x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Melik Nggendhong Lali alias Waspadai Jebakan Aset

Mengejar kepemilikan aset dan membesarkannya sebagai tujuan utama bisnis dapat menimbulkan bahaya, apalagi mengolanya tanpa kepemimpinan efektif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: Beware of Asset Attraction

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Business and Executive Coach

 

Dari deretan lukisan kaca karya para pelukis Muntilan, dekat Candi Borobudur, di antaranya kita dapat melihat ada yang menggambarkan para punokawan: Semar, Gareng, Petruk, Bagong – tokoh-tokoh dalam cerita wayang Jawa, abdi para hero, merepresentasikan rakyat, yang sering melontarkan kritikan sembari guyonan. Tulisan yang terbaca di lukisan tersebut antara lain: Melik Nggendhong Lali, dapat diartikan, “Orang-orang yang memuja kepemilikan harta benda dan kekuasaan, cenderung lupa diri.

Dalam tatanan interaksi antar manusia Abad 21, ketika sharing economy berkembang makin dinamis, big data dan algoritma makin berperan dalam mengoperasikan usaha, kepemilikan aset tidak selalu penting untuk membangun organisasi bisnis.

Melik Nggendhong Lali telah memperoleh pemahaman baru bagi para pelaku usaha berbasis teknologi informasi, berdasarkan keyakinan bahwa sukses dapat diraih tanpa harus memiliki aset fisik. Kredo mereka adalah “non-ownership is the key to owning the future”.

Contoh kongkret terkini bahwa bisnis dapat meraih sukses besar tanpa aset fisik adalah Airbnb, usaha di bidang industri penginapan on-line, didirikan 2008. Perusahaan yang beroperasi di seluruh dunia ini didukung 3.100 orang karyawan. Data 2017 menyebutkan, Airbnb meraih revenue US$ 2.6 billion (milyar), profit US$ 93 million (juta). Airbnb tidak memiliki kamar sendiri, apalagi bangunan penginapan.

Coba bandingkan dengan Hyatt, jaringan hotel internasional yang sudah berdiri sejak 1957 dan memiliki reputasi hebat. Sampai tahun lalu, Hyatt Corporation di seluruh dunia meliputi 580 lebih properti – indikasinya bertambah. Banyak yang dimiliki Hyatt, sebagian kerja sama dengan pengusaha setempat atau multinasional lainnya. Jumlah karyawan 96 ribu lebih dan Hyatt masuk daftar 100 Best Companies to Work For majalah Fortune. Revenue Hyatt US$ 4.4 billion (milyar).

Airbnb tanpa memiliki sendiri kamar atau bangunan penginapan revenue-nya US$ 2.6 billion (milyar), lebih dari 50% revenue Hyatt yang memiliki ratusan bangunan penginapan di pelbagai lokasi istimewa di dunia.

Anda tentunya sudah mengetahui, contoh lain perusahaan tanpa kepemilikan aset fisik dan berhasil mendunia adalah Uber, yang mengoptimalkan aset fisik (kepemilikan mobil) pihak lain. Dengan teknologi informasi dan spirit yang sama, Apple pun, plus sejumlah organisasi lainnya, mengembangkan akses dan peluang memanfaatkan aset fisik milik orang lain untuk pengembangan usaha.

Melik Nggendhong Lali atau memuja kepemilikan benda/aset dapat membuat lupa diri, dapat disimak di antaranya pada gejala timbulnya “penyimpangan kognitif” berupa planning fallacy bias atau tendensi melebih-lebihkan (overestimate) benefit dan mengesampingkan (underestimate) ongkos dan task-completion times atau waktu untuk menyelesaikan (proyek).

Dalam beberapa dasawarsa para pelaku ekonomi meyakini bahwa skala dan ukuran enterprise merupakan faktor penting. Organisasi besar memiliki kekuatan daya ungkit (leverage) skala ekonomi dan memiliki kekuatan dalam negosiasi. Dengan perspektif seperti ini, sekolah-sekolah bisnis dan para konsultan manajemen memfokuskan diri pada organisasi besar. Wall Street memompa semangat itu, memuliakan perdagangan saham perusahaan-perusahaan besar, mendorong terjadinya merger agar mereka jadi raksasa bisnis.

Semangat tersebut seperti memperoleh legitimasi kuat dengan penganugerahan Nobel Prize in Economics untuk Ronald Coase, 1991, dengan teorinya yang menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan lebih besar berpeluang lebih baik karena mereka dapat melakukan aggregate aset dalam satu atap dan menikmati ongkos transaksi yang lebih rendah.

Dua dasawarsa sesudah itu, ketika revolusi teknologi informasi melahirkan pelbagai model bisnis cemerlang, penumpukan aset menjadi tidak perlu diutamakan. Ongkos transaksi yang rendah bukan merupakan kelebihan (advantage) lagi.

Kecanggihan mengolah teknologi telah menyebabkan tim kecil dapat melakukan hal-hal besar dan signifikan. Kemampuan beradaptasi dan kecekatan menjadi lebih penting -- ini indikasinya dapat menggeser peran ukuran (besarnya) organisasi.

Dengan kata lain, membangun/membeli dan memiliki aset besar bukan jaminan suksesnya sebuah organisasi.

Kita telisik kembali kasus Nokia, sebelum market valuation-nya pada Juni 2012 anjlok, dari US$ 140 billion (milyar) menjadi US$ 8.2 billion (milyar). Masih di kuartal pertama 2007, Nokia sebagai raksasa mobile phone membelanjakan dana US$ 8.1 milyar untuk membeli Navteq, sebuah perusahaan di bidang navigasi dan peta jalan (road mapping).

Bagi para pengambil keputusan di Nokia, waktu itu Navteq tampak seksi banget, karena mendominasi idustri in-road traffic sensor. Di Eropa saja, sensor Navteq mampu mencakup kawasan hampir seperempat juta mil, tersebar di 35 kota besar di 13 negara. Menguasai asset penting seperti itu akan membuat Nokia mendominasi informasi lokal secara online dan mobile, dengan demikian lebih percaya diri dalam berhadapan dengan Google dan Apple.

Kepemilikan data global pemantauan lalu-lintas secara real time melalui Navteq, menurut asumsi Nokia, dapat diandalkan dalam berkompetisi dengan Google yang mulai merambah ke penguasaan data real time dan juga untuk membendung Apple yang menghasilkan produk-produk revolusioner.

Kemungkinan karena para pejabat Nokia demikian bernafsu memiliki aset yang diperkirakan bernilai strategis itu, mereka alpa melakukan penggalian info di wilayah pengelolaan data lalu lintas. Pada waktu yang sama, sebuah perusahaan kecil dari Israel bernama Waze didirikan.

Untuk mendapatkan data lalu-lintas, Waze tidak mengerahkan modal investasi secara masif di hardware, tapi ndompleng memanfaatkan sensor GPS yang ada di smart phone masing-masing pengguna. Dalam dua tahun Waze berhasil mengumpulkan data lalu-lintas sebanyak kemampuan Navteq melalui sensor-sensornya. Jumlah data yang diserap Waze dalam empat tahun tumbuh 10 kali lipat.

Lebih penting dari itu, ongkos untuk meningkatkan kemampuan menyerap data bagi Waze adalah zero, seiring dengan meningkatnya jumlah para pengguna aplikasinya – dan kecenderungan mereka untuk meng-upgrade telepon seluler masing-masing sangat menguntungkan Waze. Kontras dengan Navteq, yang memerlukan investasi terus setiap mau meningkatkan kemampuan menyerap data.

Ketika pada 2013 Google mengakuisisi Waze senilai US$ 1.1 billion (milyar), perusahaan ini tidak memiliki infrastruktur, tidak pula hardware, dan didukung tidak lebih dari 100 orang pegawai. Namun aplikasi mereka memiliki 50 juta pengguna atau sama dengan 50 juta “human traffic sensors”, sebagaimana diceritakan dalam buku Exponential Organization, ditulis Salim Ismail bersama Michael S. Malone dan Yuri Van Geest.

Kasus Nokia membelanjakan US$ 8.1 billion (delapan koma satu milyar dollar AS) untuk membeli Navteq yang berbasis aset fisik berupa sensor di 13 negara Eropa, memberikan pembelajaran kepada kita tentang semangat yang berlebihan mencintai aset fisik dapat menyebabkan khilaf melakukan antisipasi kemampuan teknologi dan imajinasi yang dikembangkan para pendiri Waze.

Di situlah pentingnya para eksekutif dan leaders meningkatkan diri menjadi lebih efektif. Selain membiasakan menerapkan pola pikir dan perspektif baru berbasis teknologi, akan lebih utama lagi mereka meningkatkan efektivitas kepemimpinan agar proses bisnis benar-benar mampu menghasilkan bottom line yang lebih kuat.

Sebagaimana survei Accelerators of Change beberapa tahun lalu menyimpulkan, perilaku kepemimpinan para eksekutif dan leaders organisasi memiliki dampak signifikan (50 – 70%) terhadap budaya organisasi. Sedangkan budaya organisasi merupakan faktor tunggal terbesar (35%) pada upaya peningkatan operational performance – 65% lainnya dipengaruhi oleh gabungan sejumlah faktor, seperti business model, branding, kekuatan modal, regulasi pemerintah, etc. 

Program pengembangan eksekutif Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching fokus membantu meningkatkan efektivitas para leaders, melalui proses perubahan perilaku kepemimpinan mereka. Para stakeholderspeers, direct reports, dan atasan, plus kadang keluarga – berperan sebagai mitra akuntabilitas. Karena orang-orang penting di sekitar Anda, para stakeholders, akan menerima dampak langsung dari perilaku Anda.

   

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(www.nextstageconsulting.co.id)

 

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler