x

Iklan

firdaus cahyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Wajah Yogyakarta yang Bopeng Sebelah

Akhir-akhir ini berbagai tindakan kekerasan nampaknya telah membuat wajah Yogyakarta bopeng sebelah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Siapa tak kenal Yogyakarta? Tentu hampir semua masyarakat Indonesia, bahkan mungkin dunia mengenal Yogyakarta. Selain dikenal sebagai kota pelajar, Yogyakarta juga dikenal sebagai benteng Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saat negara dalam keadaan darurat, ibukota pun sempat dipindahkan di Yogyakarta. Di daerah itu pula para pejuang bangsa dilahirkan. Beberapa organisasi pergerakan rakyat yang menentang kolonialisme Belanda pun lahir di Yogyakarta.

Tak heran kemudian Yogyakarta menjadi salah satu daerah istimewa di Inonesia.

Dengan segala keistimewaan itulah tak heran, Yogyakarta menjadi tujuan masyarakat kelas menengah-atas dari penjuru Indonesia. Kelas menengah-atas itu bukan hanya berwisata di Yogyakarta. Sebagian dari mereka pergi ke wilayah itu untuk belajar.

Namun, akhir-akhir ini berbagai tindakan kekerasan nampaknya telah membuat wajah Yogyakarta bopeng sebelah. Seperti tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Namun, bila ditelisik lebih dalam i kekerasan di Yogyakarta bukan hanya terkait dengan perbedaan agama, namun juga sudah terkait dengan kelas sosial. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yogyakarta yang mulai berbenah menjadi kota wisata pun mulai menyingkirkan masyarakat kelas sosial bawah yang dinilai tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan ekonomi yang diklaim modern. Kelas sosial yang mulai tersingkir dari ruang-ruang kehidupan di Yogyakarta itu adalah petani.

Penyingkiran petani dari ruang-ruang kehidupannya di Yogykarta bisa dilihat dari maraknya alih fungsi lahan pertanian. Laju alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman bagi kelas menengah-atas di Yogjakarta tergolong tinggi. Data dari Dinas Pertanian DIY pada tahun 2016 menyebutkan bahwa laju alih fungsi lahan pertanian di provinsi ini mencapai 200-250 hektare per tahun.

Bukan hanya pembangunan pemukiman bagi kelas menengah-atas di Yogyakarta yang mulai menggusur petani dari ruang-ruang kehidupannya. Pembangunan infrastruktur untuk memfasilitasi mobilitas kelas menengah-atas di Yogyakarta pun mulai mengancam kehidupan petani. Untuk memfasilitasi kedatangan para tamu kelas menengah-atas dari berbagai penjuru nusantara, digagaslah sebuah bandara baru di Yogyakarta.  

Ide untuk membangun bandara baru itu pun disambut positif, baik oleh pemerintah pusat maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY. Bandara baru itu diharapkan mampu menarik lebih banyak lagi pengunjung ke Yogyakarta. Pemerintah pusat hingga Pemprov DIY nampaknya menyambut baik pembangunan bandara baru itu. Namun, bagi petani Kulon Progo ini adalah awal dari mimpi buruk mereka.

Awal tahun 2018 ini, petani di Kulun Progo harus kembali berduka. Tanggal 9 Januari lalu mungkin akan menjadi hari yang sulit dilupakan oleh petani di Desa Glagah, Kulon Progo. Hari itu, aparat keamanan bersikeras mengosongkan secara paksa lahan di Desa Glagah, Kulon Progo. Alat-alat berat pun disiapkan untuk membolduser lahan-lahan warga.

Pagi itu pohon dan tegalan milik warga Desa Glagah dirobohkan oleh alat-alat berat. Warga desa pun melakukan perlawanan dengan menghalangi penghancuran sumber-sumber kehidupannya. Aksi dorong-dorongan dengan aparat keamanan, pengawal alat berat, pun tidak bisa dihindarkan.

Akhirnya, aparat keamanan pun bertindak semakin represif. Warga Desa Glagah, yang menolak dipisahkan dari sumber-sumber kehidupannya itu, pun mendapat pukulan, tendangan dan berbagai tindak kekerasan lainnya dari aparat keamanan. Sebagian warga desa pun mengalami luka-luka. Untuk kesekian kalinya petani dikalahkan atas nama pembangunan untuk memfasilitasi masyarakat kelas menengah-atas.

Perjuangan petani Desa Glagah untuk mempertahankan sumber-sumber kehidupannya dari ancaman pembangunan bandara baru di Yogyakarta bukan kali ini saja terjadi. Perjuangan mereka sudah dilakukan sejak tahun 2012. Pada tahun itu, petani di Kulon Progo bersepakat untuk mengorganisir diri guna mempertahankan sumber-sumber kehidupan mereka dari ancaman penggusuran proyek bandara baru Yogyakarta.

Perjuangan petani Kulon Progo untuk mempertahankan sumber-sumber kehidupannya dari alih fungsi lahan adalah fenomena gunung es. Di Yogyakarta, ruang-ruang hidup petani semakin sempit. Model pembangunan Yogyakarta nampaknya tidak bisa menoleransi keberadaan petani beserta ruang-ruang hidupnya itu.

Kekerasan benar-benar menjadi persoalan serius di Yogyakarta, baik itu intoleransi berdasarkan agama ataupu kelas sosial. Kini, Yogyakarta tidak punya banyak pilihan. Segala bentuk kekearasan di Yogyakarta harus segera dihentikan. Nampaknya, hanya itu satu-satunya jalan yang dapat menyelamatkan wajah Yogyakarta yang mulai bopeng sebelah.

 

Sumber foto: https://wahanatritunggal.wordpress.com/2014/06/11/megaproyek-pembangunan-bandara-internasional-di-kulon-progo/

Ikuti tulisan menarik firdaus cahyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler