x

Iklan

Satriwan Salim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Guru dan Radikalisme di Sekolah

Sebab pada umumnya pelaku tindakan intoleran dan antikebhinekaan tersebut berasal dari kalangan intelektual terdidik

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

oleh: Satriwan Salim*

Seputar Radikalisme-Fundamentalisme

Maraknya aksi intoleransi dan anti-kebhinekaan yang diasosiasikan sebagai tindakan radikalisme atau fundamentalisme bermuatan agama saat ini membuat kita terenyuh. Sebab pada umumnya pelaku tindakan intoleran dan antikebhinekaan tersebut berasal dari kalangan intelektual terdidik, baik siswa maupun mahasiswa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Intelektual merupakan kelompok elit masyarakat yang berpendidikan, rasional-objektif dan seperangkat predikat keilmiahannya. Sebagaimana dikatakan Antonio Gramsci (2013) bahwa tugas intelektual (organik) adalah mengartikulasikan kesadaran kolektif sosial, ekonomi dan politik kelasnya.

Tapi ternyata radikalisme apalagi yang membawa simbol-simbol agama, tidak peduli apakah seseorang itu intelektual, atau kalangan masyarakat awam. Sebab yang menyatukan di antara mereka adalah kesamaan pandangan dan ideologi gerakan. Betul bahwa latar kesamaan ideologis menjadi faktor determinan bagi berkembangnya ideologi radikal (agama) tersebut.

Fundamentalisme agama, dalam sejarah agama-agama muncul di semua agama. Di kalangan Kristen, dalam booklet yang berjudul The Fundamentals (sekitar 1909-1915), muncul kelompok puritan yang ingin mengembalikan masyarakat Kristiani untuk kembali kepada Bible yang sakral. Menolak jauh-jauh modernisasi yang sedang terjadi terhadap ajaran keagamaan.

Fudamentalisme-radikalisme dalam Islam, kita mesti membaca ulang sejarah sekte Khawarij. Mereka merupakan kelompok agama garis keras. Bahkan bagi mereka rukun Islam yang ke enam (ditambah) yaitu jihad. Khawarij membolehkan pembunuhan terhadap siapapun (isti’rad), yang dianggap sebagai lawan politik dan ideologisnya, melabeli musuhnya sebagai kaum musyrik yang tidak memiliki hak hidup (Antony Black, 2006:47-49).

Jauh sebelumnya, seratus tahun sebelum masehi yakni di masa pemerintahan Ephipanes (175-164 SM), benih fundamentalisme agama telah hidup. Jadi secara sosiologis, memang perjalanan fundamentalisme sebagai sebuah ideologi dan gerakan politik-keagamaan bukan hanya milik sejarah Islam, tetapi dimiliki juga dalam iman Yahudi dan Kristen.

Roger Garaudy (1993) dalam bukunya “Islam Fundamentalis dan Fundamentalis lainnya”, telah memaparkan secara gamblang. Walaupun dalam perjalanannya, persepsi masyarakat (media) berhasil memproduksi kesan, jika fundamentalisme agama itu, melulu bersangkut-paut dengan Islam (muslim). Padahal Bruce Lawrence (2000) secara tegas memisahkan antara Islam sebagai agama (din), dan Islam sebagai ekspresi keberagamaan oleh umatnya yang heterogen pula. Lawrence mengatakan bahwa Islam tidak tunggal.

Secara definisi tidak ada yang salah dengan kata fundamental dan radikal. Bahkan banyak persoalan bangsa, terkait kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan pendidikan, harus diselesaikan secara “radikal” oleh pemerintah, karena masalah tersebut telah menjadi persoalan “fundamental” kita sebagai bangsa. Kalimatnya sampai di sini masih berkesan positif. Sebab pertama, karena pelaku (subjek) yang radikal di sini adalah negara (kebijakan).

Kedua, yang menjadi objek permasalahannya adalah kemiskinan, pengangguran dan kebodohan (permasalahan bangsa). Kesimpulannya yaitu makna fundamental dan radikal akan menjadi sangat menakutkan jika disandingkan dengan gerakan yang berbaju ideologi, apalagi dibalut oleh simbol-simbol agama yang berujung kepada sikap dan perilaku sosial-politik yang bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan berbangsa. 

Persoalan kemudian, karena yang berbaju radikal-fundamental adalah kelompok intelektual di sekolah (perguruan tinggi). Siswa dibentuk menjadi radikal dalam pola pikir dan sikap politiknya. Mahasiswa tercipta menjadi kelompok radikal agama, setidaknya dalam paradigmanya yang menolak ideologi Pancasila atau menolak NKRI dan UUD 1945.

Berkembangnya perilaku intoleransi, sikap radikalisme, anti-Pancasila yang alergi terhadap kebhinekaan di tingkatan pelajar sekolah misalnya, tergambarkan dalam hasil penelitian Maarif Institute (2018). Setidaknya ada tiga (3) faktor penyebab utama terjadinya penetrasi paham intoleran dan radikalisme ke sekolah. Pertama, melalui kegiatan ekstrakurikuler, yaitu keterlibatan alumni ke dalam pelatihan siswa di sekolah. Kedua, melalui guru dalam proses pembelajaran di kelas. Ketiga, kebijakan sekolah yang lemah dalam mengontrol masuknya radikalisme ke sekolah.

Sekarang menjadi nyata jika benih-benih intoleransi mulai tumbuh di lingkungan sekolah. Setidaknya ini yang tergambar dari survei Maarif Institute (2015), The Wahid Institute (2016) dan Setara Institute (2016). Siswa diberikan pertanyaan seperti; setujukah dengan “negara Islam di Indonesia”? Hasilnya, 19,39 % menyatakan "setuju", dan 3,06 % menyatakan "sangat setuju" (survei Maarif Institute terhadap 98 siswa ).

Kemudian 59,9 % responden siswa memiliki kelompok yang dibenci. Yaitu orang-orang yang berlatarbelakang agama nonmuslim, kelompok Tionghoa, komunis, dan lainnya (survei The Wahid Institute kepada 1.520 responden), sebanyak 61,6% punya sikap toleran, 35,7% intoleran pasif, 2,5% intoleran aktif atau radikal, dan 0,3% berpotensi menjadi teroris (survei Setara Institute kepada 760 responden siswa). Terbaru adalah penelitian Kemdikbud kepada siswa yang diindikasikan bersikap intoleran di organisasi OSIS.

Guru dan Deradikalisasi

Ini menjadi persoalan sangat serius, jika benih radikalisme tersebut mulai tumbuh di sekolah. Akan menjadi kegagalan sistem pendidikan nasional kita, padahal pemerintah sudah menggalakkan pendidikan karakter di sekolah. Jangan sampai pendidikan karakter dan narasi revolusi mental selama ini yang digaungkan, tinggal kata-kata dalam seminar semata. Tidak membumi di ruang-ruang kelas dan sekolah, membatin dalam pribadi siswa, guru dan pejabat negara.

Kita tak bisa membayangkan jika hati dan isi kepala para generasi penerus ini penuh rasa kebencian, intoleran, anti-Pancasila dan antikebhinekaan. Makin berbahaya jika konteks pembelajaran di kelas oleh para guru memang melegitimasi dan memberikan ruang terhadap tindakan kekerasan, intoleransi dan eksklusivisme tersebut.

Jika muatan pembelajaran yang disampaikan di kelas oleh guru cenderung bersifat radikal, mengarah kepada kekerasan, anti-Pancasila, NKRI dan kebhinekaan, maka sekolah (dinas pendidikan) bisa bertindak tegas. Walaupun sebagai pendidik, saya agaknya ragu jika ada guru (sekolah umum dan sekolah agama) secara terbuka di depan kelas, mengajarkan kekerasan bahkan teror dalam muatan pembelajarannya.

Sebagai langkah awal yang baik adalah, perlu kiranya pembuat kebijakan pendidikan (Kemdikbud dan Kemenag), bersama melakukan evaluasi dan supervisi yang menyeluruh, berjenjang dan transparan. Sebab selama ini evaluasi oleh Kemdikbud dan Kemenag terhadap sekolah-sekolah, dilakukan hanya administratif belaka dan parsial.

Melalui penilaian perangkat pembelajaran dan silabus di sekolah-sekolah, itupun terkesan formalitas dan sekedar pelepas kewajiban rutin belaka. Walaupun ada pengawas sekolah, tidak pernah menilai pembelajaran oleh semua guru di satu sekolah. Tidak ada juga tindak lanjut yang dilakukan kemudian, bagi perbaikan-perbaikan yang juga mendasar.

Instrumen yang efektif selain supervisi silabus dan perangkat pembelajaran, tentu adanya ruang dialog terbuka antara guru, siswa dan orang tua sebagai bentuk pengawasan bersama. Ruang dialog mesti dibuka lebar oleh guru dalam pembelajaran di sekolah. Diskursus wacana adalah keniscayaan antara siswa dan guru.

Kemudian yang tak kalah penting, jika guru mau meningkatkan kapasitas diri, memperbanyak bacaan dan wawasan, tentu apapun potensi radikal siswa yang bersumber dari apa yang siswa baca, bisa dibawa dan didiskusikan secara terbuka, rasional dan dialogis. Ini yang agaknya kurang dalam diri para guru saat ini. Semoga menjadi otokritik bagi kawan-kawan guru.

*Penulis adalah Pengajar di SMA Labschool Jakarta-UNJ dan alumni Program Pascasarjana Ketahanan Nasional UI

Ikuti tulisan menarik Satriwan Salim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB