x

Iklan

Agus Ruslani

Statistician, Government Official, Interested in Economics, International Trade, & Finance.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Neraca Perdagangan Indonesia Terus Melorot, Ada Apa?

Performa neraca perdagangan Indonesia selama beberapa bulan terakhir terus mengalami penurunan yang cukup drastis. Apa yang terjadi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sistem perekonomian yang tertutup bukan lagi sebuah pilihan untuk membangun negara. Perekonomian tertutup hanya akan mengandalkan sepenuhnya kemampuan sendiri dalam upaya pemenuhan segala kebutuhan rakyatnya tanpa adanya interaksi dengan negara lain. Di dalam konteks hubungan antar negara, sistem ini pernah ada pada masa-masa perang dunia berkecamuk. Banyak negara yang menerapkan tarif perdagangan yang sangat tinggi sehingga memperparah kondisi perekonomian saat itu.

Zaman berganti, masa-masa peperangan berlalu dan negara-negara dunia mulai bergerak bersama membangun sebuah sistem perdagangan internasional yang berlaku bagi semua negara. Organisasi perdagangan internasional (WTO) dibentuk, institusi keuangan (World Bank) dan pembiayaan internasional (IMF) diadakan dan organisasi negara-negara di dunia (PBB) aktif mengkampanyekan kehidupan bersama di dunia.

Seperti yang dipublikasikan Trading Economics dan Badan Pusat Statistik (BPS), sejak menjadi anggota WTO tahun 1995, Indonesia mengalami pertumbuhan surplus perdagangan yang cukup pesat hingga mencapai puncaknya di akhir 2006 dengan membukukan surplus perdagangan 4.641,92 juta dolar. Krisis finansial dunia yang bersumber dari kegagalan kredit perumahan di Amerika Serikat berimbas pada menurunnya neraca perdagangan Indonesia yang melorot menjadi defisit 725,03 juta dolar pada April 2008 silam. Meskipun setelah itu neraca perdagangan berfluktuasi dengan gap yang cukup jauh, tren bergerak membaik hingga kembali memuncaki grafik di tahun 2011.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kondisi perekonomian global yang terus tidak menentu, harga minyak dunia yang jatuh, dan krisis Rusia menyebabkan PDB dunia dibukukan rendah pada 2015. Kondisi ini juga ikut menyebabkan performa neraca perdagangan Indonesia ikut terfluktuasi menurun di awal pergantian presiden tahun 2014. Perbaikan ekonomi terus dilakukan oleh pemerintah yang baru terpilih sehingga mampu mengangkat kembali tren peningkatan neraca perdagangan.

Meskipun demikian, neraca perdagangan Indonesia terus melorot dan terkoreksi beberapa kali menjadi defisit selama kepimpinan Presiden Jokowi, yaitu -397,3 juta dolar (Oktober 2016), -274,4 juta dolar (Juni 2017), -220,1 juta dolar (Desember 2017) dan terendah di posisi -676,9 juta dolar (Januari 2018). Prestasi terbaik dalam perolehan surplus perdagangan terjadi pada September 2017 yaitu sebesar 1.779 juta dolar.

Membahas neraca perdagangan akan erat kaitannya dengan membaca aktivitas perdagangan internasional suatu negara dan bagaimana negara tersebut aktif dalam forum internasional. Untuk itu, biasanya suatu negara akan melakukan perjanjian perdagangan dengan negara lain yang kemudian akan terbentuk suatu perjanjian perdagangan regional/Regional Trade Agreements (RTA). Keikutsertaan Indonesia dalam WTO memberikan manfaat berupa kemudahan dalam penetapan tarif ekspor dan impor dengan negara lain sekaligus membantu menyelesaikan permasalahan sengketa dagang dengan negara lain. Semua jenis RTA yang ada dalam pembentukannya harus memberikan notifikasi kepada WTO dan mengikuti aturan yang berlaku menurut WTO.

RTA menurut tingkatan liberalisasi perdagangannya ada lima jenis, salah satunya adalah perjanjian perdagangan bebas/Free Trade Agreeements (FTA) yang merupakan RTA dengan tingkat liberalisasi paling rendah dibanding keempat jenis RTA lainnya. FTA bisa berupa bilateral antara dua negara saja (Jepang – Indonesia), satu negara dengan RTA lain (China – ASEAN) atau antar RTA (MERCUSOR – SACU). FTA menjadi yang rendah levelnya karena jenis RTA ini hanya menghapus hambatan perdagangan di antara partner dagang yang terlibat, yaitu penghapusan tarif atau bea impor barang dan penghapusan kuota impor komoditas yang masuk dalam perjanjian tersebut. Tanpa terlibat dalam suatu RTA, komoditas ekspor suatu negara akan tetap dikenakan tarif sesuai penetapan di negara tujuan ekspor tersebut. Negosiasi dagang biasa hanya mengurangi tarif sehingga harga komoditas ekspor tetap menjadi mahal karena pengusaha ekspor akan tetap menambahkan tarif tersebut ke dalam harga komoditas untuk menghindari kerugian.

Indonesia yang merupakan satu-satunya negara anggota ASEAN yang menjadi anggota tetap G20 Summit, ternyata hanya memiliki satu perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan negara lain di luar lingkup ASEAN (AFTA, ASEAN+1, ASEAN+3, dan RCEP), yaitu dengan Jepang. Perjanjian perdagangan bebas dengan Jepang ini ditandatangani pada tahun 2008 dan sejak saat itu tidak ada lagi penambahan perjanjian perdagangan bebas dengan negara lain. Bandingkan dengan negara tetangga yang sudah memiliki FTA lebih dari 1, misalnya Malaysia (7 FTA), Thailand (6 FTA) dan Vietnam (4 FTA). Selama tahun 2017, ketiga negara ini berhasil menambahkan FTA ke dalam daftar perjanjian perdagangan mereka.

Bagi ketiga negara tetangga tersebut, pasar domestik tidaklah cukup akibatnya mereka memerlukan ekspansi pasar ke luar negeri secara lebih agresif. Hal ini menjadi alasan bagi mereka untuk sebisa mungkin menambah jumlah perjanjian perdagangan bebas dengan negara lain. Sejatinya Indonesia memiliki pasar domestik yang potential untuk menopang perekonomian. Akan tetapi, kondisi dalam negeri yang juga berfluktuasi, golongan berpenghasilan menengah yang cenderung menahan konsumsi, dan situasi politik yang tidak menentu turut serta mengoreksi perolehan pendapatan pengusaha.

Jika kita bandingkan pertumbuhan PDRB tahunan Vietnam dengan Indonesia sejak 2008 hingga 2017, Vietnam berhasil membuat pola peningkatan pertumbuhan PDRB tahunannya yang mencapai puncak di akhir 2017 dengan pertumbuhan sebesar 7,65. Sementara pertumbuhan PDRB tahunan Indonesia terus menurun dan tidak mampu memenuhi target pertumbuhan yang ditetapkan pemerintah sendiri. Akhir 2017, pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyentuh angka 5,07 , meleset dari target 5,2.

Dalam ilmu ekonomi, PDRB tersusun salah satunya oleh selisih ekspor dan impor negara tersebut atau dengan kata lain nilai neraca perdagangan internasional. Sehingga ada hubungan yang erat antara perolehan surplus neraca perdagangan dengan kenaikan PDRB. Ketika konsumsi domestik mengalami penurunan, maka seharusnya diimbangi oleh kenaikan elemen lain. Meningkatkan surplus neraca perdagangan adalah upaya yang tepat karena akan terjadi multiplier effect terhadap peningkatan investasi ke dalam negeri dan juga lapangan pekerjaan.

Kondisi yang ideal mungkin dapat tercapai melalui perbaikan kemampuan konsumsi domestik yang besar untuk menopang perekonomian dalam negeri dan peningkatan surplus neraca perdagangan dengan memperbanyak kerja sama perdagangan, membuka pasar ekspor baru dan aktif dalam kegiatan forum internasional. Sudah saatnya bagi Indonesia untuk memperbaiki kualitas daya saing dan kuantitas produksi komoditas industri agar semakin banyak keuntungan yang bisa diberikan untuk kesejahteraan rakyat. (ar)

Ikuti tulisan menarik Agus Ruslani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler