x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Madrasah Literasi

Bagaimana membangun madrasah literasi, merawatnya dan mengembangkannya? Buku Ahmad Hanapiyah ini adalah contoh bagus yang layak diteladani.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Madrasah Literasi

Penulis: Ahmad Hanapiyah

Tahun Terbit: 2017

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Pustaka Media Guru

Tebal: vi + 98

ISBN:

Madrasah literasi? Apa pulakah itu? Bukankah madrasah memang sudah berbudaya literasi dengan baik? Bukankah di madrasah budaya mengaji dan mengkaji adalah makanan sehari-hari? Bukankah semua siswa di madrasah, terutama madrasah yang memberi kesempatan kepada para santrinya untuk mondok mempunyai budaya membaca kitab-kitab yang diwajibkan di luar jam sekolahnya? Betul. Madrasah memiliki budaya membaca yang baik. Namun sejak madrasah mengadopsi model pendidikan umum, banyak madrasah yang mengikuti kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah umum. Bedanya hanya ditambah dengan matapelajaran agama yang lebih dalam. Akibatnya budaya membaca, khususnya buku bacaan yang bukan berhubungan dengan matapelajaran dan agama menjadi surut.

Madrasah sebagai wahana pencerdasan kehidupan bangsa, perannya sangat strategis. Namun kualitas madrasah berentang Panjang. Ada madrasah yang luar biasa sampai bisa mengantar para siswanya menggapai juara di berbagai kejuaraan sain dunia, namun banyak juga madrasah yang semenjana. Salah satu sebab kurangnya mutu madrasah yang semenjana tersebut adalah karena hilangnya budaya membaca. Itulah sebabnya, madrasah harus kembali mengasah budaya membaca bagi para siswanya.

 

Tak bisa dipungkiri bahwa membaca adalah salah satu syarat utama untuk berenang dalam dunia global. Kemampuan membaca dan mencerna bahan bacaan adalah sebuah keterampilan yang tak bisa diabaikan jika kita ingin berhasil dalam meniti hidup di dunia yang serbatulis ini. Kecakapan menangkap makna dari ujaran lisan memang penting. Tapi seberapa banyak ujaran lisan penting yang bisa kita dapatkan? Bukankah hampir semua hal penting telah dikemas dalam bentuk tulisan? Bakhan Kitab Sucipun dikemas dalam bentuk tulisan.

Sayangnya, sering masyarakat kita abai kepada keterampilan yang sangat penting ini. Bahkan persekolahan yang seharusnya menjadi tempat menyemai keterampilan penting ini kadang lupa akan tugasnya. Anak-anak kita di rumah dan masyarakat tak sering dikenalkan dengan kemampuan menalar informasi-informasi yang sekarang ini menjejali setiap jengkal ruang. Keterampilan membaca tak diajarkan secara serius di ruang-ruang belajar kita. Anak-anak dipaksa menjadi penelan dan memuntahkan informasi yang sama. Otak anak-anak kita dipaksa menghafal informasi yang dijejalkan dan kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk yang harus sama persis. Salah kata berarti salah. Proses belajar seperti ini, yaitu proses menghafal informasi, justru akan menjerumuskan anak-anak kita kepada penelan informasi apa saja, yang sangat berbahaya untuk hidup di abad milenium ini. Sebab banyak sekali informasi sesat yang kemasannya bagus. Jika anak-anak kita tidak sejak awal dilatih untuk mencerna, menganalisis dan memiliki pendapatnya sendiri, maka mereka hanya akan menjadi sekelompok manusia yang dimanfaatkan oleh manusia lain demi kepentingan tertentu.

Untunglah Pemerintah segera sadar akan kekurangan dunia pendidikan kita. Budaya membaca kembali didengungkan dengan keras. Bahkan Presiden pun ikut serta berkampanye melalui mendongeng di hadapan anak-anak, mengundang para pegiat literasi, membebaskan pengiriman buku setiap tanggal 17, dan mendorong budaya baca di sekolah dan masyarakat secara nyata. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama serta pemerintah di daerah juga telah serius membenahi hilangnya kesempatan membaca di sekolah. Melalui kegiatan pembiasaan, pengadaan buku bacaan dan kegiatan motivasi telah dilaksanakan.

Buku karya Ahmad Hanapiyah (Kang Navy) ini adalah salah satu contoh nyata bahwa di tengah keterbatasan yang dimiliki sekolah/madrasah, seorang guru bisa membuat sebuah perubahan. Mengeluh tak akan ada gunanya. Memulai, meski hanya sedikit ada gunanya.

Ahmad Hanapiyah adalah guru yang beruntung. Sebab semangatnya yang menggebu untuk mengembangkan budaya baca di sekolah, bersambut dengan kesempatan pelatihan berkualitas dari berbagai pihak. Pelatihan-pelatihan tersebut telah mendorongnya untuk menerapkan di madrasah dimana Kang Navy mengabdi.

Banyak guru, kepala sekolah atau pihak lain yang juga memiliki semangat membara seperti halnya Kang Navy. Namun tidak semua dari mereka mendapat kesempatan yang sama seperti Kang Navy.

Itulah sebabnya Kang Navy menulis buku ini. Kang Navy mau berbagi pengalamannya kepada para guru, kepala sekolah yang sama-sama memiliki kerinduan untuk mengembangkan budaya baca di sekolah/madrasahnya tetapi tak berkesempatan mendapatkan pelatihan yang memadai. Saya yakin buku yang mengungkap pengalaman penerapan hasil belajar dari pelatihan di madrasah ini sama bermutunya dengan pelatihan yang diterima oleh Kang Navy. Bahkan menurut saya buku ini lebih bermutu dari modul-modul pelatihan pengembangan budaya baca. Sebab dalam buku ini disampaikan sebuah pengalaman nyata. Bukan sekedar teori saja.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler