x

Iklan

purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Agnotologi di Sekitar Kita

Industri rokok menunjukkan bagaimana kebodohan bisa diproduksi untuk terus meraup untung. Siasat yang kini dipraktekkan untuk tujuan politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah sengaja menelaah upaya bertahun-tahun industri rokok mengelak dari maut, Robert Proctor, seorang sejarawan dari Stanford University, pada 1995 memperkenalkan kata “agnotologi”. Dia menggunakan kata ini sebagai istilah untuk merujuk studi tentang bagaimana kebodohan sengaja diproduksi supaya sesuatu bisa dijual, atau demi memperoleh keuntungan ekonomi atau dukungan politik--studi yang sungguh relevan dengan, sekaligus berguna untuk menjelaskan dan memahami, fenomena akhir-akhir ini.

Dokumentasi yang diselisik Proctor, hingga sampai ke “penemuan” disiplin ilmu baru itu, sangat lengkap dan gamblang mendeskripsikan bagaimana industri rokok berhasil menghalau “kiamat” akibat publikasi hasil riset yang membuktikan adanya hubungan antara merokok dan kanker. Pada 1953, di tengah kecemasan dan krisis akibat publikasi bukti-bukti hubungan itu, para bos perusahaan rokok terkemuka di Amerika meminta bantuan Hill & Knowlton, sebuah perusahaan kehumasan. Siasat yang disarankan dan kemudian dijalankan adalah melontarkan keraguan dengan cara berulang-ulang mempersoalkan dan mengaburkan fakta (hasil riset yang sebetulnya tak terbantahkan), juga mendiskreditkan sumber fakta itu (para ilmuwan).

Sebuah memo dari musim panas 1969 yang disusun Brown & Williamson, salah satu raksasa perusahaan rokok, dan diedarkan di lingkungan industri rokok meringkaskan jalan pikiran perlawanan itu: “Keraguan adalah produk kami karena inilah sarana terbaik untuk bersaing dengan pengetahuan yang ada di dalam benak masyarakat pada umumnya. Keraguan juga merupakan alat untuk menghidupkan kontroversi.” Menjaga kontroversi tetap hidup adalah mantra perusahaan rokok.

Sudah menjadi pengetahuan umum, selama berpuluh-puluh tahun kemudian industri rokok mampu membendung berbagai regulasi, gugatan, dan bahkan membuyarkan persepsi di kalangan pengudut bahwa rokok bersifat adiktif dan mematikan. Pendeknya, mereka berhasil mengatasi gempuran kekuatan-kekuatan anti-rokok.

Siasat industri rokok itu lalu ditiru oleh berbagai kalangan hingga kini. Dan di masa ketika gagasan semacam Brexit di Inggris dan politikus seperti Donald Trump di Amerika Serikat sukses menunggangi pemilih kelas menengah-bawah dan kaum konservatif yang dengan gampang menyambut umpan berupa klaim-klaim palsu dan aneka kebohongan, siasat itu lagi-lagi memperlihatkan kedigdayaannya. Proctor pun tak bisa menahan diri untuk mengakui bahwa “kita hidup di dunia kebodohan radikal” atau “kita hidup di zaman keemasan kebebalan”.

Di indonesia, zaman keemasan itu bisa dibilang bermula dari masa pemilu presiden pada 2014. Hingga kini tudingan-tudingan tak berdasar tentang asal usul presiden Joko Widodo, perihal serbuan tenaga kerja dan modal Cina dalam ekonomi kita, juga belakangan isu Partai Komunis Indonesia yang hidup lagi serta kriminalisasi “ulama” terus-menerus dilambungkan demi meraih simpati murahan dan tepuk tangan “basis” politik. Politikus yang memainkan siasat ini biasanya lupa membereskan dulu pekerjaan rumahnya sehingga malah terlihat, kalau tak ngawur, ya, kurang pengetahuan atau lupa kata-katanya di masa lalu, yang justru bentrok dengan apa yang dikemukakannya sekarang--seperti belum lama ini diperlihatkan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan ketika mengklaim jumlah muslim merosot karena aliran kepercayaan resmi diakui negara serta mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengkritik kriminalisasi “ulama”.

Menghadapi kecenderungan produksi kebodohan yang kian meningkat itu, respons naluriah dari mereka yang masih peduli pada kebenaran--wartawan, akademisi, warga negara biasa--adalah melipatgandakan upaya mengutamakan fakta. Banyak organisasi pemeriksa fakta yang belakangan aktif mengecek klaim-klaim para politikus, juga mereka yang mengaku sebagai wartawan.

Di kalangan wartawan dari media arus utama pun timbul gairah untuk mengeskpos kebohongan atau kesalahan. Hal ini diikuti langkah-langkah penyedia layanan media sosial untuk membendung derasnya arus berita yang tergolong palsu. Facebook, misalnya, membuka saluran yang memungkinkan penggunanya melaporkan hoax; Facebook akan mengirimkan berita yang meragukan ke pemeriksa fakta independen, menandainya sebagai informasi yang kontroversial, dan mungkin menurunkan status berita itu di algoritma yang dirancang sebagai penentu apa yang pertama kali dibaca pengguna ketika mengunjungi akunnya.

Siapa saja yang merespons dan apa pun tindakannya, kesepakatan bersama mengenai pentingnya fakta memang diperlukan, supaya keadaan tak bertambah runyam. Tapi, kenyataannya, meningkatnya perhatian terhadap fakta tak serta-merta menjadikan pemilih lebih cerdas, menghasilkan keputusan yang lebih baik, dan penghargaan yang lebih tinggi terhadap kebenaran. Jika diingat bagaimana industri tembakau berhasil mengelakkan atau menunda kematiannya, melalui kebohongan dan penyesatan, apa yang terjadi belakangan ini sesungguhnya merupakan pengulangan.

Dari pengalaman dengan industri rokok itu, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang menjadikan fakta saja tak cukup di palagan melawan kebohongan yang terus-menerus diproduksi dan disebarkan. Mula-mula harus diakui bahwa kebohongan yang sederhana saja berpotensi mengalahkan seperangkat fakta yang kompleks, karena lebih mudah dipahami dan diingat. Fakta juga bisa membosankan; hal-hal yang membosankan dan mengalihkan perhatian boleh dibilang merupakan senjata yang mumpuni dalam pertarungan gagasan. Selain itu, kebenaran bisa menimbulkan ancaman, dan orang yang terancam cenderung akan menyerang balik.

Pada tahun ini, disusul tahun berikutnya, sehubungan dengan adanya pemilihan kepala daerah serentak serta pemilu presiden dan legislatif, bisa dipastikan penyebaran fitnah, hoax, dan kebodohan untuk tujuan politik bakal meningkat. Beban pekerjaan untuk melawannya jelas bagaikan tanjakan curam bagi pesepeda. Tapi agnotologi, dengan pengetahuan yang dikumpulkan dari praktek lengit industri rokok, juga identifikasi tiga hal yang berpeluang merintangi penggunaan fakta sebagai amunisi untuk memukul balik penyebaran kebodohan itu, mestinya bisa menjadi rujukan untuk menemukan siasat yang lebih jitu.

 

Ikuti tulisan menarik purwanto setiadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler