Kegagalan konstruksi bekisting pierhead proyek Becakayu Jakarta menambah daftar panjang kecelakaan kerja proyek konstruksi infrastruktur kita. Dalam 10 bulan terakhir terjadi hingga 10 kali insiden kecelakaan pada proyek-proyek strategis yang serupa. Lantas, kenapa bisa terjadi demikian? Banyak spekulasi yang bisa terjadi ketika informasi telah disampaikan khalayak. Tentu peristiwa ini menjadi peringatan dini bagi para stakeholder dan para aktor yang berkiprah di bidang jasa konstruksi (Kementrian Terkait, Kelompok penyedia jasa konstruksi seperti: Perencana, Pengawas, dan Pelaksana).
Pada proyek konstruksi mempunyai tahapan tertentu seperti: perencanaan desain, konstruksi, dan pemeliharaan (Oberlender: 2000). Memang nampak jelas kegunaannya pada tahap operasi karena berpuluh bahkan beribu orang akan menikmatinya. Namun, ironisnya pada tahap konstruksi tersebut penuh dengan resiko kecelakaan kerja. Dari skala kecil maupun besar, yang sewaktu-waktu selalu mengintai setiap saat.
Menafikkan atau menghilangkan kemungkinan kecelakaan kerja adalah hal yang mustahil. Hanya saja kita bisa meminimalisir potensi itu yang mengarah pada kecelakaan kerja.
Satu hal yang pasti, penyedia jasa tidak dibolehkan untuk tidak memiliki jaminan keselamatan tenaga kerja. Hal ini sebagai syarat yang mesti dipunyai dalam proses pelelangan dan tentunya harus sudah teruji. Jika “tidak” maka penyedia jasa, memungkinkan akan masuk dalam daftar hitam. Bahkan tak dapat mengikuti proses pelelangan proyek.
Keputusan pemerintah melakukan “penghentian sementara” pada beberapa lokasi proyek infrastruktur yang mengalami kecelakaan kerja sudah tepat. Ada hal yang mesti di evaluasi, dari sisi perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasan.
Di Indonesia tingkat kecelakaan kerja tinggi, yang di sebabkan oleh karakteristik proyek konstruksi yang bersifat unik (tidak standar), lokasi proyek yang berpindah, dipengaruhi cuaca, waktu pelaksanaan terbatas, tenaga kerja yang didominasi pekerja tidak terlatih dan pekerjaan konstruksi menuntut ketahanan fisik yang tinggi (Sucita&Broto, 2014 ; Wirahadikusumah, 2007). Namun secara garis besar kita bisa melihat dari beberapa aspek yaitu manusia, lingkungan dan peralatan kerja.
Oleh karena itu, aspek sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) adalah satu hal yang sangat penting dan saling berhubungan dengan ketiga aspek tersebut. Dampaknya bisa berefek pada produktivitas kerja dan keberlangsungan suatu proyek. Lebih dari itu, ada persoalan mendasar perihal kemanusiaan yang mesti ditegakkan.
Untuk itu peningkatan aspek kesadaran SMK3 mesti terus dilakukan pemerintah. Seperti pemberian apresiasi pada tahun 2005 silam, kepada para penyedia jasa atau pun pelaku usaha di tingkat Nasional yang telah menerapkan prinsip SMK3 dalam operasional perusahaan. Kompetisi serupa bisa diteruskan hingga pada tataran pelaku usaha di tingkatan lokal (daerah). Sehingga sedikit banyak membawa pengaruh perubahan positif. Perubahan perilaku di dunia jasa konstruksi baik terhadap pekerja maupun sistem dan metode kerja. Meski dalam jangka waktu yang kita tidak pernah tahu secara pasti.
Tantangannya barangkali adalah rendahnya taraf kualitas hidup masyarakat Indonesia. Dari sekitar 4,5 juta pekerja konstruksi Indonesia, lebih dari 50% diantaranya hanya mengenyam pendidikan formal sampai di tingkat Sekolah Dasar (SD). Mereka adalah tenaga kerja lepas harian yang tidak meniti karir keterampilan di bidang konstruksi. Namun sebagian besar adalah tenaga kerja dengan keterampilan seadanya dan masuk ke dunia jasa konstruksi. Di sinilah peranan lembaga-lembaga sertifikasi keahlian dan keterampilan untuk turun secara langsung mendesain dan mempersiapkan masa depan melalui sumber daya manusia kita.
Benar saja kata Stephen Gardiner “Bangunan yang baik datang dari orang yang baik, dan semua masalah diselesaikan oleh desain yang baik”
*(Image - Kaleidoskop-Foto.tempo.co)
Ikuti tulisan menarik firno ardino lainnya di sini.