x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Sesuatu Harus Dituliskan

Tulisan-tulisan hasil Program Residensi para pegiat literasi di Tanah Ombak Kota Padang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Ketika Sesuatu Harus Dituliskan

Penulis: Azizah Umami, dkk.

Editor: Yusrizal KW

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 2017

Penerbit: Tanah Ombak

Tebal: xxiv + 95

ISBN: 979-602-7510-15-9

 

Buku ini adalah hasil dari Program Residensi Pegiat Literasi (RPL) tahun 2017 yang didanai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Program Residensi dilakukan di tiga tempat, yaitu di Padang, Jombang dan Jogjakarta. Buku pertama yang dihasilkan dari para peserta RPL di Padang diberi judul “Ketika Sesuatu Harus Dituliskan.” Buku kedua yang dihasilkan oleh para pegiat literasi yang nyantrik di Jombang diberi judul “Jejak Literasi Relawan Nusantara” dan buku ketiga yang ditulis oleh para peserta RPL di Jogjakarta diberi judul “Satu Taman Banyak Cerita.”

Jika ingin mempelajari Taman Bacaan Masyarakat (TBM), bacalah ketiga buku tersebut. Sebab ketiga buku di atas mengungkapkan bagaimana TBM dikelola, siapa pengelolanya, bagaimana mendanainya, bagaimana mereka membangun jaringan dan mencari mitra, dan apa saja kegiatan yang dilakukannya. Para penulisnya pun adalah para pelaku itu sendiri. Para aktifis dengan segala kesukarelaannya.

Ruang Baca Tanah Ombak Kota Padang adalah tuan rumah untuk RPL tahun 2017. Ada 21 dari 21 kelompok relawan. Kelompok relawan tersebut ada yang berbentuk TBM, Yayasan, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) atau sekadar perkumpulan pecinta literasi.

Buku pertama ini banyak berkisah tentang Taman Baca Masyarakat Tanah Ombak. Ada 19 tulisan dalam buku ini. Dari kesembilan-belas tulisan tersebut hanya tiga tulisan yang mengambil tema yang berbeda. Enam belas tulisan lainnya mengungkapkan pengalamannya bersinggungan dengan Ruang Baca Tanah Ombak dan lingkungannya. Ketiga tulisan yang berbeda tersebut adalah tulisan pertama berjudul “Untukmu Si Kecil” karya Azizah (hal. 1), “Membaca Dalam Kemacetan” karya Edi Dimyati (hal. 9) dan “Saya dan Komunitas Ngejah” karya Rusli (hal. 85). Alih-alih menuangkan pengalamannya mencicipi Tanah Ombak, ketiga penulis ini mengungkapkan pengalamannya dari wilayahnya sendiri.

Tanak Ombak adalah taman baca yang terletak di “Gang Setan.” Disebut gang setan karena wilayah ini dihuni oleh mereka-mereka yang ditakuti oleh masyarakat umumnya. Perempuan-perempuan yang merokok dan main kartu di siang bolong adalah pemandangan umum yang bisa ditemui di gang ini. Anak-anaknya pun dicap sebagai anak-anak nakal. Alamat di Gang Setan ini membuat peserta residensi merasa bergidik, seperti kesaksian Edy Fajar Prasetyo; atau Hanny Husain yang merasa khawatir (hal. 34). Namun setelah berada di lingkungan yang apa adanya tersebut, ternyata para setan sudah bertobat menjadi suka baca buku. Anak-anak telah bermetamorfosis menjadi luar biasa, tulis Febriana Odelia (hal. 24). Goyang dangdut erotis perlahan-lahan berubah menjadi gerakan-gerakan bersemangat di panggung teater (hal. 41).

Selain menyediakan tempat membaca dua lantai, Tanah Ombak juga mengantar buku dengan Vespa Pustaka. Hamdan dan Muhamad Rizki mencicipi bagaimana Tanah Ombak menggelar buku yang dibawa oleh vespa pustaka. Vespa yang telah dimodifikasi tersebut bisa memuat 200-300 buku (hal. 72). Vespa Pustaka selalu dirindui oleh para penggemar buku. Kalau lama tak datang maka para pelanggannya akan mencarinya.

Heti Wulan Sabrila dan Juhaina Amin berkisah tentang kunjungannya ke Gunung Padang. Kunjungan ke gunung dimana Siti Nurbaya dimakamkan tersebut adalah salah satu agenda dalam kegiatan residensi di Tanah Ombak. Juhaina Amin bahkan mengunjungi pasar dan memaparkan perjumpaannya dengan para pedagang dan pekerja di pasar tersebut.

Satu lagi yang tak kalah menarik yang dibahas oleh para peserta residensi di Tanah Ombak adalah teh telor. Teh telor adalah minuman khas Minang yang tak banyak lagi dibuat di rumah-rumah. Banyak rumah tangga yang tak mau membuat teh telor karena prosesnya yang ribet. Namun teh telor ini sangat disukai oleh para perantau Minang yang pulang kampung. Di tangan Tanah Ombak, teh telor diolah sedemikian rupa sehingga menjadi trade mark Tanah Ombak dan bisa membantu para relawannya melanjutkan nyalanya kompor di dapur.

 

Tanah Ombak adalah sebuah Taman Bacaan Masyarakat yang berhasil. Keberhasilannya ini tentu diawali dengan misi yang kuat, yaitu membantu anak-anak dan masyarakat di mana mereka berkiprah. Pengelolaan TBM yang sangat baik, kegiatan-kegiatan yang menarik, seperti teater, latihan menulis dan kegiatan-kegiatan lainnya dan semangat kerelawanan para aktifisnya. Memang nikmat membaca buku ditemani segelas teh telor.

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler