x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cendekiawan yang Terpikat Kekuasaan

Para cendekiawan masa kini dihadapkan pada tantangan untuk berani memerdekakan diri dari kekuasaan dan kembali membimbing masyarakatnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ketika menyusuri rak buku koleksi, mata saya tertumbuk pada dua buku yang terletak bersebelahan. Buku pertama diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (atau lebih populer waktu itu sebagai LP3ES) pada 1983 (atau 35 tahun yang silam) dengan judul Cendekiawan dan Politik, sedangkan buku kedua yang berjudul Pengkhianatan Kaum Cendekiawan diterbitkan pada 1997 oleh Gramedia.

Menarik bahwa kedua buku itu mendiskusikan tema serupa: tautan cendekiawan dengan politik dan kekuasaan. Kedua buku juga disertai kata pengantar yang ditulis oleh orang yang sama, yakni Wiratmo Soekito—wong Solo yang pernah belajar di Jurusan Filsafat Universitas Nijmegen, Belanda, dan konseptor Manifes Kebudayaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam pengantar buku Cendekiawan dan Politik, Wiratmo menyebutkan bahwa selama tahun-tahun 1958-1966, para cendekiawan Indonesia menulis dan berbicara tentang masalah-masalah intelektual, antara lain mengenai kebebasan kaum intelektual. Menurut Wiratmo, seorang manusia dapat saja hidupnya ditindas, tapi kebebasannya tidak. Bahkan, manusia punya kebebasan untuk mengkhianati hati-nuraninya sendiri, dan ini berlaku pula bagi para cendekiawan tanpa kecuali.

Wiratmo kemudian menyinggung percakapannya dengan sejumlah wartawan Belanda mengenai situasi pemerintahan Sukarno. Mereka, tutur Wiratmo, mengatakan bahwa ada seorang cendekiawan terkemuka yang dikenal sebagai pemikir brilian kini tidak bebas lagi berbicara, sebab ia sudah terlampau pro-Sukarno.

Perdebatan tentang tautan kaum cendekiawan dengan politik dan kekuasaan memang sudah berlangsung lama, namun pada tahun-tahun itu perdebatan berlangsung lebih intensif. Salah satu pandangan yang mengemuka ialah bahwa cendekiawan boleh saja masuk ke dalam lingkaran kekuasaan, tapi ia harus tetap menjaga diri agar tidak terlampau dekat dengan pusat kekuasaan. Sebab, ketika ia terlampau dekat, ia akan kehilangan daya kritisnya terhadap kekuasaan, bahkan mungkin terpikat dan menikmati turut duduk enak di kursi kekuasaan.

Dalam konteks inilah, kedua buku tersebut memiliki relevansinya dengan situasi sekarang. Buku Cendekiawan dan Politik memuat tulisan sejumlah cendekiawan Indonesia terkemuka, seperti Soedjatmoko, Y.B. Mangunwijaya, Arief Budiman, Selo Soemardjan, Alfian, dan Dorodjatun Kuntojoro-Jakti. Secara khusus patut dibaca tulisan Mohammad Hatta, cendekiawan yang berjuang sejak muda dan cukup lama duduk di pemerintahan hingga akhirnya ia sampai di persimpangan jalan: mengundurkan diri dari kekuasaan atau bertahan dalam lingkaran kekuasaan dan mengingkari hati-nuraninya.

Hatta memilih menarik diri dari kekuasaan ketika Sukarno, teman seperjuangannya sedari muda, mendeklarasikan Demokrasi Terpimpin. Hatta menjadi salah seorang pengecam utama Demokrasi Terpimpin dan mengritik sikap kaum intelektual Indonesia selama tahun-tahun 1958-1966. Di masa itu, menurut Hatta, kaum intelektual melakukan hal-hal yang bertentangan dengan fungsi mereka sebagai kaum intelektual. Misalnya, menjadi cendekiawan yang dapat ‘disewa’ oleh para penguasa.

Apakah kritik Hatta kepada kaum cendekiawan itu masih berlaku di masa sekarang? Rasanya agak sukar untuk menampiknya. Kita dapat bertanya: Ketika masyarakatnya terombang-ambing oleh berbagai kepentingan politik dan ekonomi sebagian orang, di mana suara kaum cendekiawan? Ketika masyarakat kehilangan orientasi dalam melangkah ke masa depan, di manakah para intelegensia yang mengemban amanah sejarah untuk menunjukkan jalan? Mengapa kehidupan masyarakat semakin sunyi dari percakapan kaum intelektual yang mencerahkan? Apakah mereka benar-benar terpikat kekuasaan dan merasa nyaman di dalamnya sekalipun menyaksikan masyarakatnya mengalami kesukaran hidup?

Hatta mungkin merasakan adanya kebenaran pada apa yang ditulis Julien Benda dalam bukunya, Pengkhianatan Kaum Cendekiawan (Gramedia, 1997). Ketika karya itu terbit dalam bahasa aslinya, La Trahison des Clercs (1927), Hatta berusia 25 tahun. Inti tuduhan Benda kepada kaum terpelajar, menurut Hatta, ialah bahwa mereka tidak memberi petunjuk dan memberi pimpinan kepada perkembangan hidup kemasyarakatan, tapi malah menyerahkan diri kepada golongan yang berkuasa yang memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing.

Di masa sekarang, kaum cendekiawan terlihat asyik menikmati kedekatan dengan kekuasaan dan mengabaikan kondisi masyarakat yang melahirkannya. Mungkinkah para cendekiawan kita juga telah kehilangan orientasi lantaran berhadapan dengan kekaburan mengenai apa yang harus jadi pegangan di tengah begitu banyaknya paradoks. Apakah kaum cendekiawan kita juga telah menjadi ‘sama awamnya seperti kaum awam’, sebagaimana dikatakan Julien Benda.

Tantangan besar yang dihadapi kaum cendekiawan di masa sekarang ini adalah hati nuraninya sendiri. Para cerdik pandai perlu segera memerdekakan diri dari keterikatan dengan kekuasaan bila tidak mampu memengaruhinya. Dengan cara ini, para cendekiawan dapat kembali menunaikan peran dan fungsinya dalam membimbing masyarakatnya tanpa kaki-kakinya terikat oleh kekuasaan. Memang dibutuhkan kerelaan untuk melepas kuasa. Seperti ditulis oleh Soedjatmoko dalam  Cendekiawan dan Politik, “Kemerdekaan yang dirindukannya (kaum cendekiawan) dan dibutuhkannya demi memberi kemungkinan kepadanya untuk menjalankan fungsinya sebagai seorang cendekiawan haruslah diperjuangkannya sendiri.”

Pada akhirnya, para cendekiawan dapat memilih untuk tetap ikut menikmati kursi kekuasaan tanpa mampu memanfaatkannya untuk mewujudkan ide-ide baiknya bagi masyarakat atau memilih pulang kembali kepada hati nuraninya sendiri. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB