x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Saya Mengoleksi Action Figure?

Mengoleksi Action Figure adalah hobi yang sehat, selama kita bisa membatasi diri dengan skema anggaran hingga karakter mana yang jadi fokus koleksi nanti.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akhir 80-an hingga awal tahun 90-an adalah masa-masa indah bagi saya. Pada masa itu, saya mulai mengenal dua barang yang saya cintai, ah, sukai hingga kini: buku dan mainan –tepatnya action figure. Saat itu kami sekeluarga masih tinggal di Lhokseumawe, Aceh Utara. Bapak yang kerap dinas ke Jakarta tak pernah lupa mampir ke toko buku Gunung Agung di pusat perbelanjaan wilayah Jakarta Timur, untuk membeli buku-buku cerita terutama pewayangan karya Ganesh T.H. dan Jan Mintaraga hingga kisah pahlawan nasional.

Bapak juga suka membeli mainan berupa action figure, yang belakangan saya tahu bermerek Kenner, produsen mainan terbesar di dunia pada masa itu. Dari Kenner-lah, mainan-mainan seperti Star Wars, Batman, Superman, Robocop hingga G.I. Joe dikenal. Pada tahun 2000, Kenner diakuisisi oleh raksasa Hasbro yang dikenal dengan ikon robot Transformers. Beberapa koleksi yang saya ingat hingga hari ini adalah action figure Batman 1989 yang diperankan Michael Keaton, serial kartun M.A.S.K, G.I. Joe, Teenage Mutant Ninja Turtle (Kura-kura Ninja), Robocop (helmnya bisa dilepas), juga Dino Riders produksi (salah satu karakternya diambil teman sepermainan diam-diam tanpa izin saya). Selain itu, action figure Jepang juga membanjiri tanah air dengan karakter tokusatsunya, seperti Goggle V. Saya tidak begitu ingat mainan atau action figure dari karakter tokusatsu yang pernah saya miliki. Di antara deretan karakter di atas, Batman adalah koleksi yang paling melekat dalam ingatan saya. Memori itu masih bisa saya saksikan di unggahan video berikut: https://www.youtube.com/watch?v=7Acds7lgsxo

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada masa itu, serial kartun televisi asal Amerika disiarkan di TVRI, juga televisi Malaysia melalui saluran parabola. Saya sebagaimana anak-anak seusia saya begitu setia menanti kehadiran tontonan itu. Kesukaan saya pernah bergeser sebentar ke Tamiya, mobil mini pacu, yang lama-kelamaan membosankan. Saya pun kembali ke action figure hingga lulus SD.

Tamat SD hingga lulus kuliah, saya praktis tidak memiliki koleksi action figure satu pun. Selain rusak, koleksi lama bertebaran entah ke mana. Praktis, selama 12 tahun, saya jauh dari hobi masa kecil itu. Saya tenggelam dalam dunia buku-buku. Sama asyiknya. Selain harganya realtif terjangkau, apalagi untuk saya yang masih berstatus mahasiswa saat itu. Meski tak memiliki satu pun koleksi action figure, saya ingat betul kebiasaan yang tidak berubah dari kecil. Saya selalu berlama-lama memandangi etalase yang berisi mainan atau action figure di pusat-pusat perbelanjaan. Sebelum 2010, meski sudah cukup memiliki uang, saya masih belum berani membeli action figure.  

Sayangnya, lelaki tetaplah anak-anak meski usianya beranjak tua. Alasannya, bagi mereka yang percaya pada anggapan ini, adalah perilaku sebagian besar lelaki yang tetap hidup di dunia anak-anaknya. Salah satunya dengan mengoleksi mainan, baik itu die cast mobil-mobilan hingga miniatur tokoh, atau  yang populer disebut action figure tadi. Pertahanan mental saya jebol juga. Obsesi yang lama terpendam harus diwujudkan.

Hobi itu kembali menemui takdirnya pada 2010. Saya berkunjung ke salah satu pusat perbelanjaan di Bekasi. Saya mendatangi sebuah toko yang menjual beberapa action figure. Mata saya tertuju pada kotak mainan yang berisi dua karakter penting dalam komik DC asal Amerika. Kotak persegi panjang itu berisi karakter Batman dan Joker versi film The Dark Knight karya Christopher Nolan ukuran 3,75 inci seharga Rp 60 ribu. Saya termasuk penggemar berat film The Dark Knight, berikut karakter Batman dan Jokernya. Sejak saat itu, semuanya dimulai.

Saya seperti memasuki sebuah hutan belantara dalam dunia action figures yang banyak berubah. Pada masa kini, Kenner sudah tidak ada. Hasbro, Mattel, NECA, Mezco, DC Collectibles, dan pabrikan lain asal Negeri Abang Sam, menggantikan Kenner. Merek asal Jepang seperti Bandai, Medicom, hingga Play Arts bersaing berebut pasar. Setiap pabrikan memiliki ciri khas yang mampu menarik minat para kolektornya.

Belakangan, China pun mulai ikut masuk gelanggang industri ini dengan merek tertentu. Selama ini, hampir semua pabrikan action figure memproduksi barangnya di Negeri Tirai Bambu tersebut –mungkin dengan pertimbangan ongkos produksi yang jauh lebih murah. Seperti halnya produk telepon seluler, produk asal China ini bisa dikatakan berani bersaing dengan harga yang lebih murah,

Racun, istilah yang dipakai kolektor untuk produk yang menggoda, sudah bertebaran. Tak hanya di jagat nyata melalui toko-toko mainan, kehadiran media sosial membuat racun itu berteparan dalam linimasa akun Facebook hingga Instagram kita. Jika kita pemain baru dalam hobi ini, ada kecenderungan untuk tidak sabar dan membeli segala karakter action figure tanpa mempertimbangkan banyak hal, mulai dari harga hingga karakternya itu sendiri. Saya pun pernah melakukannya. Saat pertama kali mengoleksi action figure, saya hampir membeli karakter-karakter yang saya sukai secara spontan. Tak ada sekat antara karakter superhero asal DC atau Marvel, kecuali karakter superhero Jepang. Semua akur dipajang di atas meja kamar.

Ternyata, memborong semua karakter tanpa mempertimbangkan ukuran, lini, hingga karakter dapat berakibat pada banyak hal, seperti jebolnya kantong hingga kecanduan. Sebuah tayangan di Youtube dengan tautan https://www.youtube.com/watch?v=OcxQJi5TGMY bisa memberikan gambaran betapa hobi yang positif bisa menyeret individu pada perilaku berlebihan –bahkan dikategorikan sakit secara psikologis.   

Kebetulan, saya bukan pribadi yang cepat bosan pada barang. Beberapa kawan mungkin akan menjual koleksinya jika sudah bosan, atau dikarenakan alasan lain yang lebih masuk akal seperti kebutuhan finansial. Jika tidak direm, koleksi yang semakin banyak ini bisa merusak estetika ruang sendiri. Beberapa kolektor besar bahkan sudah tak sanggup menata ruang karena terlalu sumpek di koleksi action figure-nya.

Mengoleksi action figure tidaklah serumit merawat hewan peliharaan. Tanggung jawab merawat hewan peliharaan jelas lebih besar karena kita harus menjamin kesehatannya. Selama ini saya hanya butuh tisu basah, sikat berbulu halus, dan lap kering untuk merawat koleksi. Semudah itu. 

***

Saya tidak naif bahwa saya juga berusaha membatasi diri untuk tetap menjalani hobi ini dengan sebijak mungkin. Harga action figure hari ini berbeda dengan lima tahun lalu. Beberapa produk premium seperti Hot Toys yang skalanya 1:6 dengan harga rata-rata di atas Rp 2 juta, sudah pasti tidak masuk dalam daftar keinginan belanja mainan saya. Selain mahal, ada keterbatasan ruang. Produk Hot Toys asal Hongkong ini membutuhkan ruang yang besar serta perawatan yang lumayan detail. Ditambah, tak mudah “memainkan” Hot Toys, kecuali kamu seorang fotografer andal seperti Edy Hardjo yang dikenal dengan foto-foto uniknya memposekan action figure.

Beberapa item action figure memang menguntungkan jika dijual kembali, terutama produk yang berkategori langka. Salah satunya, saya bisa memberi contoh ini karena mengoleksinya, yaitu karakter musuh Batman di permainan konsol Arkham Asylum, Bane. Saya membelinya pada 2011 dengan harga Rp 450 ribu. Kini, harganya menembus Rp 1 juta tergantung kondisinya. Jika kondisinya masih MOC (Mint on Car) atau masih disegel dalam boks, tentu harganya melebihi itu. Selain itu,  ada action figure Batman Thomas Wayne dari seri Flashpoint, yang harganya menembus Rp 1 juta juga, dan karakter Cyborg Superman yang juga harganya selangit. Masih banyak cerita dari lini produk lain yang tidak saya tahu, juga beberapa produknya tergolong langka dan harganya menjulang.

Sampai hari ini, saya memilih hobi ini dengan kesadaran sebagai stimulan dalam pekerjaan saya di industri kreatif. Saya memilih Batman dan karakter-karakter DC yang berhubungan dengannya sebagai fokus koleksi action figure hingga hari ini. Mengapa? Selain memori masa kecil, saya juga mengikuti kisah-kisah mereka, baik di novel grafis hingga film. Soal harga, relatif. Sejauh ini saya masih bisa bertahan pada angka yang bisa dimaklumi. Sejauh ini, hobi mengoleksi action figure masih saya anggap sehat dan positif –apalagi istri (masih) mendukung. Tertarik juga?

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler