x

Iklan

Liza Yuvita Sikku

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Antara Jihad dan Renatus

Tentang toleransi dan intoleransi di Indonesia, apakah untuk mendapatkan kedamaian kita harus siap berperang?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selayaknya anak muda zaman now, saya juga penasaran ingin nonton film “Dilan 1990” seperti mas-mbak yang lainnya. Secara saya sudah baca rasan-rasan soal Dilan sejak di twitternya Kang Pidi Baiq tahun 2014, dan rajin ngintip cerita Dilan di blognya Kang Pidi Baiq. Setelah akhirnya bisa nonton film “Dilan 1990” saya terpikat pada sebuah tulisan yang ada dalam kamar Dilan. “Barang siapa yang ingin damai, maka bersiaplah berperang.”

Sejauh pengetahuan saya, adagio itu dipopulerkan oleh Renatus di bukunya “De Re Militari” yang dalam bahasa aslinya adagio itu berbunyi “Si Vis Pacem, Para Bellum”. Kata-kata itu tampaknya jika dikaitkan dengan keadaan Indonesia hari ini, bisa bermakna cukup dalam.

Menurut tafsir saya, kata “perang” dalam kalimat di atas tidak melulu harus angkat senjata ke medan perang dan menghasilkan letupan bom yang mengambil paksa banyak nyawa dan mimpi-mimpi indah tentang sebuah kehidupan yang damai. Apakah untuk mendapatkan sebuah kedamaian kita harus siap berperang? Tentu, tapi tidak harus menggunakan senjata berbentuk fisik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jadi begini, setahu saya level tertinggi dalam sebuah jihad adalah mengendalikan hawa nafsu. Mengapa jihad kini ditafsirkan menjadi begitu seram, alasannya sederhana, karena jihad ditafsirkan secara serampangan. Jihad dengan peperangan fisik dikategorikan bukanlah jihad pada level tertinggi, karena level tertinggi jihad ada pada usaha melawan hawa nafsu. Musuh terbesar manusia, bukanlah orang lain, melainkan hawa nafsu dan egonya sendiri.

Kasus intoleransi yang berujung pada kekerasan bahkan perang dalam skala kecil maupun besar adalah ketidakmampuan untuk melawan ego dari kedua pihak yang saling berbeda pendapat. Perbedaan pendapat tentu sudah menjadi sebuah fitrah dalam dunia ini, karena memang pada dasarnya, Tuhan sendiri yang menciptakan perbedaan itu. Pertanyaan mendasarnya adalah, “Apakah benar tujuan Tuhan menciptakan perbedaan adalah untuk membuat manusia bertengkar?”

Setiap manusia tentu punya tafsir masing-masing tergantung bagaimana keilmuan yang melatarbelakanginya, dan perbedaan ini tentu bukan sebuah alasan yang membuat sekelompok manusia jadi ikut-ikutan ribut.

Saya teringat ceramah KH. Anwar Zahid, yang intinya bahwa orang yang hidupnya bisa memanfaatkan dan bersyukur pada apa-apa yang ada dalam hidupnya, tentuhidupnya enak. Hal itu diperkuat dengan pendapat Prof. Mahfud MD di sebuah acara televisi. Beliau mengatakan, “Agama itu sebenarnya adalah pembawa damai. Adalah salah Anda itu beragama kalau hidup Anda tidak damai.”

Damai tidaknya manusia, tergantung dari dirinya sendiri. Ketika ia mampu menahan diri untuk tidak melukai dan betul-betul mengamalkan “Mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan”, dengan baik, maka kita sudah akan damai-damai saja karena kita telah berperang melawan ego dan hawa nafsu.

Perbedaan adalah fakta, tetapi perdamaian tanpa perang fisik adalah cita-cita bersama yang harus diusahakan oleh seluruh manusia. "Jangan perang, berat. Biar mereka saja."

            

Ikuti tulisan menarik Liza Yuvita Sikku lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler