x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Akankah Membaca Buku Tinggal Nostalgia?

Sanggupkah godaan media sosial menjauhkan manusia dari membaca buku?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di tengah gempuran informasi yang tak pernah jeda, saya berusaha keras untuk bisa menyediakan waktu untuk membaca buku. Ketika membuka laman-laman media online, begitu banyak godaan untuk membaca berita maupun tulisan di situ. Belum selesai membaca satu tulisan, saya tergoda beralih ke tulisan lain yang muncul di side bar.

Distraksi atau pengalihan perhatian menjadi salah masalah yang mengganggu saya untuk fokus pada sebuah isu. Distraksi pula yang menggoda saya untuk meninggalkan kebiasaan membaca buku setiap hari. Beruntung saya tidak bermain media sosial, jadi tak perlu sibuk menulis status atau mention.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Segala hal kini berjalan serba cepat,” kata seorang teman, “tak ada waktu untuk bermewah-mewah membaca buku.” Distraksi lagi. Saya berusaha bertahan bahwa bermain medsos adalah kemewahan: otak kita diajak berlari dari satu topik ke topik lain, dari satu komentar ke komentar lain, mengamati layar telepon dari menit ke menit, khawatir ketinggalan isu. Sayangnya, semua itu tanpa disertai kedalaman.

“Di zaman serba cepat ini masih butuh kedalaman?” sindir teman saya. Saya hanya mengangguk tanpa tersinggung.

Ilmuwan saraf mengingatkan tentang fenomena dopamine rush pada aktivitas bermain media sosial. Ketika kita melakukan sesuatu yang tampak menarik dengan cepat, pusat-pusat kesenangan pada otak akan ‘menyala’. Itulah yang terjadi ketika kita membaca dan mengirim komentar di Twitter, memasang foto di Instagram, atau berbagi kilasan video di Snapchat. Ada kepuasan yang mencuat sesaat. Semakin sering mengirim status, semakin sering pusat-pusat kesenangan itu ‘menyala’.

Apa yang membedakan dari kesenangan itu dari kesenangan membaca justru terletak pada kedalamannya, dikarenakan membaca buku memerlukan konsentrasi yang intens, laju yang perlahan dan tidak tergesa, pencernaan atas materi, yang tidak dijumpai saat membaca pesan-pesan di media sosial maupun laman media online lainnya, yang di antaranya juga berisi gosip (bukan hanya gosip dunia hiburan, tapi juga gosip politik). Kebergegasan dalam membaca/mengirim pesan memang menimbulkan kesenangan, namun sesaat dan segera lenyap.

Faktanya, icip-icip kesenangan sesaat namun berulang itu lebih menggoda ketimbang kesenangan mendalam dari membaca buku yang memerlukan ikhtiar intensif. Ada kalanya memang godaan ini demikian kuat sehingga nyaris membuat saya tidak membaca beberapa halaman buku dalam satu hari. Nyaris berarti belum, dan semoga tidak akan.

Saya ‘tidak tahu’ (untuk menghindari istilah yang lebih mencemaskan) apakah suatu ketika membaca buku dengan perlahan sembari minum kopi, teh, atau cokelat hanya akan jadi nostalgia. Apakah suatu masa nanti membaca buku dengan rasa tenang tanpa takut tertinggal informasi sambil ngemil kudapan hanya akan jadi kenangan masa lampau yang sukar diulang kembali. Apakah suatu saat kelak membaca buku sebelum tidur hanya akan jadi dongeng bagi cucu-cucu kita. Saya tidak tahu dan tidak berharap itu akan terjadi.

“Mengapa saya tidak lagi membaca buku seperti dulu ketika internet dan media sosial belum lagi ada?” saya membatin. Tapi, internet juga membawakan pada saya buku digital, kajian, makalah, hingga tulisan-tulisan yang mencerahkan. Juga undangan untuk menghadiri webinar di kampus-kampus terkenal—sesuatu yang nyaris mustahil tanpa pertolongan internet. Jadi, lebih baik memadukan keduanya dengan menjauhkan diri dari pengalih-pengalih perhatian yang mengiringi limpahan informasi.

Saya pikir, kegiatan membaca buku tidak akan punah sepanjang manusia masih ada. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler