Akibat perkembangan teknologi dan perkembangan informasi yang begitu cepat dan pesat telah menimbulkan berbagai dampak positif dan negatif. Positipnya informasi mudah cepat dapat diketahui suatu kejadian di tempat yang paling jauh sekalipun. Negatifnya memudahkan para penebar fitnah untuk menyampaikan hal-hal yang tidak benar. Atau terkadang memutar balikkan fakta yang sesungguhnya.
Beberapa waktu terakhir ini kita telah disuguhkan berita adanya sejumlah orang gila yang menyasar para ulama dan para pondok pesantren. Kesempatan tersebut ada saja yang memanfaatkan untuk menjalankan aksinya dengan menuduh dan memfitah institusi tertentu.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh penebar fitnah untuk memanfaatkan situasi tersebut untuk meraup keuntungan dalam air keruh. Sebagaimana yang banyak dilansir oleh berbagai media massa beberapa hari terakhir ini, Polisi terus mengejar para penyebar hoax. Termasuk, mengembangkan dari tertangkapnya Wawan Kandar, 36, ketua RW yang menyadi penyebar hoax di Jawa Barat. Sempat muncul kabar bahwa ada oknum Babinsa di balik aksi penyebaran hoax itu. Namun hingga kini tidak ada bukti keterlibatan anggota Babinsa tersebut dan Polisi memastikan tidak ada kesimpulan apa pun.
TNI kita kenal selama ini adalah institusi yang selalu memperhatikan kepentingan rakyat dan selalu berdiri diatas kepentingan semua golongan. Kasus tuduhan ada Babinsa dalam mendalangi sejumlah kasus penyerangan ulama adalah hal konyol dan menggelikan. Rasanya kalau seorang oknum Babinsa melakukan itu adalah sepertinya bunuh diri. Kenapa demikian?
Kalau terbukti, taruhannya sangat mahal karena yang bersangkutan secara pasti akan dipecat dari kesatuan. Ditambah lagi dengan hukuman penjara bertahun-tahun. Kayaknya tuduhan adanya Babinsa yang terlibat dalam kasus penyerangan ulama adalah bisa saja untuk membunuh karakter Tentara karena selama ini TNI dekat dengan rakyatnya. Hal ini didasari karena tuduhan terhadap Babinsa tidak ada bukti yang dapat dijadikan pembenar. Apalagi Karopenmas Divhumas Polri Brigjen M. Iqbal sudah mengklarifikasi bahwa penyelidikan dugaan keterlibatan oknum militer masih bias. Sampai saat ini, penyelidikan belum menunjukkan adanya kepastian terkait oknum mana pun, termasuk Babinsa.
Yang pasti Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipid Siber) beberapa waktu lalu telah menangkap enam penyebar hoax di Bandung Jawa Barat. Yang bersangkutan sudah didalami terkait keterhubungan seorang oknum, tapi hasilnya tidak ada bukti malainkan hanya isue semata. Seolah-olah TNI yang berada dilapangan ingin dibenturkan dengan rakyatnya.
Oleh karenanya kita berharap kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang dan tetap melaksanakan aktifitas sehar-hari. Jangan mudah terpancing dengan isue yang tidak bertanggungjawab. Sebaiknya, semua pihak jangan terlalu dini mengambil kesimpulan terlebih dahulu dalam kasus penyebaran hoax penculikan ulama. Penyidik saat ini masih bekerja untuk menuntaskan kasus satu per satu.
Masyarakat harusnya lebih peka dan juga harus berperan untuk menekan penyebaran hoax. Caranya, tidak semua informasi yang beredar di media sosial perlu di-share. Hampir 100 persen yang tersebar di media sosial, kalau tidak bersumber resmi adalah hoax. Sebelum men share harus dipastikan dari sumber yang jelas dan terpercaya. Demi kelangsungan dan ketertiban kita bersama mari kita hindari berita hoax untuk tidak memicu penyebaran hoax secara meluas.
Ikuti tulisan menarik Rahman lainnya di sini.