x

Iklan

Rahmat Maulana Sidik

Writer, Blogger, Reseacher, Leader, Human Right Defender
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Akhiri Drama Larangan Bercadar di Kampus

Kebijakan pelarangan bercadar di kampus bisa menjadi indikasi awal bahwa penghormatan terhadap HAM dan perbedan di Indonesia masih lemah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pro-kontra tentang kebijakan larangan bercadar yang dikeluarkan oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga melalui Surat Rektor No. B-1301/Un02/R/AK.00.3/02/2018 tentang Pembinaan Mahasiswi Bercadar semakin meluas di Indonesia.

Bahkan Ketua Umum MUI juga turut berkomentar yang pada intinya mengatakan bahwa “penggunaan cadar dibenarkan dalam agama Islam sehingga beliau pun mempertanyakan alasan pelarangan bercadar dari Rektor UIN Sunan Kalijaga, jangan-jangan ada aspek lain dari pelarangan itu” (sebagaimana dilansir dari tribunnews.com pada 6 maret 2018).

Justru, bukan hanya dibenarkan secara agama Islam melainkan tidak dilarang secara konstitusional dan regulasi di Indonesia. Dalam Pasal 28E UUD 1945 secara tegas mengatakan "setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nurani nya’’.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahkan, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005. Dalam Pasal 18 Ayat (1) Konvensi Hak Sipil dan Politik itu mengatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama.

Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran”.

Oleh karena itu, pelarangan bercadar yang dikeluarkan oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga tersebut melanggar ketentuan hukum agama Islam dan konstitusional.

Konstitusi telah memberikan jaminan perlindungan bagi setiap orang untuk meyakini kepercayaan nya, termasuk mengenakan cadar karena berdasar dari kepercayaannya itu, juga berhak menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani nya.

Alumni Jurusan Siyasah UIN Sumatera Utara juga merespon pelarangan bercadar bahkan dengan tegas menolak kebijakan Rektor UIN Sunan Kalijaga karena semena-mena mengeluarkan kebijakan tanpa alasan dan dasar hukum yang jelas, juga tidak memperhatikan kebebasan ber-ekspresi bagi setiap individu serta terjaminnya hak asasi manusia.

Tidak hanya itu, kebijakan tersebut akan berujung pada stigma negatif masyarakat pada agama Islam itu sendiri. Karena salah satu alasan Rektor UIN Sunan Kalijaga mengeluarkan kebijakan tersebut untuk mencegah paham radikalisme dan terorisme di kampus UIN Sunan Kalijaga.

Sehingga, seolah-olah indikasi paham radikalisme itu melekat pada wanita yang menggunakan cadar yang identik dengan agama Islam.

Ekspresi dalam Bertuhan dibatasi di Negara Ketuhanan???

Semenjak 1945, tokoh kemerdekaan Republik Indonesia dari semua kalangan baik muslim maupun non-muslim sepakat menjadikan Pancasila sebagai Ground Norm atau norma dasar dalam bernegara. Termasuk mengakui “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana tercantum dalam sila pertama Pancasila. Namun, justru beberapa polemik masih kian terjadi dalam implementasinya.

Termasuk, implementasi Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama nya masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Dalam praktik nya, masih banyak terjadi implementasi yang jauh dari penegasan Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 tersebut. Contoh kasus seperti, di Tolikara terjadi pembakaran masjid saat umat muslim hendak melaksanakan sholat Idul Fitri pada 2015, kasus lainnya pembakaran gereja yang terjadi di Aceh pada  tahun 2015.

Dan kini, terjadi kasus pembinaan mahasiswa bercadar di UIN Sunan Kalijaga dengan maksud untuk melarang mahasiswa bercadar karena identik dengan paham radikalism dan terorism.

Dari beberapa kasus tersebut diatas, sebenarnya mengganggu  eksistensi agama dalam negara yang melandaskan pada “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Disamping itu, bisa jadi kasus-kasus diatas secara sengaja diciptakan untuk membuat stigma buruk pada salah satu agama tertentu di Indonesia.

Sebagaimana telah terjadi di negara-negara Uni Eropa, tercatat pada tahun 2016 Slovakia mengeluarkan Undang-Undang melarang agama Islam sebagai agama resmi di negara tersebut.

Dalam Undang-Undang tersebut, dinyatakan bahwa yang berhak menjadi agama resmi di Slovakia harus memiliki 20 ribu pengikut, sementara Islam di Slovakia hanya 2 ribu pengikut. Hingga parlemen Slovakia menyatakan bahwa Islam tidak punya tempat di Slovakia.  

Akibat dari kebijakan itu, imigran Islam yang datang ke Slovakia ditolak oleh pemerintah Slovakia. Tidak berhenti disitu, warga Slovakia juga kian membenci kehadiran agama Islam yang ada di negara tersebut, sehingga berdampak pada menyudutkan para pemeluk agama Islam itu sendiri.

Pertanyaannya, bukankah indikasi pengekangan ekspresi dalam bertuhan itu sudah mulai terjadi di Indonesia? bila melihat beberapa contoh kasus di atas benar sudah kian marak terjadi Indonesia.

Padahal telah ada jaminan secara konstitusional negara Indonesia yakni menjamin setiap pemeluk agama dan kepercayaan untuk beribadah sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya itu (sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945).

Bisa jadi, fenomena kebijakan pelarangan bercadar yang terjadi di UIN Sunan Kalijaga itu sebagai landasan awal untuk membuat stigma buruk pada Islam dan menciptakan polemik di setiap kalangan masyarakat terhadap wanita yang menggunakan cadar. Berawal dari pelarangan cadar di kampus hingga berujung pada perumusan regulasi di Indonesia untuk melarang pemakaian cadar secara nasional.

Tentu, Indonesia bukan negara sekuler yang menjauhkan ajaran agama dalam landasan bertindak di negara ini. Karena, norma dasar atau Pancasila saja sudah meletakkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama, yang makna nya tidak mengesampingkan Tuhan dalam beraktivitas kenegaraan, termasuk dalam membuat sebuah kebijakan di Indonesia.

Patut diduga, kebijakan Rektor UIN Sunan Kalijaga terinspirasi dari kebijakan negara-negara Eropa yang melarang cadar di ruang-ruang publik. Seperti terjadi di Belanda, yang tercatat pada tahun 2016 Parlemen Belanda meloloskan RUU pelarangan cadar di ruang-ruang publik.

Larangan pemakaian cadar itu, kemudian terlebih dahulu dilaksanakan di dua negara Eropa diantaranya, Belgia dan Perancis. Tidak hanya melarang pemakaian cadar, namun juga niqab dan burqa serta sejenisnya.

Terlepas dari semua itu, jangan sampai kebijakan-kebijakan dari negara-negara Eropa lebih banyak mempengaruhi stigma berpikir kalangan pejabat dan masyarakat Indonesia sehingga mengesampingkan nilai-nilai moral, adat, dan agama dalam membuat sebuah kebijakan.

Pasca Penghapusan Pelarangan Cadar di UIN Sunan Kalijaga

Akhirnya, drama pelarangan bercadar oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga dicabut melalui Surat No. B-1679/Un.02/R/AK.00.3/03/2018 pada tanggal 10 Maret 2018. Berdasarkan Rapat Koordinasi Universitas (RKU) menyatakan bahwa pencabutan Surat Rektor tersebut untuk menjaga iklim akademik yang kondusif di kampus.

Dan pencabutan surat rektor itu pun diaminkan oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga (sebagaimana dilansir oleh CNN Indonesia pada Sabtu, 10/03/2018). Disamping itu, alasan-alasan pencabutan itupun tidak secara spesifik menyebutkan alasan-alasan yang tepat dari bermula mengeluarkan Surat Edaran Rektor hingga pencabutan Surat Edaran Rektor tersebut.

Terlepas dari semua itu, Alumni Siyasah UIN Sumatera Utara mengindikasikan bahwa hal itu menunjukkan kecerobohan yang dilakukan oleh pihak Rektorat UIN Sunan Kalijaga dalam membuat kebijakan pelarangan cadar di kampus. Sehingga, tidak memperhatikan aspek yang matang dari segi konstitusi di Indonesia serta Hak Asasi Manusia. Yang justru berakibat pada kampus UIN Sunan Kalijaga yang tidak ramah HAM dalam melindungi dan menjaga kebebasan ber-ekspresi mahasiswa khususnya dalam hal berpakaian.

Selain itu, Alumni Siyasah UIN Sumatera Utara juga meminta pada setiap Universitas di Indonesia agar pelarangan bercadar di setiap kampus sebaiknya dihapuskan dan tidak terjadi lagi fenomena yang membatasi seseorang dalam menuntut ilmu di kampus hanya karena pakaiannya.

Kampus harus menjadi sarana terdepan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia, termasuk kebebasan menjalankan agama dan keyakinan sebagaimana telah dicantumkan dalam UUD 1945.

Yang turut bertandatangan:

Rahmat Maulana Sidik, S.H.

Muhammad Abul Hasan, S.H.

Sofyan Anshori, S.H.

Syafrida Ayudhia, S.H.

Mhd. Ansor Lubis, S.H.

Elistya Ningsih, S.H.

Ifroh Fitria Lubis, S.H.

Mhd. Arfai, S.H.

Muhammad Zuchri Nasuha Lubis, S.H.

Mirza Wira Hakim Siregar

Muhammad Hasan Nasution S.H.

M. Adli Azhari Lubis, SH.

Raufi Yakub, SH.

Fauzan Ghafur, S.H.

Muhammad Fauzi Nasution, S.H.

Maulidya Mora Matondang, S.Hi.

Rudi Rahmadi Pasaribu, S.H.

Aina Salsabila, S.H.

Azrul Ammar, S.H.

Miftahul Jannah Ritonga, S.H.

Sufriani, S.H.

Putri Sumarni, S.H.

Lidya Wahyu Ningrum, S.H.

Asri Indah Wardani, S.H.

 

 

Ikuti tulisan menarik Rahmat Maulana Sidik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler