x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Misteri Supersemar di Antara Tafsir Sejarah

Tahun ini, sangat sedikit percakapan maupun pemberitaan tentang peristiwa 11 Maret 1966 maupun peringatannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Tahun ini, sangat sedikit percakapan dan pemberitaan tentang peristiwa 11 Maret 1966 maupun peringatannya. Tanggal ini berlalu begitu saja seolah tidak ada lagi yang ingat tentang Supersemar (Surat Perintah 11 Maret). Peringatan tentang peristiwa yang terjadi pada tanggal ini telah kehilangan momentum, seakan-akan telah pula memasuki lorong sejarah karena cenderung dilupakan.

Pepatah lama mengatakan: “Sejarah ditulis oleh pemenang.” Jika melihat Supersemar dari sudut kekinian, pepatah itu sungguh berlaku, sebab selama ini segala sesuatu yang terjadi atau dianggap terjadi pada 11 Maret 1966 adalah sejarah yang ditulis oleh pemenang dalam konflik politik, yang kemudian melahirkan Orde Baru. Ketika Orde Baru tidak lagi berkuasa, digantikan oleh apa yang disebut sebagai orde reformasi dengan penguasa yang silih berganti, maka Supersemar pun tidak memperoleh perhatian sebesar sebelumnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam sejarah masyarakat bangsa manapun, ada momen-momen historis yang dipersengketakan kebenarannya, bahkan perbedaan ini berlangsung hingga beberapa generasi kemudian. Tidak mudah bagi masyarakat bangsa manapun untuk bersepakat mengenai peristiwa historis tertentu yang kontroversial. Situasi ini kita hadapi pula, bukan hanya terkait dengan apa yang disebut Supersemar, tapi juga dalam peristiwa lain yang dianggap penting: Serangan Umum 1 Maret, peristiwa 30 September 1965, peristiwa Rengasdengklok, dan banyak lagi.

Dalam sejarah masyarakat bangsa manapun, pemenang konflik seringkali—bila bukan selalu—menulis sejarah menurut versinya. Yang kalah jangan berharap dapat menulis sejarah menurut sudut pandangnya sendiri, kecuali di bawah tanah. Pemenang akan menguatkan klaim-klaim historisnya dengan cara-cara tertentu, sedangkan yang kalah hanya dapat bersembunyi dan menahan diri hingga waktunya tiba untuk menulis sejarah versinya sendiri.

Rekonstruksi peristiwa bersejerah memang menghadapi beragam tantangan, di antaranya sumber-sumber mana yang diambil, data apa saja yang digunakan, bagaimana rekonstruksi itu dilakukan, hingga penafsiran atas hasil rekonstruksi itu. Jikalaupun sebuah peristiwa historis telah direkonstruksi, selalu saja ada pihak yang tidak terpuaskan. Begitu pula, hasil rekonstruksi itupun lazim digunakan menurut kepentingan masing-masing. Sudah jamak bahwa pihak tertentu mengambil ‘sejarah’ versi tertentu, pihak lain mengambil ‘sejarah’ yang berbeda.

Apapun hasil rekonstruksi maupun tafsirnya, serta apakah tetap diingat atau dilupakan oleh sebagian orang, peristiwa yang kemudian mashur sebagai Supersemar itu hingga kini tetap misterius. Seperti banyak peristiwa bersejarah yang masih ‘gelap’, Supersemar pun sebenarnya memerlukan penjernihan agar bangsa ini mengetahui dan memahami apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal itu, apa yang terjadi ketika negeri ini dalam keadaan genting. Banyak cerita di seputar tanggal itu, dan sayangnya cerita itu berbeda-beda.

Para pelaku sejarahnya, seperti yang kerap disebut-sebut, antara lain Letjen Suharto, Brigjen Amir Machmud, Brigjen Basuki Rahmat, dan Brigjen M. Jusuf maupun Presiden Sukarno tidak pernah mengungkapkan secara rinci apa yang sesungguhnya terjadi pada 11 Maret 1966 malam. Akurasi mengenai peristiwa itu sukar dicapai karena ada beragam versi. Merekonstruksi peristiwa ini secara akurat juga tidak mudah, bukan hanya karena surat perintah yang asli kabarnya sudah hilang, tapi—ya, itu tadi—selalu ada kepentingan yang mendompleng pada upaya rekonstruksi semacam itu.

Sayang memang, para pelaku sejarah peristiwa ini telah membawa mati kesaksian mereka dan meninggalkan misteri bagi bangsa ini. Hingga kini, 52 tahun kemudian. Bahkan, mungkin hingga entah kapan, peristiwa yang membuka jalan bagi pergantian kekuasaan ini akan tetap jadi misteri. (Foto: Suharto dan Sukarno) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB