x

Iklan

cheta nilawaty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gubernur Saja Bilang, Jakarta Tidak Ramah Disabilitas

Masih banyak infrastruktur pendukung sarana transportasi publik tidak dapat diakses penyandang disabilitas

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sabtu siang 10 Maret 2018 , para penyandang disabilitas dari komunitas Jakarta Barrier Free Tourism (JBFT), berkesempatan melakukan dialog dengan Gubernur mengenai tata kelola infrastruktur yang ada di Jakarta. Dalam dialog itu, Gubernur Jakarta mengakui bila infrastruktur di Jakarta tidak ramah bagi penyandang disabilitas. “Tadi saya berjalan di trotoar dan mengalami langsung bagaimana sulitnya teman teman berjalan, bukan masalah teknis mendorong kursi roda yang membuat lelah, melainkan yang lebih berat beban mentalnya ketika harusmerintangi infrastruktur yang tidak ramah,” ujar Anies di salah satu ruangan di Perpustakaan Nasional, Medan Merdeka, Jakarta Pusat.

 

Siang itu, apa yang dialami Gubernur brjalan sambil mendorong kursi roda dari depan Djakarta Theatre menuju Perpusnas adalah sepertiga “cobaan” yang dialami teman teman disabilitas. Sebelum bertemu dengan Gubernur, JBFT dan saya coba menelusuri transportasi publik dan infrastruktur pendukungnya dari Stasiun Palmerah Barat, menuju Stasiun Tanah Abang, kemudian menuju Halte Transjakarta Jati Baru dan berakhir di Halte Transjakarta Sarinah. Dari Halte Transjakarta Sarinah, kami baru berjalan kaki bersama Gubernur menuju Perpusnas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Pada penelusuran tersebut , banyak sekali pendukung infrastruktur publik yang tidak dapat digunakan penyandang disabilitas. Misalnya, guiding block yang tidak terpasang lurus sejajar dan mengarahkan ke titik titik yang salah. Misalnya, guiding block mengarah ke parit atau tiba-tiba terputus. Bahkan banyak titik-titik trotoar yang di bagian tengah guiding blocknya terdapat pot atau berdiri tiang listrik.

 

Trotoar di sekitar sarana transportasi publik seperti stasiun, halte Transjakarta dan jalan protokol seperti di Jaalan M.H. Thamrin juga masih tidak ramah pada pengguna kursi roda. Trotoar masih dibuat tinggi sekitar 15 cm, tanpa landasan turun di ujung-ujungnya. Tentu, trotoar seperti itu, tidak dapat dipergunakan teman –teman pengguna kursi roda. Bahkan standar paling sederhana berupa guiding block di trotoar sepanjang Djakarta Theatre menuju Medan Merdeka Selatan tidak ada yang terpasang sama sekali.

 

Belum lagi tangga penyebrangan orang yang kadang menjadi transfer gateway menuju sarana transportasi seperti stasiun atau halte Transjakarta. Misalnya di Stasiun Palmerah yang masih menggunakan tangga berundak, bukan landasan bidang miring (ram). Bagi pengguna kursi roda, akses tersebut tidak dapat digunakan. Pengguna kursi roda harus diangkat jika menuju ke stasiun Palmerah. Padahal, di dalam stasiun sudah tersedia fasilitas pendukung seperti lift dan eskalator.

 

Dari semua infrastruktur transportasi yang kami telusuri, kondisi Stasiun Tanah Abang adalah yang paling semrawut. Sebagai stasiun transit, Tanah Abang sangat ramai. Pengguna umum dan disabilitas bercampur baur, sehingga berbahaya bagi keamanan baik pengguna umum maupun pengguna disabilitas. Walau Llantai di stasiun ini sudah dilengkapi guiding block, sarana pendukung ini tidak dapat memberi petunjuk yang jelas bagi penggunanya. Banyak karet guiding block yang terkelupas dan  malah ikut membahayakan pengguna dari kalangan non disabilitas.

 

Bagi saya, sebaiknya untuk sarana umum yang merupakan titik transit transportasi publik, sebaiknya dibuatkan jalur khusus yang sifatnya memotong jarak (shortcut). Ruang yang dipergunakan tidak perlu terlalu besar, namun memberikan akses yang lebih privat bagi pengguna disabilitas. Misalnya, dapat dibuatkan jalur khusus selebar kursi roda dengan pembatas fiber glass transparan antara batas pengguna umum dan disabilitas.

 

Mengapa jalur khusus? Tentu agar pengguna dari kalangan umum tidak terganggu mobilitasnya. Sebab biasanya, pengguna disabilitas memiliki mobilitas yang lebih lambat. Jalur khusus juga mencegah pengguna umum menabrak pengguna disabilitas, maupun sebaliknya.

 

Sementara itu, perlu batas ruang yang dibuat transparan agar mencegah tindak kriminal sekaligus memberi edukasi bagi pengguna umum memahami jalur khusus hanya diperuntukkan bagi pengguna disabilitas. Dengan begitu, pengguna disabilitas dan pengguna umum dapat mengakses transportasi publik tanpa saling terhambat.

 

“Kami jugapunya hak untuk mandiri dan mengakses transportasi publik, kami bukan tidak mampu mengakses sarana umum ini, tapi negara yang belum memenuhi tugasnya menyediakan sarana yang akses bagi kami, sebab kami sama seperti warga negara lainnya, kami bagian dari keanekaragaman manusia yang memiliki keunikan masing-masing,” ujar inisiator JBFT, Cucu Saidah.

Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

1 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB