x

Iklan

Ketut Budiasa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tuhanmu Bukan Tuhanku

Tidak mungkin Tuhan yang sama mengajarkan hal-hal yang jauh berbeda. Konsep beda Tuhan, beda aturan, beda sorga neraka juga menjauhkan kita dari keributan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dulu sekali, saya pernah percaya bahwa sejatinya Tuhan hanya satu. Manusialah yang mengenalinya dalam berbagai nama dan bentuk. Tapi semakin hari saya semakin meragukan keyakinan saya itu. Pemaknaan yang begitu jauh berbeda antara satu golongan dengan golongan lain semakin kuat mengindikasikan bahwa memang ada banyak oknum Tuhan di langit sana, dengan berbagai perangai dan tabiatnya. Dan, memaksakan bahwa itu hanya satu Tuhan dengan penemuan dan pemaknaan berbeda, saat ini rasanya akan menjadi tindakan intoleran tersendiri.

Hari ini, kesimpulan baru saya mengenai banyak Tuhan itu kembali menunjukkan kebenarannya. Sebuah video viral menunjukkan sekelompok orang berpakaian religius menghalangi dan mempersekusi ibadah seorang Biksu. “Demikian surat pernyataan ini saya buat tanpa tekanan”, begitu salah satu bait pernyataan sang Biksu, ditengah kerumunan manusia2 yang mempersekusinya. Rasanya, hanya ketidakwarasan yang paripurna yang mempercayai pernyataan tersebut. Memang, Biksu ini begitu tenang. Tak ada raut kemarahan, tak ada pula nampak ketakutan. Ia terlihat nyaman dan teduh.

Apakah Tuhan yang dipuja kelompok yang menghalangi ibadahnya, sama dengan Tuhannya sang Biksu ? Tidak masuk akal ! Mereka pasti 2 oknum berbeda dengan tabiat, perangai, aturan dan tuntutan yang berbeda. Bagaimana menjelaskan Tuhan yang sama mengajarkan 2 hal yang begitu jauh berbeda ? Ah, itu akan menjadi penghinaan untuk Tuhan, karena sama saja menuduh Dia maha inkonsisten, maha plinplan, bahkan maha pengadu domba. Tidak. Tuhan tak mungkin seperti itu. Satu2nya penjelasan yang rasional adalah : Tuhanmu bukan Tuhanku. Pun sebaliknya. Tuhanku samasekali bukan Tuhanmu. Dengan itu, wajar perilaku dan praktek beragama kita berbeda. Apa yang mereka lakukan adalah murni ajaran Tuhan mereka. Dan apa yang saya laksanakan, adalah murni ajaran Tuhan yang saya percaya dan saya puja. Bahwa ajarannya berbeda, wajar. Siapa bilang aturan Kim Jong Un dan Moon Jae In sama ? Bukankah karena beda aturan itu maka banyak penduduk yang menyeberang perbatasan ?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seseorang membantah argumen saya diatas dengan mengatakan : “Sesungguhnya mereka hanya salah menafsirkan kitab mereka”. Whatt ?? Jadi kamu menganggap mereka salah mengartikan kitab mereka sendiri ? Kamu siapa heh ? Gimana rasanya kalo ada penganut agama lain yang bilang ke kamu, bahwa kamu salah mengartikan kitabmu ? Alih2 menyelesaikan masalah, teman ini malah menambah keruwetan. Kamu mau di-Ahok-kan hah ?

Bagi saya sendiri, jangankan memvonis keyakinan orang lain, bahkan agama saya mengajarkan agar saya meragukan pengetahuan saya sendiri, khususnya pengetahuan mengenai Tuhan yang achintya (tak terpikirkan). Dari sisi logika, memang rancu untuk menggabungkan kata “pengetahuan” dengan “tak terpikirkan”. Pengetahuan mendasarkan pada pemahaman pikiran, lalu bagaimana dapat mengetahui yang tak terpikirkan ? Maka, entah untuk tujuan menghindarkan penganutnya dari ego yang berlebihan atau untuk tujuan lain, Kena Upanishad tegas mengatakan “yadi manyase suvedeti dabhram evapi nunam tvam vettha brahmano rupam. Yadasya tvam yadasya devasu atha nu mimamsyam eva te, manye vidhitam”. Bila engkau merasa bahwa engkau mengerti Brahman (Tuhan) dengan baik, itu artinya engkau hanya tahu sedikit, baik mengenai Tuhan didalam dirimu (atman), maupun Tuhan diluar dirimu.

Pada bagian lain, Kena Upanishad juga mengingatkan dengan ungkapan ini : yad vaca nabhyuditam yena vag abhyudate. Tad eva brahma tvam viddhi nedam yad idam upasate. “Sesuatu yang tidak dinyatakan melalui wicara tetapi sesuatu yang menyebabkan adanya wicara, ketahuilah itulah sesungguhnya Brahman, bukan seperti yang dipuja orang”. Yan manasa na manute yenahur mano matam. Tad eva Brahma tvam viddhi nedam yad idam upasate. “Hal itu yan tidak terpikirkan oleh pikiran, tetapi hal itu yang menyebabkan adanya pikiran, ketahuilah itu sesungguhnya adalah Brahman, dan bukan apa yang dipuja oleh orang-orang”. Nah kan, Dia sangat mungkin bukan seperti yang saya puja atau yang saya pahami. Bila demikian halnya, bagaimana bisa saya mempersekusi orang lain hanya karena mereka berbeda ?

Tapi sekali lagi, itu kata Tuhan yang saya percaya dan saya puja. Karena diatas sana ada banyak Tuhan, wajar bila orang lain meyakini dengan cara berbeda dan melakukan praktek yang berbeda. Termasuk persekusi itu. Kalau itu ajaran Tuhannya, mau bagaimana lagi ?

 

Ikuti tulisan menarik Ketut Budiasa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

5 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB