x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tradisi Senjata di Amerika: Seperti “Bawaan Orok”

Senjata diciptakan memang untuk menembak, terlepas dari siapapun korbannya yang ditembak: bisa binatang, bisa benda mati saat latihan, bisa juga orang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Statistik CNN menyebutkan, dari 650 juta pucuk senjata yang ada di bumi saat ini, 48 persen di antaranya (sekitar 320 juta pucuk) dimiliki oleh warga Amerika, baik secara legal maupun ilegal. Padahal penduduk Amerika hanya sekitar 4,8 persen dari total penduduk bumi.

Diperkirakan untuk senapan jenis AR-Rifle saja (jenis senjata yang digunakan daalam penembakan di sekolah menengah Florida, pada 14 Februari 2018) terdapat sekitar 5 juta pucuk yang dimiliki oleh warga Amerika.

Hak kepemilikan senjata bagi warga Amerika mengacu pada Konstitusi Amandemen Kedua, yang menyebutkan, “well-regulated Militia, being necessary to the security of a free State, the right of the people to keep and bear Arms, shall not be infringed” (milisi yang terorganisir dengan baik, dan merasa perlu untuk menjaga negara bagian yang bebas, maka hak warga untuk memiliki senjata tidak boleh dilanggar).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun hak berdasarkan konstitusi tersebut menjadi dilema: memicu berbagai aksi penembakan atau pembunuhan sepanjang sejarah Amerika. Kasus terakhir adalah penembakan di sebuah sekolah menengah di Florida, yang menewaskan 17 orang, pada Rabu, 14 Februari 2018, yang dilakukan oleh Nikolas Cruz (19 tahun), dengan menggunakan senapan AR-15 Riffle.

Berdasarkan data New York Times, sejak pembantaian Sandy Hook pada 2012 yang menewaskan 20 anak dan 6 orang dewasa, saat ini, secara nasional Amerika, tercatat 239 sekolah yang pernah mengalami aksi penembakan. Artinya, rata-rata 5 kali penembakan di sekolah setiap bulan. Total korban penembakan sejak 2012 mencapai 438 orang, 138 di antaranya tewas.

Dan budaya menggunakan senjata di kalangan warga Amerika mungkin tidak cukup hanya menelusurinya ke pasal Konstitusi Amerika. Di sini saya tertarik analisa Mohamad Hassanain Heikal dalam buknya: Pax Americana (2003) yang mengulas tentang 12 kunci untuk memahami watak dasar orang Amerika (saya mengutip empat kunci pertama, yang terkait secara langsung ataupun tidak langsung dengan budaya senjata di kalangan warga Amerika):

Pertama, Amerika adalah negara yang beruntung: wilayah luas namun legasi sejarah yang sedikit. Artinya, dibanding imperium lainnya yang pernah ada, Amerika memiliki sumber daya yang tanpa batas, namun tidak memiliki beban sejarah.

Kedua, Amerika tidak tercipta sebagai sebagai sebuah nation (negara), tapi sebagai kolonisasi; bukan sebagai negara, tapi sebagai tempat pelarian atau pengungsian (orang-orang dari Eropa).

Ketiga, para pendatang Eropa melihat tanah Amerika sebagai wilayah terbuka, yang perlu ditaklukkan agar bisa survive di tanah baru. Ketika para pendatang Eropa tiba di pantai timur Amerika, sejak awal, ambisi mereka adalah menguasai tanah dengan prinsip sejauh kaki kuda melangkah, dan sejauh yang bisa dikuasai senjata.

Kempat, oleh karena pendatang itu tidak memiliki pertimbangan beban sejarah, kemanusiaan atau acuan hukum, maka jalan pintas untuk menguasai alam terbuka itu adalah menggunakan kekuatan: tidak ada lain kecuali kekuatan senjata, dan hanya kekuatan senjata. Kekuatan menjadi sumber legalitas. Maka kalimat pertama adalah mengarahkan moncong senjata, dan kalimat terakhir adalah menarik pelatuk senjata. Korban pertamanya adalah orang Indian.

Sejarah terus bergulir sejak Colombus mendarat pertama kali di Benua Amerika dan memulai agenda kolonisasi Eropa pada 1492. Dan budaya menguasai dengan senjata itu semakin mengkristal: awalnya secara individu, lalu meningkat ke level kelompok, kemudian komunitas, dan negara. Tidak aneh, bila politik luar negeri Amerika di era Pax Americana saat ini, lebih bertumpu pada kekuatan senjata. Kalimat pasal Konstitusi yang di atas adalah pengakuan terhadap realitas sosial.

Dan segala sesuatunya pasti punya harga dan konsekuensinya. Pada level dalam negeri, Amerika menghadapi dilema serius: antara mempertahankan budaya menggunakan senjata di satu sisi dan menekan aksi-aksi penembakan brutal di sisi lain. Dan there is no easy solution. Sebab senjata bukan hanya berkaitan dengan pasal-pasal konstitusi, atau budaya menggunakan yang mengkristal turun temurun lebih dari enam abad, tapi saat ini juga berkaitan dengan bisnis senjata dan pabrik senjata yang tidak boleh berhenti berproduksi. Dan seperti diketahui, kelompok yang paling menentang pembatasan senjata di Amerika adalah mereka yang terkait dengan bisnis dan produksi senjata tersebut.

Dan jangan lupa faktor politik. Center for Responsive Politics menyebutkan, National Rifle Association di Amerika, pada tahun 2016 menyumbang dana sebesar 10,6 juta USD kepada Donald Trump untuk kampanye Pemilu Presiden 2016. Sementara, kelompok yang berjuang untuk hak kepemilikan senjata menyumbang 5,8 juta USD untuk anggota Kongres Amerika pada 2016, sebagian besar untuk anggota Kongres dari Partai Republik.

Dan kita tahu, watak dasar senjata adalah memuntahkan pelurunya. Tiap sesuatu akan berfungsi dan/atau difungsikan sesuai dengan tujuan pencitptaannya. Senjata diciptakan memang untuk menembak, terlepas dari siapapun korbannya yang ditembak: bisa binatang, bisa benda mati saat latihan, bisa juga orang.

Menarik mengutip judul artikel dari thechipherbrief.com, pada 16 Februari 2018, “How to Stop a Mass Killer? ‘Wait, Watch and Hope They Don’t Act’ (Bagaimana menghentikan penembakan massal? ‘Tunggu, amati, dan berharaplah agar para [calon] penembak tidak beraksi). Sebuah keputusasaan untuk menawarkan solusi.

Menggunakan senjata di kalangan warga Amerika mungkin bukan lagi sekedar kebiasaan, barangkali juga bukan lagi sekedar tradisi, tapi telah menjelma menjadi semacam “bawaan orok”. Tidak aneh, Nikolas Cruz yang baru berusia 19 tahun, dengan lincah dan tenang memuntahkan peluru untuk membunuh orang-orang yang relatif seusia dengannya.

Syarifuddin Abdullah | 19 Februari 2018 / 04 Jumadil-tsani 1439H.

Sumber foto: www.foxnews.com (gambar Nikolas Cruz, yang baru berusia 19 tahun, tukang jagal di sekolah menengah Florida, Amerika, pada 14 Februari 2018, yang menewaskan 17 orang).

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler