x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perjalanan Teh Membentuk Budaya Modern

Sejarah teh, tulis Rappaport, berjalinan dengan sejarah kapitalisme dan modernitas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dalam buku Ancient Inventions, Peter James dan Nick Thorpe menyebut tiga jenis minuman yang sejak zaman kuno sudah ada: teh di Asia Timur, kopi di Timur Tengah, dan cokelat di Amerika Tengah. Minuman teh dapat ditelusuri kembali hingga sekitar tahun 50 Sebelum Masehi di Cina selatan. Mula-mula, teh digunakan sebagai obat—sejenis stimulan untuk meleawan efek buruk dari makan berlebihan.

Hingga kemudian, teh sebagai seni mulai berkembang pada masa Dinasti Tsang (618-906). Seperti dikutip oleh James dan Thorpe, Lu Yu menulis dalam bukunya, Tea Classic, pada tahun 780: “Teh mempunyai efek mendinginkan. Ketika merasa panas, haus, tertekan, menderita sakit kepala, lelah anggota tubuh, atau sakit persendian, seseorang sebaiknya minum teh saja, empat atau lima kali dalam sehari.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika pamor teh semakin berkilauan, penguasa Cina mulai menerapkan pajak retribusi teh pada 793 Masehi. Pada masa itu, teh kualitas terbaik didatangkan dari sekitar Shanghai. Kontes teh juga diselenggarakan dan diikuti hanya oleh teh-teh dengan kualitas terbaik. Teh kemudian berkembang menjadi komoditas perdagangan yang penting.

Kajian mendalam mengenai pengaruh teh ke berbagai belahan dunia dibahas oleh Erika Rappaport dalam bukunya yang terbit tahun lalu (Penerbit Princeton University Press, 2017, 568 hlm.): A Thirst for Empire: How Tea Shaped the Modern World. Rappaport berusaha menunjukkan bahwa lebih dari komoditas dagang yang diakui perannya, teh tumbuh dan berkembang menjadi ‘kekuatan yang memberadabkan’. Teh semakin dikenal sebagai minuman yang menyembuhkan ‘persoalan tubuh, bangsa, maupun dunia’. Sejarawan Amerika ini melacak kebangkitan teh sebagai komoditas global pada abad ke-17 dan bagaimana konsumsi, cita rasa, maupun perdagangan tumbuh di masa itu.

Sejarah teh, tulis Rappaport, berjalinan dengan sejarah kapitalisme dan modernitas—seperti rempah-rempah yang melalangbuana dari negeri asalnya ke berbagai belahan bumi. Dengan pengisahan yang kaya, oleh Rappaport pembaca diajak berjalan dari kedai-kedai di London lalu ke perkebunan Assam, India, hingga perusahaan periklanan di Madison Avenue, New York City, AS.  Ia menyingkapkan teknologi dan teknik-teknik pemasaran untuk mempopulerkan teh di panggung global.

Dibawa ke Eropa, mula-mula melalui Jalur Sutera dan kemudian oleh kapal-kapal milik VOC, teh menjadi sarana transmisi budaya—orang-orang Eropa terpengaruh pandangan bahwa teh baik untuk kesehatan. Popularitas teh memantik minat orang-orang Eropa terhadap segala sesuatu yang beraroma Cina, seperti sutera dan porselin. Sejak kedatangan VOC ke Nusantara, penanaman teh di Jawa pun dimulai oleh Belanda, sehingga Cina mengancam untuk menghentikan pasokan teh ke Eropa. Situasi ini mendorong Inggris untuk menanam teh di tanah jajahan India.

Menarik bahwa meskipun zaman terus berubah, teknologi baru menggantikan yang lama, teh tetap mendapat tempat di berbagai masyarakat dunia. Teh tetap merupakan kekuatan dalam ekonomi yang tak bisa diabaikan, namun lebih dari itu teh menjadi bagian yang turut membentuk budaya modern. Di Indonesia, misalnya, sebagian masyarakat—seperti Sunda—menjadikan teh sebagai teman hidup sehari-hari. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler