x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Jadilah Orang Biasa dengan Hasil Luar Biasa

Masih banyak eksekutif belum bisa membedakan busy-ness dengan business, kesibukan dengan produktivitas

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: Being Ordinary for Extraordinary Results

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Business and Executive Coach

 

Menjelang suatu pertemuan, seorang Senior Vice President sebuah perusahaan besar berkata dengan nada agak tinggi dan serius, “Saya ini harus segera ke kedutaan ….(sebuah negara di Eropa), ngurus visa. Ke kedutaan kan penting lho, habis itu saya meeting lagi di kantor. Besok saya mesti urusan lain lagi dan siap-siap untuk ke luar negeri….”

Pihak yang diajak bicara, yang datang sesuai perjanjian untuk ketemu membahas kinerja bisnis, tentu terperangah. Lalu sedikit geli dan merasa iba pada si Mr. SPV, yang berupaya keras menunjukkan dirinya penting dan sibuk banget.

Soalnya, bagi sang tamu, dalam pekerjaannya sebelumnya makan malam dengan duta besar negara-negara penting di dunia, makan siang dengan para First Secretary mereka, sudah menjadi hal biasa. Tiba-tiba hari ini ada seorang SPV mau ketemu petugas urusan visa merasa penting dan genting banget.

Merasa harus unjuk gigi sebagai orang penting, dengan mengatakan selalu sibuk banget banyak kegiatan, meeting ini-itu, bukan monopoli orang-orang yang mengalami goncangan budaya (cultural shock) sebagaimana Mr. SPV tersebut --yang indikasinya akibat dari loncatan kenaikan jabatan.

Banyak eksekutif dan umumnya para profesional muda di Jakarta atau kota-kota besar lain di dunia, apakah itu di Kuala Lumpur, Shanghai, Taipei, bahkan New York, memiliki kecenderungan seperti itu. Merasa diri orang penting, diperlukan di pelbagai kegiatan, terlibat banyak sekali urusan, meeting sana-sini…. Bagi Anda yang pengalaman bergaul di dunia internasional tentunya mengetahui situasi itu.

Menurut pelbagai penelitian para pakar psikologi, ahli perilaku organisasi, dan praktisi leadership, serta konsultan manajemen, orang-orang yang hampir selalu mengatakan dirinya sibuk sekali dengan pelbagai urusan, sesungguhnya tidak menunjukkan apa-apa selain belum mampu managing diri sendiri.

Masih banyak eksekutif dan pengelola organisasi mengalami kerancuan, belum bisa membedakan busy-ness dengan business, kesibukan dengan produktivitas. Kenyataannya, para pelaku usaha yang sukses umumnya tidak pernah mengatakan dirinya selalu sibuk luar biasa.

Richard Branson, pendiri dan pemimpin Virgin Group, yang menaungi 400-an perusahaan, tidak pernah sesumbar dirinya super sibuk – dia hanya selalu menolak kegiatan di luar fokus yang tengah dia kerjakan. Mendiang Steve Jobs, ketika menjadi CEO Apple Inc., juga tidak terdengar pernah mengeluh senewen akibat sibuk. Tindakan kongkrit yang dia lakukan saat 1997 kembali memimpin Apple adalah memangkas 350 rencana usaha baru menjadi hanya 10 proyek.

Kalau ada orang mengatakan, “Aku tidak punya waktu…,” sesungguhnya dia sedang menyangkal kemurahan Tuhan, yang dengan rahmat dan kasih-Nya memberikan waktu 24 jam sehari kepada dirinya sama dengan waktu yang diberikan untuk Bill Gates, atau bagi Jeff Immelt, CEO General Electric (GE) yang pensiun Agustus 2017. Juga sama dengan yang dijatahkan kepada para eksekutif sukses lainnya.

Maka, para leaders organisasi yang hebat mengatakan, orang yang mengaku sangat sibuk sebenarnya bukan tidak punya waktu, tapi mereka belum punya skill untuk mengatur diri dan menentukan prioritas. Atau mereka sebenarnya terkena sindrom “addicted to their own struggle” sebagaimana kata para psikolog?

Being perpetually busy is akin to being sloppy with your time and is ultimately a form of laziness, kata Tim Ferriss, entrepreneur dan penulis buku tentang produktivitas yang sangat laris, The 4-Hour Workweek.

Terus menerus terlibat banyak kesibukan kok dianggap lazy, maksudnya bagaimana? Rupanya umum terjadi, orang-orang yang sangat menikmati hari-hari sibuk montang-manting adalah indikasi bahwa mereka menghindari tanggung jawab menghadapi dirinya sendiri, mengelak dari ketidaknyamanan harus disiplin mengatur diri, bertindak sesuai skala prioritas.

Hanyut dalam kesibukan, sampai tidak mengetahui lagi siapa sesungguhnya jati diri mereka, merupakan persembunyian yang nyaman. Ketika situasi heboh dalam kesibukan tersebut diceritakan kepada pihak lain, mitra bisnis, kawan, dan keluarga, maka sempurnalah upaya memperlihatkan how distinguished they are

Alasan umum terjebak dalam badai kesibukan adalah karena menyelesaikan hal-hal urgent. Maka mereka membuat to do list. Tahukah Anda, mengejar yang urgent-urgent dan mengikuti to do list adalah ibarat memakai dua lapis selimut untuk bersembunyi dari tugas utama, yaitu menyelesaikan yang very important?

Karena to do list lebih banyak memperlihatkan adanya urutan kegiatan, bukan memastikan accomplishment. Sedangkan kalau kita terus-menerus berada di kuadran urgent, cenderung tidak pernah merampungkan hal-hal di kuadran important.

Fokus dan berdisiplin meraih goal utama – yang paling memiliki impact positif, signifikan, dan strategis bagi organisasi -- dalam waktu tertentu, bagi mereka jadi hal yang counterintuitive. Membuat diri sangat tidak nyaman.

Kenyataan tersebut menjelaskan fakta-fakta pahit di sejumlah organisasi. Ini faktanya: Berdasarkan hasil asesmen, employee engagement meningkat, tingkat kompetensi tim juga tinggi. Tapi revenue setia di satu tempat alias tidak naik-naik – “mirror-mirror on the wall, why does our revenue stall.”

Untuk mengatasi hal semacam itu, ketika organisasi-organisasi tersandera oleh badai kesibukan para eksekutifnya, sesungguhnya sudah sejak tahun 1990-an ada pelatihan-pelatihan berbasis The 7 Habits Highly Effective People yang dirintis Stephen R. Covey. Memasuki Abad 21, banyak pula program meningkatkan kompetensi kepemimpinan dan menumbuhkan organisasi, satu di antaranya belandaskan Mastering the Rockefeller Habits 2.0, Scaling Up, yang dikembangkan Verne Harnish dan Team Gazelles.

Banyak di antara eksekutif yang berlatar belakang organisasi-organisasi ternama sebenarnya sudah mengikuti pelatihan-pelatihan internal dan eksternal untuk menjadi para leaders yang jempolan.

Namun, ketika mereka memperoleh posisi dan tantangan baru di organisasi berbeda, memimpin tim yang lebih bervariasi, menghadapi lanskap ekonomi yang sudah jauh berkembang dibandingkan 10 atau bahkan lima tahun lalu, banyak yang memerlukan penguatan diri dan peningkatan kompetensi. Sebagiannya kecanduan berjuang keras mengatasi yang urgent-urgent, bahkan ada yang mengalami burn out.

Tantangan besar para eksekutif hari-hari ini bukan dalam pemahaman tentang leadership (know how), tapi lebih pada bagaimana mempraktikkan pemahaman mereka tentang leadership (show how).

Untuk membantu mereka, sekaligus sebagai upaya membebaskan para eksekutif dari jebakan angin puyuh kesibukan, Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) memberikan support kepada para leaders yang sudah sukses mampu melakukan perubahan perilaku kepemimpinan mereka menjadi lebih efektif. Ini merupakan sistem continuous improvement untuk mereka dan tim.  

Berdasarkan penelitian dan sesuai dengan kenyataan di lingkungan organisasi-organisasi yang sukses secara berkesinambungan, untuk menjadi eksekutif dan pemimpin yang hebat, lebih efektif, syarat paling mendasar adalah keterbukaan hati dan pikiran untuk menjadi orang biasa, to be an ordinary person.

Mampu membebaskan diri dari ego jabatan, bersedia mengolah diri dan mengembangkan kompetensi secara terus-menerus sesuai tantangan dan perubahan. Menjadi orang biasa dengan hasil extraordinary lebih menarik kan, dibandingkan seolah-olah jadi orang istimewa tapi hasilnya rata-rata?

Dalam buku Good to Great, Jim Collins mendeskripsikan dengan gamblang para eksekutif yang rendah hati, penampilan biasa-biasa saja, tidak banyak publikasi di media bisnis, bahkan dipandang sebelah mata oleh sejawat mereka, namun kemudian berhasil menakhodai bahtera bisnis menjadi perusahaan-perusahaan yang harga sahamnya tumbuh terus sepanjang belasan tahun.

Jim Collins menyebut mereka para Level 5 Executivebuilds enduring greatness through a paradoxical blend of personal humility and professional will. Mereka layak diteladani. Mereka orang-orang biasa dengan prestasi extraordinary.

Mereka sungguh sangat jauh dari kecenderungan pimpinan yang bertabiat suka membanggakan masa lalu dan gemar menceritakan beban kesibukannya untuk unjuk gigi sebagai orang penting – yang sebenarnya merupakan upaya mengelak dari tanggung jawab untuk menentukan prioritas dan fokus.

Metode pengembangan kepemimpinan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching sudah lebih dari 25 tahun  proven membantu ribuan eksekutif di organisasi-organisasi hebat di banyak negara untuk meraih prestasi sebagaimana Level 5 Executive.

Prosesnya melibatkan Stakeholders, menempuh tujuh tahap, meminta para leaders membuktikan tiga kebajikan: courage (berani berubah, a strong professional will), humility (mengakui ketidaksempurnaan diri), dan discipline(follow up untuk membuktikan perilaku berhasil jadi lebih efektif sesuai perspektif para stakeholders). 

Saran untuk para eksekutif dan leaders agar lebih fokus dan berhasil meraih goal adalah dengan menjadwalkan hal-hal yang diprioritaskan dan penting dilakukan, bukan mementingkan jadwal. Jika upaya mengasah kompetensi menjadi leader agar jadi lebih efektif merupakan urusan penting, investasikanlah waktu untuk itu.

Kata Abraham Lincoln, satu dari beberapa Presiden AS yang berprestasi gemilang: “Give me six hours to chop down a tree and I will spend the first four sharpening the axe.” Bisnis adalah intellectual sport, perlu ada waktu mengolah pikiran, stretching mental, mengatur strategi lebih baik dan melangkah lebih taktis.

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader of the Future Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(www.nextstageconsulting.co.id)   

 

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler