanja setiap bulan, kondisi kesehatan, berita yang disukai, bahkan hingga kecondongan politik konsumen.

Asumsinya, dengan lebih banyak data, perusahaan dapat melakukan analisis dengan lebih baik agar mampu beroperasi lebih efektif. Melalui aktivitas analisi big data, persuahaan berusaha memperbaiki ‘ramalan’ mereka—apa selera baru konsumen, bagaimana peta persaingan pasar, apa produk yang paling laku tahun lalu. Perusahaan juga memanfaatkan big data untuk memperbaiki harga produk dan jasa mereka, serta memperoleh gambaran yang lebih utuh mengenai pelanggan mereka. Walaupun, tentu saja, lebih banyak data juga mendatangkan lebih banyak tantangan—untuk penyimpanan, pemeliharaan.

Di era big data, dengan puluhan juta konsumen, monetisasi menjadi aktivitas penting perusahaan mengingat nilainya yang demikian besar. Perusahaan penambang data (data mining) akan menjual hasil tambangnya ke perusahaan lain yang tidak sangat aktif menghimpun data dari konsumen. Apa yang terjadi? Data pribadi yang semestinya dilindungi ternyata malah dijadikan sumber penghasilan baru oleh perusahaan. Karena itu, konsumen layak untuk merasa khawatir bahwa data pribadi mereka tidak dilindungi dengan baik dan benar. Warga dipaksa menyerahkan data pribadi melalui klausul ‘syarat dan ketentuan’ sebelum memakai produk dan jasa. Konsumen berada di posisi yang lemah di hadapan perusahaan. Konsumen juga khawatir bahwa data pribadi yang disimpan di server perusahaan akan diretas oleh pihak lain.

Dalam suatu survei, lembaga konsultan PricewaterhouseCoopers mememperoleh temuan menarik. Di antaranya, 69% konsumen percaya bahwa kebanyakan perusahaan rentan untuk diretas dan diserang secara siber. Hanya 25% konsumen yang percaya bahwa perusahaan mampu menangani data pribadi yang sensitif secara bertanggung jawab. Survei ini juga menemukan bahwa konsumen merasa tidak berdaya dihadapkan praktik pemakaian data mereka. Hanya 10% konsumen yang merasa bahwa mereka memiliki kontrol sepenuhnya atas informasi pribadi mereka.

Mayoritas konsumen merasa tidak berdaya untuk menuntut perlindungan atas data privasi mereka. Regulasi seringkali lebih berpihak kepada perusahaan, terlebih lagi ketika para politikus yang merancang dan menyetujui regulasi adalah juga pebisnis. Aliran data pribadi semakin mudah berjalan dari satu platform data sebuah perusahaan ke platform data perusahaan lain. Banyak perusahaan memetik keuntungan dari data pribadi yang dihimpun dari konsumen dan pelanggan yang miskin perlindungan. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler