x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Satu Taman Banyak Cerita

Tulisan-tulisan hasil residensi relawan literasi di Yogyakarta

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Satu Taman Banyak Cerita

Penulis: Ageng Indra, dkk.

Editor: Faiz Ahsoul

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 2017

Penerbit: Kampung Literasi Iboekoe

Tebal: xx + 188

ISBN: 979-602-7510-16-6

Buku ini adalah hasil dari Program Residensi Pegiat Literasi (RPL) tahun 2017 yang didanai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Program Residensi dilakukan di tiga tempat, yaitu di Padang, Jombang dan Jogjakarta. Buku pertama yang dihasilkan dari para peserta RPL di Padang diberi judul “Ketika Sesuatu Harus Dituliskan.” Buku kedua yang dihasilkan oleh para pegiat literasi yang nyantrik di Jombang diberi judul “Jejak Literasi Relawan Nusantara” dan buku ketiga yang ditulis oleh para peserta RPL di Jogjakarta diberi judul “Satu Taman Banyak Cerita.”

Jika ingin mempelajari Taman Bacaan Masyarakat (TBM), bacalah ketiga buku tersebut. Sebab ketiga buku di atas mengungkapkan bagaimana TBM dikelola, siapa pengelolanya, bagaimana mendanainya, bagaimana mereka membangun jaringan dan mencari mitra, dan apa saja kegiatan yang dilakukannya. Para penulisnya pun adalah para pelaku itu sendiri. Para aktifis dengan segala kesukarelaannya.

Buku ketiga ini adalah hasil karya para relawan peserta kegiatan Residensi di Kampung Literasi Iboekoe. Ada 18 pegiat literasi yang menyumbang tulisan dalam buku ketiga ini. Ageng Indra menceritakan secara kronologi-reflektif tentang Iboekoe. Ia jauh melompat masa ke tahun 1999 ketika kegiatan masih lebih banyak bergelut dengan seni sampai dengan kondisi terkini yang lebih kompleks dan lengkap. Tak lupa dia menyebut satu demi satu para tokoh yang ikut menjadi bidan dan merawat perjalanan Iboekoe. Alfa Aulia Nooraya menceritakan secara runtut pengalaman TBM Harapan di sebuah desa di Jogja. Ia mengisahkan bagaimana TBM ini berdiri, upaya bersinergi dengan berbagai pihak, seperti program KKN, PKK, Posyandu dan Kantor Arsip Daerah dengan segala lika-likunya.

Keprihatinan terhadap anak kelas 3 di sebuah desa yang belum bisa membaca, di sebuah kampung di Kabupaten Batang, Aris Nurfat’hani membawa buku dalam ransel. Ia membuka posko untuk merintis kampung literasi (hal. 31). Sedangkan Eni Darlia membagikan pengalaman TBM Ar-Rasyid di Aceh pasca tsunami. Darlia mengisahkan bagaimana para relawan Ar-Rasyid memberikan bimbingan belajar kepada anak-anak.

Faradila Bachmid mengisahkan upaya ayahnya (Aba) yang adalah seorang guru dalam mendirikan PKBM di sebuah pulau di Sulawesi Utara. Ibunya (Umi) pun membuka PKBM di sebuah pulau lainnya. Teladan dari kedua orangtuanya itulah yang mengilhami Faradila mendirikan PKBM Sam Ratulangi. PKBM Sam Satulangi memberi pelayanan melalui PAUD dan TBM bagi anak-anak putus sekolah serta menggelar lapak buku saat hari car free day. Hadrianor Alkahfi membagikan pengalamannya dari Kalimantan Selatan. Rumah Belajar Saraba Kawa yang didukung oleh CSR bahkan telah mengubah layanan Perpusda menjadi lebih aktif (hal. 69).

Indah Yati mengisahkan bagaimana Rumah Baca Atap Langit di Bangka Tengah. Bermodal 312 eksemplar buku dan langganan dua koran lokal, rumah baca ini telah dipercaya untuk bermira dengan BNN, Dinas Sosial dan Bank dalam memberi peluang belajar bagi anak-anak dan pemuda-pemudi. Maiil Saidah mengisahkan pengalaman Sri Widadi bersama suaminya mengembangkan perpustakaan keluarga Dimurti sampai menjadi layanan perpustakaan di ruang publik. Perpustakaan Dimurti membuka layanan di rumah sakit, membuat gerobak baca (bekerja sama dengan BRI) untuk melayani Taman Pendidikan Al-Quran dan PAUD. Selain itu, Perpustakaan Dimurti masih juga ada kegiatan ngamen buku dan membina ibu-ibu dalam hal mencipta boga. Layaklah jika TBM ini dan pengelolanya mendapatkan banyak penghargaan.

Mendapati banyak anak-anak SMP yang masih mengeja dalam membaca, Bengkel Pembelajaran Antar Rakyat (Belantara) mendirikan Gerakan Rakyat Peduli Pendidikan Anak (Geropa) di Sorong, Papua. Geropa bekerja sama dengan para relawan memberikan layanan belajar kepada anak-anak di berbagai tempat. Kisah geropa ditulis oleh Maria Rejauw. Mashambal Ghozali mengisahkan sosok perempuan Maria Bo Nyiok, seorang mantan TKW Hongkong yang membuka Istana Rumbia di Wonosobo. Istana Rumbia telah membangkitkan masyarakat untuk melengkapi anak-anaknya dengan tuntas belajar, meski melalui Kejar Paket. Istana Sumbia juga rajin menerbitkan tulisan-tulisan melalui media masa maupun menerbitkan buku. Ghozali juga membagikan bagaimana Istana Rumbia bisa didanai secara mandiri melalui usaha-usaha yang dilakukannya. Sedangkan Masyithah mengisahkan Rumah Baca Evergreen yang memberi pelayanan kepada anak-anak dan perempuan marginal.

Muhammad Aprianto mengisahkan pengalamannya membuka TBM hanya bermodal 40 eksemplar buku dan mengembangkannya melalui proses berjejaring. Masih ada kisah Benny Institute yang ditulis oleh Nikey R. Y., TBM Danawangsa yang disharingkan oleh Roshika, Komunitas Buku Berkaki tulisan Rudi, dan pengalaman Wahyudi anak penjual pecel yang diundang ke Istana Negara karena kiprahnya dalam menggerakkan budaya baca. Artikel terakhir adalah karya Wiwik Wulandari yang berkisah tentang TBM Giriwangi.

Semua kisah dalam buku ini adalah tentang pengelolaan TBM, kerelawanan dan bagaimana mereka berjejraring dan bermitra. Hampir semua kisah diawali oleh sebuah keprihatinan atau kegelisahan. Kerpihatinan dan kegelisahan yang mewujud dalam sebuah tindakan. Tak peduli tindakan itu kecil saja. Namun keberanian para pegiat untuk memulai adalah sebuah teladan yang harus dikagumi. Setelah memulai, proses merawatnya juga tidak mudah. Namun para pegiat ini telah membuat kesaksian bahwa semangat mereka tak bisa dikalahkan oleh tantangan-tantangan yang dihadapi.

Para pegiat literasi ini adalah mereka-mereka yang bertindak. Bukan orang-orang yang suka menghiba-hiba menunggu tindakan pihak lain. Tak juga menunggu negara turun tangan. Mereka bergerak dalam senyap, tidak cuap-cuap, apalagi merepet menyalahkan pihak lain. Mereka bertindak sesuai dengan apa yang mereka bisa. Terima kasih kepada semua Pegiat Literasi Nusantara.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler