x

Iklan

Putu Suasta

Politisi Demokrat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Absurditas Fitnah Terhadap SBY

Opini

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyolan tak lucu baru saja berembus dari persidangan kasus korupsi e-KTP. Berawal dari keterangan Mirwan Amir di dalam persidangan yang menyerempet nama SBY, kemudian dengan logika zig-zag disitir oleh Firman Wijaya (pengacara Setya Novanto) untuk mengokohkan keterlibatan SBY. Bagi siapapun yang menggunakan akal sehat, cerita  Amir dan tuduhan Firman Wijaya kepada SBY sama sekali tak mempunyai dasar. Lebih tepat disebut sebagai jurus mabuk yang kemungkinan besar dimamfaatkan oleh pihak lain  untuk kepentingan politik. Mari kita bedah satu per satu.

Kamuflase Mirwan Amir

Mirwan Amir mengakui di dalam persidangan bahwa dia pernah meminta SBY menghentikan proyek e-KTP dalam sebuah acara  di Cikeas. Sebagai kader yang telah mengenal SBY lebih dari 10 tahun, saya tahu betul SBY tidak pernah memcampur-baurkan agenda pertemuan terutama saat menjabat sebagai Presiden.  Sama sekali tidak masuk akal bahwa SBY (saat itu menjabat Presiden) memberi ruang kepada Amir untuk mendiskusikan program pemerintah dalam sebuah acara non-formal. Acara itu dapat kita pastikan sebagai non-formal karena berlangsung di Cekeas, kediaman pribadi SBY, bukan di istana atau di kantor pemerintah lainnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kejanggalan kedua dari cerita Amir adalah sumber informasi seputar proyek e-KTP yang bersamasalah. Dari pengakuannya, dia mendapatkan informasi itu  dari seorang pengusaha. Bukan dari LKPP, penegak hukum atau lembaga pengawas resmi. Mungkinkah seseorang berani memberi peringatan kepada seorang Presiden hanya berdasarkan informasi yang bersifat  “kata orang”? Sulit diterima akal sehat.

Saya hanya bisa memahami cerita Amir dalam sebuah agenda membangun kamuflase politik. Amir seakan hendak membangun citra dirinya sendiri sebagai sosok politisi yang peduli, bersih dan peka terhadap penegakan aturan hingga memberanikan diri untuk memberi peringatan kepada seorang Presiden. Usaha-usaha seperti ini biasa dilakukan orang di hadapan penegak hukum, tapi sangat disayangkan kalau itu harus merusak nama baik orang lain.

Logika Zig-zag Firman Wijaya

Irasionalitas cerita Amir ternyata tidak berembus sebagai angin lalu begitu saja. Sungguh suatu keanehan bahwa seorang pengacara senior yang tentu telah memiliki pengalaman dan jam terbang tinggi ternyata terbuai dengan cerita tak masuk akal tersebut. Firman Wijaya yang saat ini berstatus sebagai pengacara Setya Novanto, memberi keterangan kepada media bahwa berdasarkan cerita Amir dapat ditarik kesimpulan  bahwa SBY merupakan sosok besar yang berada di balik kasus korupsi e-KTP. Bagaimana Firman Wijaya sampai pada kesimpulan itu, sulit dipahami. Firman Wijaya membuat lompatan logika yang terlalu jauh antara premis dasar (keterangan Amir) dengan kesimpulan yang ditariknya.

Karena Firman Wijaya tak mengikuti silogisme (proses penarikan kesimpulan) yang benar atau menggunakan logika zig-zag, kita pantas menduga ada agenda tersembunyi di balik keterangannya tersebut. Sebagai pengacara tentu dia berusaha sekuat tenaga membantu kliennya lepas dari jerat hukum atau sekurang-kurangnya mendapatkan hukuman paling minimum. Dalam konteks ini, pantas kita duga Firman sedang berusaha menarik aktor yang lebih besar agar kliennya tidak diposisikan sebagai aktor utama dalam tindak pidana korupsi yang menjeratnya. Dugaan ini semakin kuat kalau kita mempertimbangkan upaya Setya Novanto beberapa waktu lalu mengajukan status sebagai justice collaborator dalam korupsi e-KTP. Justice collaborator  hanya bisa diberikan kepada pelaku tindak pidana yang bukan pelaku utama atau otak kejahatan.

Agenda Politik

Rangkaian absurditas dari fitnah yang menerpa SBY membuat banyak orang memunculkan berbagai spekulasi politik. Terutama kini kita sedang bersiap menyongsong tahun politik. Di bawah kepemimpinan SBY Partai Demokrat telah bangkit secara signifikan dari badai yang sempat menimpa akibat ulah beberapa kadernya di masa lalu. Indikator terbaru: pada Pilkada 2017, partai berlambang mercy ini berada di urutan ketiga dalam urutan partai pemenang. Demokrat berhasil menang di 45 daerah, hanya kalah dari Nasdem (47 daerah) dan Golkar (54 daerah).

Dengan catatan prestasi tersebut, Demokrat menatap Pilkada 2018, Pileg dan Pilpres 2019 dengan optimis disertai target yang tinggi. Maka sangat masuk akal kalau banyak orang menduga bahwa segenap fintah yang menimpa SBY berkaitan erat dengan agenda politik. Dugaan ini semakin kuat kalau kita perhatikan siapa-siapa saja yang paling keras menghebuskan fitnah tersebut. Para mantan kader Partai Demokrat yang kini berlabuh di partai lain, terutama mereka yang kini diasosiasikan sebagai “barisan sakit hati” relatif aktif untuk meniupkan fitnah tersebut sehingga menjadi bahan pembahasan hampir di seluruh negeri ini. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa para petualang politik kini telah memfaatkan jurus mabuk para penyebar fitnah. Sangat disayangkan bahwa  politik kotor seperti ini masih terjadi di Indonesia setelah hampir 20 tahun menjalani proses reformasi dan demokratisasi.

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler