x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Capaian Artistik Buku-buku Abad Pertengahan

Di suatu masa, penerbitan buku mencapai tataran artistik yang tinggi. Unsur visual buku sangat diperhatikan melebihi masa sekarang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di masa lampau, buku bukanlah sekedar himpunan teks dan gambar yang dijilid, melainkan sekaligus merupakan karya seni. Di masa Abad Pertengahan, umpamanya, buku dibuat dengan melibatkan seniman agar halaman-halaman buku tampil memukau pembaca. Bukan hanya kualitas materi bacaannya, melainkan juga sajian visualnya. Unsur visual ini penting untuk memikat calon pembaca maupun kolektor buku.

Perancang buku memainkan peran penting dalam penerbitan. Mereka mendesain sampul maupun halaman dalam. Seniman dilibatkan untuk menulis, menggambar, maupun mewarnai halaman-halaman buku. Ornamen, pilihan jenis huruf, maupun warna berkontribusi agar buku terlihat menawan. Keprigelan ‘juru tulis’ dan kemampuan dalam membuat ilustrasi serta pewarnaan tidak bisa diabaikan oleh penerbit buku di Abad Pertengahan dan masa-masa sebelumnya, khususnya pada masa kejayaan ilmu pengetahuan sarjana Muslim ketika produktivitas ilmiah mereka mencapai puncaknya. Dalam hal pendekatan artistiknya, para sarjana Eropa Abad Pertengahan agaknya terilhami oleh buku-buku yang ditulis para sarjana Muslim ini. 

Buku-buku masa itu diperkaya dengan ilustrasi, sketsa, kaligrafi, motif-motif dekoratif, maupun gambar bunga dan tanaman. Warna-warna emas, perak, merah, atau yang lain menjadi pilihan untuk membuat halaman buku tampil menarik. Huruf pertama bab atau sub bab juga kerap ditulis dengan dekoratif. Inilah pekerjaan yang menjadi tanggung jawab desainer dan seniman yang meranngkap ‘juru tulis’, sebab penulis buku yang namanya tercantum di sampul tidak akan menulis sendiri naskahnya. Mereka berutang budi kepada para seniman ini.

Boleh dibilang, salah satu unsur pokok yang membedakan kitab-kitab yang terbit sebelum era mesin cetak dan sesudahnya terletak pada pencapaian artistiknya. Di masa lampau, beberapa abad yang silam, terdapat perhatian lebih pada unsur artistik buku sehingga sebuah buku mampu berdiri sendiri sebagai benda seni. Di era modern hingga digital ini, perhatian terhadap unsur desain dan artistik memang tetap besar, tapi mungkin tidak sebesar di masa pra-mesin cetak ketika buku masih ditulis, diberi ilustrasi, serta dijilid dengan tangan atau manual.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beberapa sumber menyebutkan, di balik terbitnya sebuah manuskrip telah berlangsung proses fisik yang melelahkan. Misalnya, orang harus menulis tangan sepanjang 200 halaman buku dengan tulisan Latin yang indah (mungkin dapat dibayangkan bahwa hingga menjelang tahun 1990an atau mungkin malah pergantian milenium, di sini ijazah sekolah masih ditulis indah dengan tangan untuk kolom nama dan tanggal lahir—ini saja hanya satu halaman, bagaimana jika 200 halaman?). Begitu pula, sampul yang terbuat dari kulit hewan harus diolah lebih dulu hingga dapat digunakan: dibersihkan dari bulunya, direndam dalam larutan tertentu, dikeringkan dan diregangkan, hingga kemudian dapat ditulis dan digambari dengan alat dan bahan tinta tertentu.

Diperlukan pengetahuan tentang sains kimia, khususnya dalam mengolah bahan-bahan kulit dan kertas, membuat tinta berwarna, hingga bagaimana agar buku tetap awet selama bertahun-tahun. Ahli kimia dilibatkan untuk melakukan eksperimen campuran bahan-bahan yang berbeda. Bukan hanya bahannya apa, tapi juga bagaimana cara mencampurnya. Mereka berusaha menemukan campuran yang tidak mudah luntur, tapi juga tidak tembus ke halaman sebaliknya.

Tanpa kemajuan sains kimia, penampilan buku tidak akan menggoda pembaca dan kolektor, serta tidak akan sanggup bertahan berpuluh bahkan hingga beratus tahun. Banyak pigmen warna yang tidak sepenuhnya berasal dari alam, melainkan harus diolah lebih dulu melalui proses kimiawi. Ahli-ahli kimia mengeksplorasi bagaimana material berinteraksi dan berubah jika dipertemukan dengan material lain. Mereka melakukan percobaan pada beraneka bahan untuk menemukan ramuan warna yang tepat.

Salah satu hal yang membedakan buku-buku kuno dibandingkan dengan buku-buku yang dicetak di era modern ialah kemampuannya untuk bertahan terhadap perubahan cuaca, kondisi ruangan, maupun cara penyimpanan. Banyak buku yang telah berusia puluhan tahun tidak mengalami kerusakan yang berarti bila dibandingkan dengan buku-buku baru yang kertasnya mudah berubah warna, cetakannya lekas pudar, maupun jilidnya gampang lepas. Agaknya, kemodernan tidak selalu bermakna keunggulan. Dalam hal pencapaian artistik, buku-buku kuno lebih menawarkan kelebihan dibandingkan dengan buku-buku cetak sekarang maupun buku-buku digital. (Gambar: Halaman buku kedokteran karya sarjana Muslim abad ke-12 Masehi; sumber muslimheritage) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler