x

Iklan

Muchlis R Luddin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Robot dan Masa Depan Kemanusiaan

Laporan di bawah ini sangat menarik. Menggambarkan prediksi tentang bentuk kehidupan masa depan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

oleh: Prof. Dr. Muchlis R Luddin*

Laporan di bawah ini sangat menarik. Menggambarkan prediksi tentang bentuk kehidupan masa depan. Masa depan yang kerap kita harapkan, sekaligus kita cemaskan. Inilah laporannya: “Japan is home to the longest-living citizens on earth and the biggest eldelry population of any country-and it’s not getting any younger. Japan’s current life expectancy is 80 year for men and 87 year for women and is expected to rise to 84 and 91” (Alec Ross, 2016).

Bahkan diprediksi bahwa jumlah orang yang berusia panjang akan bertambah jumlahnya. Diperkirakan angka itu akan mencapai 7 juta orang pada tahun 2025. Sekarang ini, jumlah populasi orang Jepang yang berusia 65 tahun ada sekitar 25%. Diproyeksikan akan mencapai 39% pada tahun 2050 dari seluruh jumlah populasi (penduduk) orang Jepang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa makna dan tafsir dari laporan di atas? Jika kita perhatikan secara seksama laporan di atas, maka kehidupan masyarakat Jepang telah (mulai) dipenuhi oleh angkatan orang-orang tua. Kehidupan keluarga di Jepang harus sangat memperhatikan bagaimana “mengurus dan membantu” orang-orang tua: kehidupan yang disesaki oleh kakek-kakek dan nenek-nenek. Lantas bagaimana (dalam konteks kehidupan di masyarakat manapun) kita harus membantu mengurusnya?

Perubahan komposisi populasi ini terjadi, disebabkan oleh berbagai kebijakan (pemerintahan) negara sebelumnya. Kebijakan yang membatasi kelahiran anak-anak? Kebijakan yang mengatur distribusi populasi penduduk.

Sekarang ini di Jepang, tak tersedia cukup anak-anak yang dapat mengurus orang tuanya yang semakin tua renta. Angkatan kerja muda tak banyak. Populasi penduduk dipenuhi oleh para orang tua. Padahal kehidupan harus berlangsung terus. Industri harus berjalan dan berproduksi untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tetapi tenaga kerja produktif, muda, dan energik telah mengalami defisit. Angkatan kerja telah mengalami proses penuaan. Lantas apa yang mesti dilakukan?

Jawaban yang muncul di era industri 4.0 adalah robot. Robot menjadi pilihan. Praktik kehidupan sedapat mungkin diambil alih dengan bantuan robot. Robotlah yang kemudian menggantikan fungsi dan tugas manusia untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan manusia. Mesin robot telah bisa (dalam jenis pekerjaan tertentu) menggantikan fungsi dan tugas manusia.

Mari kita ikuti perkembangan temuan teknologi yang telah dicapai oleh penelitian, kreatifitas, dan inovasi manusia. Kita telah menyaksikan, misalnya Toyota dan Honda telah memproduksi Robina; sebuah mesin robot yang berfungsi sebagai “seorang perawat”. Perawat yang bisa membantu, menolong, dan mengerjakan pekerjaan rumah kita, seperti layaknya kita yang melakukan fungsi sebagai “housekeeper”.

Robina dikonstruksikan dan ditentukan sebagai “a female robot”. Ia bergerak layaknya manusia perempuan. Ia bekerja persis seperti manusia. Ia lentur seperti kelenturan manusia. Ia “sangat mirip” dengan manusia. Ia bekerja, bertindak, berperilaku, sama dengan manusia. Matanya, gesturnya, sikapnya, persis seperti manusia. Mereka bisa mengurus kita ketika kita sakit. Mereka bisa membantu kita ketika kita mengurus orang-orang tua. Mereka bisa memasak, membuatkan minum, bahkan mereka bisa bermain musik layaknya kita bermain musik.

Robina mempunyai seorang saudara, namanya Humanoid. Ia robot yang dirancang untuk dapat berfungsi sebagai asisten rumah tangga yang serba bisa. Belakangan, Honda juga menciptakan robot yang diberi nama ASIMO. Sebuah robot inovatif yang bisa menafsirkan emosi manusia, membaca gerakan manusia, dan mampu melakukan dialog, bercakap-cakap dengan manusia. ASIMO bisa berjabat tangan, menjawab pertanyaan dengan benar, dengan suara layaknya manusia biasa. Ia lentur selentur tubuh manusia. Ia dibuat dari material yang hampir persis sama dengan material yang melekat pada tubuh kita, sebagai manusia.

Sekarang ini, robot telah bermetamorphosis sebagai “manusia baru”. Ia hadir sebagai “manusia”, hanya ia tanpa emosi, tetapi bisa membaca emosi. Ia tanpa perasaan, tetapi bisa “merasakan” perasaan orang. Ia berjalan layaknya manusia berjalan. Ia “berpikir”, seperti manusia berpikir.

Bahkan ia bisa berpikir dengan kecepatan yang bisa melampaui kecepatan berpikir manusia. Ia bisa bekerja dengan memanfaatkan big data dengan cepat. Ia dapat memprediksi dengan mendayagunakan data yang sangat besar. Ia bekerja dengan kecepatan yang melebihi manusia bekerja.

Ia bisa bekerja tanpa jeda, seharian, bulanan, tanpa harus menuntut istirahat, atau meminta waktu cuti. Ia dapat memproduksi barang dalam sekala massif. Ia mampu mengerjakan segala hal yang bisa dikerjakannya, tanpa keluhan dan memohon tambahan upah. Ia bekerja tanpa disertai hasrat untuk berdemontrasi karena insentif atau upah terlambat dibayar, seperti layaknya manusia bekerja.

Ia bekerja tanpa protes dan demonstrasi di jalan-jalan. Ia bekerja mengikuti target yang ditetapkan, tanpa pernah melakukan protes-protes. Ia bisa bekerja tanpa hasrat untuk berbuat manipulatif, apalagi koruptif.

Sekarang, pada faktanya (mesin) robot telah hadir nyata dalam kehidupan kita bersama. Ia bisa berinteraksi dengan kita seperti manusia melakukan hubungan-hubungan. Ia hadir selayaknya ril sebagai manusia. Membantu dan mengerjakan pekerjaan manusia. Menggantikan hampir semua pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh manusia.

Ia menjadi “pesaing” manusia yang nyata dan tanpa peduli. Namun demikian, masih ada satu pertanyaan krusial untuk hari ini dan masa depan: apakah “robots really take care of human”? Pertanyaan yang selalu menyertai bentuk kehidupan kita dimasa akan datang.

Memang mesin-mesin telah terlibat dalam kehidupan konkrit kita. Kita tak bisa menghindari keterlibatan mereka, karena mereka itu kita ciptakan sendiri, kita bangun sendiri, kita konstruksikan sendiri. Kita mengimajinasikannya sejak lama, seperti kita tayangkan di dalam fiksi-fiksi. Tetapi, yang fiksi-fiksi itu telah hadir dan nyata di dalam kehidupan bersama kita.

Yang fiksi itu tak lagi fiksi. Ia konkrit, hidup dengan kita. Bercanda dengan kita. Berteman dengan kita. Bermain dengan kita. Bekerja dengan kita. Berbagi dengan kita. Bertukar-pikiran dengan kita. Berdiskusi dengan kita. Lantas, apakah kita akan sama dengannya: mesin robot itu? Tentu tidak, karena robot itu belum bisa menyentuh kehidupan spiritual kita.

Ia belum bisa membangun interaksi emosi yang dua arah; ia belum bisa membangun dan memelihara “interaksi subyektif”, apalagi interaksi yang bersifat ruhaniah. Namun demikian, kita harus bisa menerima kehadiran “warga baru” tersebut dalam kehidupan bersama kita.

Anggota keluarga baru yang kita ciptakan sendiri, karena imajinasi dan ambisi kita tentang apa yang kita bayangkan tentang masa depan. Selamat berkehidupan (dalam bentuk) baru! Semoga kita bisa hidup berdampingan tanpa merasa terkalahkan oleh “warga baru” yang hadir di tengah kehidupan bersama kita!

*Penulis adalah Guru Besar Sosiologi dan Wakil Rektor I Universitas Negeri Jakarta

Ikuti tulisan menarik Muchlis R Luddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB