x

Iklan

A. Windarto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

"Cina" Indonesia, Identitas Siapa?

"Cina" Indonesia adalah konstruk dari sebuah identitas yang selalu dimainkan untuk menjalankan kepentingan politik tertentu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Cina" Indonesia, Identitas Siapa?

 

A. Windarto

 

Menarik bahwa di akun twitternya belum lama ini Mahfud MD secara terus-terang mengunggah ucapan selamat Tahun Baru Imlek 2018. Dengan foto berpakaian ala tradisi Tionghoa, mantan Ketua MK dan Guru Besar UII itu mengucapkan “Gong Xi Fat Cai” sembari memberi pesan “Mari bangun kedamaian”. Tepatkah?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penting untuk dicatat bahwa awal mula sebutan bagi orang-orang yang merantau dari daratan Tiongkok adalah sengli/sangley yang artinya pedagang. Para perantau atau disebut juga sebagai Hoakiau datang secara bergelombang ke Nusantara sejak abad ke-18. Kedatangannya pertama-tama karena tekanan kemiskinan dan berikutnya lantaran gejolak politik yang dikenal dengan "Perang Candu", baik pertama (1836-1842) maupun kedua (1856-1860). Dengan tujuan "beradu nasib" demi kehidupan yang baru, pada mulanya mereka berangkat tanpa membawa sanak keluarga, namun sesudahnya keluarga-keluarga muda memberani diri dengan menggunakan "tongkang" (perahu lokal-tradisional) menuju "Nanyang". Istilah itu menjadi sebutan bagi daerah perantauan yang letaknya di sebelah Selatannya Tiongkok atau "Negara Tengah" dan sekarang dikenal sebagai Asia Tenggara. 

Bukan kebetulan bahwa Barus dan Sibolga, Tapanuli Tengah, menjadi awal persinggahan para Hoakiau di Nusantara. Sebab sejak abad ke-8 kawasan itu telah dikenal sebagai salah satu kota pelabuhan internasional. Di sanalah para pemuda perantauan yang sebelumnya pernah berlayar hingga Kuba, Amerika Selatan, sebagai kawasan "Nam Mei Chau", memulai hidup baru dengan membuka lahan dan berdagang. Dengan cara itu, mereka menjalin relasi dan membangun koneksi serta mencipta komunikasi antar suku, agama, dan kelas sosial dalam sebuah bahasa bersama. Berkat bahasa itu, identitas mereka, baik sebagai perantau maupun pedagang, dapat berjalan mulus dan lancar.

Namun, sayangnya identitas yang semula dapat membangun suatu koneksi yang tanpa rikuh dan saling mencerminkan justru dimanfaatkan untuk menguasai satu pihak tertentu demi menaklukkan pihak lainnya. Itulah mengapa "Cina" menjadi sebutan yang populer meski bernada ejekan/cemoohan. Apalagi, keuletan dan ketangguhan dalam berdagang yang telah menghasilkan jaringan bisnis terpercaya justru ditunggangi oleh kepentingan bisnis yang lain seperti dari para penguasa (kolonial Belanda dengan kaki tangan "pangreh praja"/reh=membujuk). Hanya di pasarlah, para pedagang keturunan Tionghoa dapat bertemu dan bertegur sapa dengan masyarakat lain yang berbeda suku, agama dan kelas sosial. Di luar itu, mereka ditempatkan dalam suatu perkampungan yang disebut Pecinan dengan pengawasan dari Kapitan, Mayor, atau Letnan Tionghoa. Jadi, sudah sejak jaman kolonial Belanda keturunan para "hoakiau" atau "sengli" dibuat seolah-olah tampak "impoten" secara politik namun "kaya dan jaya" secara ekonomi. Meski pada kenyataannya, ada juga keturunan Tionghoa yang berprofesi sebagai dokter, pengacara, arsitek, tentara bahkan wartawan, tapi stereotipe ke-"cina"-an lebih berdampak secara psikososial daripada jasa/prestasi mereka dalam masyarakat plural/majemuk (plural society). Itu artinya, prasangka terhadap mereka yang bermata sipit dan berkulit putih sebagai  Cina" yang pelit, serakah dan sombong adalah akibat dari politik penguasa (kolonial dan/atau Orde Baru) yang telah menciptakan bahasa "Sinophobia" demi mendapatkan kekuasaan tanpa perlu berkompetisi secara jujur, adil dan transparan. Itulah yang terjadi dan dialami oleh Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu yang sesudah dikalahkan secara telak, masih juga dihabisi karir politiknya dan nama baik keluarganya.

Hal serupa juga telah menimpa beberapa pengusaha Tionghoa ternama di masa lalu. Di Medan ada Tjong A Fie yang dikenal sebagai seorang pengusaha, bankir dan kapitan Tionghoa. Di Semarang Oei Tiong Ham disebut-sebut sebagai raja gula nusantara. Di Jogja, Tan Jin Sing atau KRT Secodiningratan adalah kapitan Tionghoa yang paling dihormati. Namun, mereka tetap dianggap sebagai "Cina wurung, Londo durung, Jawa tanggung (bukan lagi Tionghoa, belum Belanda, dan Jawa setengah matang)". Dengan anggapan itu, "Cina" selalu diposisikan sebagai "kambing hitam", "kelinci percobaan", dan "sapi perahan". Sebuah posisi yang ujung-ujungnya adalah politik kekerasan beridentitas SARA.

Apakah politik identitas itu akan tetap bertahan dan menjadi gerakan populisme baru? Jika masalah kelas, terutama dari kalangan menengah yang terdidik/terpelajar, masih didominasi oleh ketakutan terhadap apa yang disebut sebagai "rakyat", maka tinggal menunggu saat dan tempat yang tepat saja "Cina" menjadi identitas yang enak dan perlu untuk dikorbankan. Dalam konteks ini, pengabaian atas identitas "Cina" dengan "raison de etre" alias "alasan menjadi" Indonesia tak ada bedanya dengan menganggap, misalnya kerusuhan Mei 1998, termasuk tragedi perkosaannya, sebagai sebuah "amok massa". Sebab jika demikian, massa (rakyat) yang mengamuk adalah representasi dari kebencian, bahkan dendam, terhadap mereka yang disebut "Cina". Padahal pada saat dan tempat yang serupa hal itu dikatakan sebagai bentuk dari "kesadisan", "tidak manusiawi", dan "dosa sosial". Benarkah begitu? Atau, jangan-jangan ketakutan terhadap massa/rakyat yang mengamuk (seperti terjadi di masa Revolusi 1945-1946) adalah bentuk pengalihan (sublim) dari penampakan kelas menengah yang takut untuk di-cina-cina-kan?

 

A. Windarto

Peneliti di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta.

Ikuti tulisan menarik A. Windarto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler