x

Iklan

Fara Devana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar Kesetaraan Sejak Dini Melalui Women's March

Ini waktunya untuk memperkenalkan anak saya soal isu perempuan, sejak dini. Agar saat besar nanti, dia enggak gampang menghakimi pilihan orang lain

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setidaknya, ketika meninggal nanti, kalau mungkin idealisme saya soal kesetaraan gender belum tercapai, saya sudah meletakkan fondasi bagi masa depan yang lebih baik untuk mereka berdua,” tutur Yulia, seorang peserta Women’s March Jakarta 2018, yang membawa dua anaknya.

 

Sabtu, 3 Maret 2018 pagi, saat banyak orang masih terlelap, sekitar seribu orang melakukan long march dari daerah Sarinah menuju Taman Aspirasi Jakarta. Teriakan akan perlawanan juga riuh terdengar. Perjalanan itu juga dilengkapi dengan orasi akan delapan tuntutan Women’s March 2018.

Peserta aksi ini didominasi oleh perempuan. Meski demikian, sejumlah keluarga dan anak-anak kecil juga tampak bergabung. Ketika sebagian besar orang akan berusaha untuk menghindarkan anak-anaknya dari aksi keramaian, apa yang melandasi keluarga-keluarga ini untuk mengajak anak-anaknya?

Berikut hasil perbincangan tim Campaign.com dengan mereka:

Novan (31 tahun) dan Rere (29 tahun), Jakarta

Doc: Fara Devana

Hai Rere, Mengapa kamu ikut Women’s March?

Rere: Karena saya percaya perempuan itu berhak untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Perempuan juga harus melek sains, karena sains itu untuk semua orang. Dan saya ingin mempromosikan sains, terutama untuk perempuan. Sejauh ini rasio perempuan yang menjadi scientist di Indonesia, menurut data 2016, itu 30 banding 70 dengan laki-laki.

Seberapa penting sains bagi perempuan?

Rere:Scientific method itu dekat dengan kehidupan sehari-hari dan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita. Misalnya, ketika  menerima sebuah informasi, kita tidak bisa langsung mempercayai informasi tersebut, kita akan verifikasi. Dan itu yang dilakukan scientist. Jadi perempuan Indonesia bisa lebih berdaya dengan melek sains.

Kalau kamu, apa yang membuat kamu datang kesini?

Novan: Saya ke sini sebagai laki-laki dan sebagai suami. Saya support istri saya seratus persen. Karena, apapun cita-cita seorang perempuan, apapun yang dilakukan seorang perempuan, butuh support dari orang terdekat. Dan istri saya butuh support dari saya sebagai suami. Saya tidak akan menutup jalan untuk dia mencapai cita-citanya.

Tidak takut dibilang suami takut istri?

Novan: Tepatnya adalah saya suami sayang istri.

 

Uli Pangaribuan, Jakarta.

 Uli Pangaribuan

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Hallo Uli, kenapa kamu ikut Women’s March Jakarta?

Uli: Saya selalu mendukung gerakan soal perempuan yang tujuannya untuk keadilan. Ini kedua kali saya datang. Dan sekarang bawa anak.

Anaknya kan masih sangat kecil, kenapa diajak?

Uli: Ini waktunya untuk memperkenalkan anak saya soal isu perempuan, sejak dini. Dia juga bisa belajar bertemu orang-orang yang berbeda. Agar saat besar nanti, dia enggak gampang menghakimi pilihan orang lain.

Harapan kamu ke depannya melalui kegiatan ini apa?

Saya tidak ingin perempuan-perempuan yang menjadi korban kemudian malah dipersalahkan. Sudah korban, masih saja dituduh salah. Ini saatnya perempuan berani bersuara dan bergerak bersama.

 

Yulia Sugandi (44 tahun), Margianta (23 tahun), dan Ika (5 tahun), Bogor.

Doc: Fara Devana

 

Tante, cerita dong soal Women’s March dan kenapa ajak anak-anak juga?

Yulia: Rumah kami di Bogor, kami bangun jam 3 pagi, siap-siap, kemudian berangkat dengan kereta paling pagi dari Stasiun Bogor menuju Jakarta. Saya ke sini karena saya peduli dengan masa depan anak-anak saya. Bahwa mereka berhak untuk hidup di dunia dan bumi yang lebih baik, tanpa saling menghakimi, dan saling menghormati pada pilihan orang lain. Setidaknya ketika meninggal nanti, kalau mungkin idealisme saya soal kesetaraan gender belum tercapai, saya sudah meletakkan fondasi bagi masa depan yang lebih baik untuk mereka berdua. 

Kenapa kamu ke sini dengan memakai kostum Darth Vader?

Gian: Ini kali kedua saya dan mama ikut Women’s March. Kali ini ada Ika, adik kecil saya. Kami ke sini karena kami juga korban. Ibu saya adalah korban pernikahan paksa. Walau kami korban, kami bisa jadi penyintas yang menyuarakan hak-hak korban. Karakter Darth Vader yang saya kenakan ini adalah karakter jahat berubah jadi baik, kemudian jahat lagi, lalu baik lagi. Sama seperti manusia pada umumnya, yang bisa berubah menjadi baik!

Ketiga keluarga ini bisa menjadi contoh tentang pentingnya menanamkan nilai-nilai positif sejak dini. Salah satunya adalah nilai kepedulian dan saling menghormati. Keluarga ini juga mengajarkan bahwa semua orang berhak mendapat keadilan, dan baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Seperti kata Yulia, dunia akan lebih baik ketika semua orang dapat menghormati perbedaan, dan pilihan hidup orang lain. Pernyataan ini akan sangat relevan dengan Indonesia dengan  banyak perbedaan di dalamnya. Tapi, untuk mencapainya, tidak cukup jika hanya tiga keluarga ini yang berjuang.

Seperti slogan Women’s March 2018, #LawanBersama, mari dukung niat baik aksi ini untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Kontribusi juga bisa ditunjukkan dengan mengikuti gerakan-gerakan serupa. Misalnya, dengan mengikuti aksi #ForChange yang diselenggarakan Campaign.com. Jika bingung, informasi yang lengkap bisa didapatkan di akun Instagram @campaign_id.

Kita bisa memilih, untuk menuntut perubahan atau menciptakan perubahan. Daripada diam dan menuntut, mari bergerak dan ciptakan perubahan!

Ikuti tulisan menarik Fara Devana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler