x

Puluhan bangunan semi-permanen, bak cendawan di musim hujan, mulai menjamur di bekas lahan penggusuran Kampung Akuarium, Jakarta, 3 Mei 2017. Pasar Ikan dan Kampung Akuarium sebelumnya telah digusur oleh Ahok pada April 2016 untuk direvitalisasi menj

Iklan

Zdavir Andi Muhammad

Penulis merupakan alumnus Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Hasanuddin angkatan tahun 2012 dan kini tengah mengampuh Studi S2 untuk jurusan Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan di Sekolah Pasca Sarjana Unhas
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Apakah Masyarakat Miskin Kota Kampung Akuarium Berkebudayaan

Tulisan ini menjadi salah satu tulisan penulis dalam mengupas masalah urbanisme dan kemiskinan dalam masyarakat Jakarta terutama Kampung Akuarium

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa waktu yang lalu, di saat saya sedang melaksanakan magang di salah satu lembaga swadaya masyarakat ternama, Ruang Jakarta, saya disodorkan oleh Marco Kusumawijaya dengan salah satu bacaan yang menarik—dan akhirnya membuat saya menuliskan tulisan ini. Buku tersebut ialah buku yang berisi berbagai tulisan bertemakan kemiskinan masyarakat perkotaan yang dieditori oleh Suparlan. Salah satu bagian dari tulisan tersebut menukilkan tulisan Oscar Lewis dengan tema “Kebudayaan Kemiskinan” (dalam Suparlan: 1993)—anda dapat membaca beberapa bagian dari tulisan ini dalam Culture of Poverty oleh Lewis.  Menariknya, saya juga sedang melakukan penelitian mandiri di salah satu perkampungan Kota Jakarta.

 

 Apa Itu Kebudayaan Kemiskinan? 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kebudayaan kemiskinan sebagaimana yang ditunjuk Lewis ialah sebuah keadaan dimana masyarakat miskin yang menyerah pada keadaan miskinnya. Ia juga disebut tidak memiliki pengetahuan terhadap masyarakat luar yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai landasan gerak jika mereka mengetahui bahwa tidak sedikit masyarakat miskin di luar sana berhasil mentransformasikan dirinya menjadi masyarakat yang aktif dan memiliki pendapatan yang lebih baik lagi dibanding kondisi sebelumnya. Impulsnya, menurut Lewis (dalam Suparlan), mereka yang berkebudayaan kemiskinan berorientasi pada kejadian-kejadian  dalam batas-batas provinsi dan lokal serta tidak memiliki kesadaran sejarah. Mereka hanya menguasai masalah lokal saja dan tidak memelajari bahwa di lingkungan lain yang sebenarnya berhasil melakukan gerakan penghapusan kemiskinan. Sehingga dengan belajar akan sejarah dari masyarakat lain yang dapat membebaskan diri dari belenggu kemiskinan dapat membuat masyarakat yang memelajarinya juga bebas dari belenggu kemiskinan.

 Masyarakat yang memiliki kebudayaan kemiskinan juga disebut-sebut sebagai masyarakat yang tidak terintegrasi dengan pranata sosial yang ada—terutama formal. Hal ini kemudian membuat masyarakat acap sulit mengorganisir diri dalam membuat program pengentasan kemiskinan yang melibatkan banyak elemen masyarakat. Padahal, hadirnya organisasi ataupun keterlibatan masyarakat dalam pranata sosial dibutuhkan dalam rangka menciptakan pemberdayaan yang lebih sistematis dan menyentuh masyarakat langsung. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab langgengnya kemiskinan—minimnya budaya organisasi masyarakat (belakangan, pemerintah hendak membuat korporasi petani dalam rangka memberdayakan pranata petani masyarakat untuk lebih bertaring lagi). Sehingga, partisipasi masyarakat dalam baik organisasi maupun mengorganisasikan diri didorong melalui pembentukan berbagai organisasi seperti PKK. 

 Lebih jauh masyarakat miskin cenderung memiliki sikap kritis (tidak percaya, pen.) terhadap polisi, kelas yang berkuasa, tidak percaya kepada pemerintah atau mereka yang memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat, bahkan sinis terhadap gereja—lembaga keagamaan. Lewis kemudian melanjutkan bahwa masyarakat miskin tidak mutlak memiliki kebudayaan kemiskinan dikarenakan beberapa hal. Jika masyarakat miskin disebut-sebut identik dengan ketidakmampuan ekonomi ataupun sebuah kondisi yang membuat orang yang berada dalam kondisi itu tidak berdaya secara ekonomi maupun sosial, kebudayaan kemiskinan identik dengan sikap perilaku inferior—selalu merasa rendah diri—kerap melekat pada masyarakat miskin. beberapa hal lainnya juga seperti kurangnya kendali diri dan dorongan-dorongan nafsu, sifat suka membual, lemahnya struktur pribadi, kuatnya orientasi masa kini dalam hal menunda keinginan dan rencana masa depan,  perasaan tidak berguna dan pasrah. Sehingga, rendahnya moral ini menciptakan “siklus setan kemiskinan”. 

 Berbagai tuduhan ini kemudian ditujukan kepada masyarakat miskin perkotaan bahwa mereka adalah orang yang tidak mampu memberdayakan diri mereka sendiri, termasuk tidak mampu dalam melakukan inisiatif guna keluar dari lubang jerat kemiskinan. Berbagai masalah ini kemudian mendorong intervensi pemerintah. Berbagai kebijakan seperti up to down nyatanya gagal dalam mendorong dan mengentaskan kemiskinan. Dari berbagai literasi dapat kita lihat dari Hernando de Soto “Masih Ada Jalan Lain” hingga Tania Murray Li dalam “Will To Improve” menunjukkan bahwa intervensi pemerintah mungkin perlu tetapi tidak cukup—dalam istilah ekonomi lebih dikenal necessary but not sufficient. Dan, dari berbagai literatur ini kemudian kita memeroleh kesimpulan bahwa berbagai alternatif kebijakan dapat dilakukan oleh masyarakat dalam rangka memberdayakan diri mereka guna kelaur dari jerat lubang kemiskinan. Apakah hal ini juga terjadi dalam masyarakat miskin perkotaan? Bagaimana mereka mengatasi keadaan yang menimpa mereka?

 

Menemui Masyarakat Kampung Akuarium 

Saya kemudian memutuskan untuk menemui masyarakat Kampung Akuarium guna mengonfrontasi berbagai tuduhan yang dilancarkan baik oleh media dan pemerintah—bahwa mereka adalah masyarakat yang tidak mandiri, tidak ulet, ditinggali dan menjadi sumber kriminalitas, kotor, serta masyarakat yang pasif dan senang menerima bantuan. Jika kemudian peneliti menemui fakta yang senada dengan tuduhan yang dilancarkan, maka masyarakat telah terjebak pada kebudayaan kemsikinan. Namun, sebaliknya, justru peneliti menemukan bahwa masyarakat Kampung Akuarium ialah masyarakat yang ulet, telaten, tertata, tidak kotor. Lantas bagaimana kisah mereka?

 Dalam tuduhan kotor serta menempati lahan ilegal—kotor dan ilegal dalam berbagai literatur kadang diidentikkan dengan satu frasa yang sama. Yang kotor kadang “sudah pasti” ilegal pun sebaliknya, karena sebuah lahan kotor identik dengan sebuah lahan yang tidak diinginkan oleh berbagai pihak masyarakat migran memberanikan diri untuk menempati lahan kotor tersebut—menjadi perdebatan yang tidak berkesudahan dalam masyarakat Kampung Akuarium. Lahan yang dituduhkan ilegal tersebut sejatinya masih dalam polemik yaitu tanah tersebut berada dalam status lahan milik LIPI—pemerintah. Namun, masyarakat kemudian masih menempati lahan tersebut dikarenakan masyarakat mengklaim bahwa pemerintah memiliki utang kontrak politik yang harus dipenuhi yaitu legalisasi tanah bagi masyarakat yang telah menempati lahan selama lebih dari dua puluh tahun—izinkan saya membahas ini di bagian lain tulisan ini—jika calon pemimpin—yang sekarang menjadi pemerintah—berhasil memenangkan pemilihan gubernur. 

 Kotor juga diidentikkan dengan kumuh, yaitu perumahan yang kondisinya tidak layak huni, tidak nyaman, tidak higienis. Tidak layak huni diidentikkan dengan rumah-rumah yang bahan bangunannya berasal dari bahan yang tidak permanen seperti kayu. Jalanan yang berlubang serta perumahan yang tidak memiliki saluran air juga identik dengan kotor dan kumuh karena dapat menjadi sarang penyakit—yang mana kemudian tidak saya temukan dari berbagai keterangan yang saya kumpulkan dari berbagai informasi pasca penggusuran. Saya juga menemukan beberapa foto terakhir beberapa bulan sebelum penggusuran terjadi dan menyimpulkan tidak terdapat kekumuhan di perkampungan Akuarium—walau benar perkampungan tersebut lebih identik dengan kata tidak tertata rapi (yang jauh berbeda dengan kata kotor).

 Mereka yang rendah tingkat pendapatannya dan menganggur, lebih sering mengembangkan citra diri yang jelek, sebuah hal yang kemudian acap melekat pada masyarakat miskin kota—terutama pada masyarakat Kampung Akuarium. Mereka juga dicitrakan sebagai masyarakat yang tidak ulet, tidak rajin, pemalas, bahkan masyarakat yang senang dari berbagai derma bantuan masyarakat dan pemerintah. Saya juga tidak menemukan berbagai tuduhan yang disebut-sebutkan. Bahkan, fenomena yang hadir guna mengatasi kemiskinan yang dialami oleh masyarakat ialah terjadinya diversifikasi sumber-sumber nafkah yang dilakukan masyarakat. Misalnya, satu anggota masyarakat melakukan beberapa pekerjaan yang berbeda. Saya menemui beberapa orang yang bahkan sebelum penggusuran sebagai nelayan di waktu musim yang baik, dan di waktu musim yang buruk bekerja sebagai mekanik kapal. Nelayan lainnya yang tidak memiliki keahlian dalam memperbaiki kapal meluangkan waktunya sebagai pengarjin mebel. Sedangkan anggota masyarakat yang lain ada yang berjualan makanan dari pagi hingga sore hari, sedangkan di malam harinya berjualan pakaian. Saya juga menemui beberapa anggota masyarakat yang melakukan diversifikasi sumber-sumber nafkah dengan memodifikasi rumahnya dengan melakukan pinjaman di bank; ia kemudian merombak tingkat dua rumahnya menjadi petakan-kontrakan sedang di tingkat satu rumahnya sebagai tempat tinggal dan tempat usaha. Bahkan, saya menemui salah seorang anggota masyarakat yang menginvestasikan pendapatannya dalam berbagai aset dalam rangka mempertahankan sumber-sumber nafkah yang lebih pasti dan ini menunjukkan tuduhan tidak mampu, tidak cerdas, bodoh dan tidak ulet tidak tampak sama sekali dalam kasus ini. Berbagai strategi nafkah yang diterapkan masyarakat menunjukkan uletnya masyarakat dalam mempertahankan kehidupannya atau meningkatkan taraf hidupnya, bahkan, dapat dikategorikan sebagai resilient.

 

Pemiskinan—Kemiskinan? 

Masyarakat perkampungan—terutama Kampung Akuarium—terbukti tidak sebagaimana yang dituduhkan—terutama sebagai tempat kriminal dan senang hidup dengan bantuan. Masyarakat membuktikan bahwa mereka ialah masyarakat yang bermartabat dalam mempertahankan hidupnya dan dalam meningkatkan taraf hidupnya. Beragam strategi nafkah dilakukan hingga penggusuran yang menciptakan kemiskinan terjadi. Bahkan, strategi nafkah dalam mempertahankan hidupnya masih berlanjut pasca penggusuran.

 Namun, hilangnya berbagai aset masyarakat berdampak pada hilangnya juga sumber-sumber nafkah. Misalnya, yang dulunya mengandalkan pendapatan dari jualan warung makanan, toko kelontong, atau petak-kontrakan kini harus melakukan strategi sumber nafkah. Salah seorang nelayan yang dulunya mengandalkan sumber pendapatan dari petak-kontrakan kini harus menjual kapalnya. Hal ini dilakukannya karena di saat melakukan investasi—membangun kontrakan—ia harus meminjam uang di bank. Penggusuran membuat masyarakat kehilangan berbagai aset dan untuk membayar utangnya ia harus menjual berbagai asetnya. Hal ini kemudian menciptakan lingkaran setan kemiskinan akibat strategi mitigasi pemerintah yang gagal dalam melihat dampaknya. Saya juga menemui anggota masyarakat yang dulunya di pagi hingga sore hari menjual makanan mi ayam dan malam harinya menjual pakaian kini harus mengandalkan jualan makanan saja karena jualan pakaian kini tidak selaris dulu di lokasi tempat tinggalnya yang baru di Rusun Marunda.

 Akibatnya, terjadi pemiskinan secara strutktural setelah pemerintah tidak melakukan strategi pemberdayaan masyarakat pasca penggusuran. Pemiskinan yang terjadi ini, uniknya, kembali meluruhkan tuduhan malas yang dialamatkan kepada masyarakat Kampung Akuarium. Salah satu strategi nafkah yang kemudian terjadi ialah yang dulunya istri tidak bekerja dan hanya mengurus rumah tangga, kini harus bekerja dalam mencukupi berbagai kebutuhan rmah tangga serta pendapatan dari sumber-sumber aset yang hilang. Demikian pula yang juga terjadi dalam masyarakat Kampung Kunir.

 Kemiskinan strutural terjadi akibat pemerintah abai terhadap dampak pasca penggusuran dimana masyarakat mengandalkan pendapatannya dari berbagai aset: seperti modal sosial, tempat tinggal yang dijadikan sebagai tempat usaha, tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerjanya kini luruh akibat digusurnya rumah warga serta relokasi yang hadir tanpa skema ganti-rugi yang jelas yang berakhir pada hilangnya sumber-sumber pendapatan serta modal sosial masyarakat. Tanah yang memang luasnya tidak seberapa itu menjadi sumber kehidupan masyarakat. Perdebatan mengenai legalitas lahan memang masih menjadi polemik. Tetapi argumen mengenai masyarakat menengah atas yang mampu menyulap berbagai kawasan yang dulunya zonasi hijau menjadi zonasi pemukiman dan bisnis seperti Pantai Indah Kapuk (dulu hijau sekarang zonasi pemukiman) serta kawasan Ancol (dulu hijau sekarang zonasi bisnis) menunjukkan pemerintah sendiri tidak memiliki iktikad baik bagi masyarakat kecil Kota Jakarta.

 

Appendix

Migrasi, Urbanisme, Kebudayaan Kemiskinan dan Berbagai Tuduhan terhadap Masyarakat Perkampungan Kota 

Masyarakat perkampungan perkotaan acap dituduh sebagai masyarakat yang miskin, tidak dapat diatur, kerap acuh dan tidak taat ataupun patuh terhadap hukum, ditempati dan menghasilkan berbagai kriminalitas yang terjadi di lingkup perkotaan, tempat yang dihuni oleh masyarakat dengan kebudayaan kekerasan (kasar), menempati wilayah yang jorok dan tidak higienis—beberapa penelitian menunjukkan masyarakat perkampungan perkotaan menempati wilayah yang cenderung jorok akibat lahan tersebut tidak menjadi perhatian oleh pemerintah sehingga pemerintah abai terhadap status legalitasnya. Tak heran kemudian, jika kita menemui perkampungan masyarakat miskin perkotaan berada di tempat-tempat yang kotor dan kumuh. Tampaknya masyarakat mengambil wilayah tersebut dengan sadar akan konsekuensi terhadap tingkat kesehatan mereka. Sayangnya, pengorbanan akan tingkat kesehatan ini mungkin juga dapat memiliki konsekuensi buruk terhadap kualitas hidup mereka dimana ketika tingkat kesehatan mereka menurun, pendapatan mereka juga dapat menurun ketika mereka jatuh sakit akibat tidak dapat bekerja dan menghasilkan uang. 

Dalam hal ini, dalam penelitian yang peneliti ampuh, tampaknya tidak satupun tuduhan kumuh yang terbukti terjadi dalam masyarakat yang peneliti ampun—walaupun tidak beraturan; namun itu tidak koheren dengan kumuh dan kotor.Walaupun demikian, sejatinya, sejarah masyarakat miskin bukanlah permasalahan urban modern. Asal-muasal masyarakat miskin urban-perkotaan dapat diselidiki melalui beberapa tulisan seperti Pertambahan Penduduk dan Penyerbuan Daerah Kota” oleh Charles Adams bahkan untuk masyarakat perkotaan Jakarta sekalipun, “Produksi Subsistensi dan Massa Apung Jakarta” oleh Hans-Dieter Evers yang juga menunjukkan ketimpangan pendapatan dalam masyarakat perkampungan Jakarta yang tampaknya menghasilkan oleh gerakan migrasi masyarakat pedesaan. Dikotomi pertumbuhan ekonomi yang terjadi akibat perbedaan teknologi rendah vs teknologi tinggi mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang timpang yang terjadi sehingga mendorong migrasi pedesaan ke perkotaan. Buruk dan timpangnya sarana infrastruktur pelayanan publik seperti fasilitas sekolah dan berbagai layanan lainnya memperparah dan turut mendorong migrasi pedesaan. Tingginya tingkat ketimpangan antara Jakarta dan berbagai wilayah lainnya, besarnya pertumbuhan ekonomi Kota Jakarta akhirnya juga berkontribusi terhadap hal ini. Sehingga, masyarakat miskin pedesaan hampir tidak dapat kita permasalahkan mengingat berbagai kebutuhan hidup yang mendorong mereka untuk bermigrasi untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di tempat lain—dalam hal ini Jakarta.
 Di Kampung Akuarium, saya menemui beberapa anggota masyarakat yang juga memiliki alasan yang sama mengenai kehidupannya; yaitu harapan memiliki kehidupan yang lebih baik dibanding tempat asalnya.

Ikuti tulisan menarik Zdavir Andi Muhammad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler