x

Hawking: Alien Cerdas Dapat Hancurkan Umat Manusia

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Materialisme Hawking dan Berpulangnya Seorang Ateis

Hawking memilih interpretasi materialistik yang ia yakini dan ia berpulang membawa serta keyakinannya itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di awal 1970an, teori lubang hitam sedang naik daun. Lubang hitam (black hole) adalah istilah yang ditemukan kosmolog AS, John Wheeler (1969), untuk “bintang-bintang yang mengalami keruntuhan gravitasi sempurna.” Di Moskow, Pasadena, Princenton, dan Cambridge, istilah ini pun segera jadi populer.

Stephen Hawking, yang batal melakukan riset doktoralnya di bawah Fred Hoyle, penemu istilah Big Bang (Dentuman Besar) pada 1949, mulai bekerja di bawah arahan Denni Schiama. Sebagai bukan matematikawan murni, Hawking menerapkan teknik matematika yang diperkenalkan fisikawan Roger Penrose untuk mempelajari lubang hitam. Penrose sendiri kemudian berusaha mencari jawaban atas pertanyaan “bagaimana kita berpikir” dan “apa yang menjadikan kita manusia” (dua kitabnya: The Emperor’s New Mind dan Shadows of the Mind).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menjelang kelumpuhannya, Hawking mulai menonjol dalam kosmologi, khususnya lubang hitam. Alih-alih memakai tangan untuk menulis dan menggambarkan gagasannya, Hawking mulai beradaptasi untuk menggunakan gambaran mentalnya. Ia berusaha menyatukan teori relativitas mengenai gravitas dan fenomena skala besar dengan teori kuantum mengenai partikel sub-atom.

Dari coretan-coretan yang berlangsung di benaknya saja, Hawking melahirkan Hukum Pertambahan Luas pada permukaan lubang hitam. Bunyinya: “Luas permukaan suatu lubang hitam hanya dapat tetap sama atau bertambah, tetapi tidak pernah berkurang.” Ilham tentang ide ini muncul tiba-tiba. “Begitu hebat pengaruh ini sehingga saya terjaga hampir semalaman,” tutur Hawking.

Pernyataan “tidak pernah berkurang” dalam rumusan Hawking itu mengingatkan pada besaran entropi dalam Hukum Termodinamika II. Entropi (ketidakteraturan) suatu sistem hanya dapat tetap sama atau meningkat, tetapi tidak pernah berkurang (jika sistem itu terisolasi dan dibiarkan mencapai kesetimbangan). Ludwig Boltzmann, fisikawan Austria, pada 1878, mendefinisikan entropi sebagai banyaknya kemungkinan dalam melakukan penyusunan molekul. Misalnya, jika suatu keadaan mempunyai banyak cara yang berbeda untuk menyusun molekul-molekulnya, sistem itu mempunyai entropi yang besar.

Ketika benda mencapai kesetimbangan termal, benda itu mempunyai suhu tertentu dan karenanya memancarkan radiasi serta mengalami pertukaran energi dengan lingkungannya. Tapi, ketika itu umum orang berpendapat, lubang hitam tidak mungkin memancarkan apapun. Segala sesuatu bisa jatuh ke dalam lubang hitam, tak ada yang mampu keluar darinya. Cahaya sekalipun.

Namun Jacob Bekenstein, mahasiswa pascasarjana yang dibimbing kosmolog John Wheeler, berpendapat bahwa lubang hitam mempunyai entropi dan ini mungkin berkaitan dengan hukum pertambahan luas permukaan lubang hitam yang ditunjukkan Hawking. Bekenstein lalu menulis makalah singkat yang mengidentifikasi luas permukaan lubang hitam sebagai entropi lubang hitam.

Mula-mula, Hawking menganggap mahasiswa itu telah menyalahgunakan teorinya. Namun pikiran Hawking mulai terusik setelah ia bersama James Bardeen dan Brandon Carter menemukan hukum yang mengatur evolusi lubang hitam berdasarkan relativitas Einstein. Hukum mekanika lubang hitam ini secara mengejutkan mirip dengan hukum termodinamika. Namun mereka ketika itu menganggapnya kebetulan belaka. Lain halnya bagi Bekenstein, ia menganggap penemuan hukum tersebut memperkuat pendapatnya bahwa luas permukaan lubang hitam adalah entropinya.

Kekukuhan pendapat Bekenstein itu mulai menggoyahkan Hawking. Ia lalu menelaah apa yang bisa terjadi di permukaan lubang hitam dengan memakai prinsip ketidakpastian Heisenberg yang meramalkan bahwa energi muncul dan lenyap secara bergantian dalam skala waktu yang ditentukan oleh skala Planck (10 pangkat minus 33). Dengan persamaan Einstein E=mc2, energi ini diubah menjadi partikel dan antipartikel yang secara silih berganti muncul dan lenyap.

Dalam telaah inilah, Hawking menggabungkan mekanika kuantum dan relativitas umum dalam rumusan tunggal untuk pertamakalinya (1974). Dari sinilah ia berkesimpulan bahwa lubang hitam tidak sepenuhnya hitam, tapi memancarkan radiasi—Bekenstein benar, rupanya. Jadi, lubang hitam bukan hanya mempunyai entropi, tapi juga memiliki suhu dan mematuhi hukum termodinamika klasik yang ditemukan Boltzmann pada akhir abad ke-19.

Temuan ini diakui sebagai amat penting. Hanya beberapa pekan setelah tulisan tentang radiasi lubang hitam diterbitkan, Hawking menerima gelar kehormatan akademik tertinggi Inggris. Di usia 32 tahun, ia diangkat menjadi anggota Fellow of the Royal Society. Ia diundang untuk melakukan riset di Caltech, Pasadena, AS. Ketika itulah Hawking menerima surat pemberitahuan dari Vatikan bahwa ia dipilih oleh Akademi Sains Vatikan untuk menerima medali Paus Paulus XI. Penghargaan ini mulai menggeser riset Hawking dari lubang hitam ke permulaan alam semesta, dengan Dentuman Besar sebagai tesis yang diminati Gereja Katolik Roma.

Namun sejarah kemudian mencatat bahwa Hawking bergerak menjauhi harapan Vatikan. Penafsiran Richard Feynman, jenius fisika dari AS, atas teori kuantum melahirkan apa yang disebut sebagai “sum over histories”. Model kuantum menyebutkan, partikel dikatakan tidak memiliki posisi yang pasti sepanjang waktu antara titik awal dan titik akhir dalam suatu eksperimen. Dalam tafsiran Feynman, kita tak bisa menafsirkan demikian, melainkan bahwa partikel mengambil setiap jalur yang mungkin yang menghubungkan kedua titik itu.

Kesimpulan Feynman: suatu sistem bukan hanya memiliki satu sejarah, melainkan memiliki setiap sejarah yang mungkin. Ini gagasan yang radikal, bahkan bagi banyak fisikawan. Dalam teori Newtonian, masa lalu diasumsikan ada sebagai serangkaian peristiwa yang pasti. Menurut fisika kuantum, alam semesta memiliki bukan hanya satu masa lalu, melainkan banyak. Semesta bukan hanya memiliki eksistensi tunggal, tetapi setiap versi yang mungkin dari semesta ada secara simultan dalam apa yang disebut quantum superposition.

Penafsiran Feynman inilah yang membangkitkan semangat Hawking untuk memperbaiki teorinya. Dalam sejarah sains, kita telah menemukan serangkaian teori atau model yang lebih baik dan lebih baik, sejak Plato hingga teori klasik Newton sampai teori-teori kuantum modern. “Akankah rangkaian ini akhirnya mencapai suatu titik akhir, teori pamungkas tentang semesta, yang akan mencakup seluruh gaya dan memprediksi setiap observasi yang kita lakukan, ataukah kita akan terus selamanya menemukan teori-teori yang lebih baik, tetapi tidak pernah menemukan satu teori yang tak bisa diperbaiki lagi?” tulis Hawking dalam bukunya, The Grand Design.

“Kita belum memperoleh jawaban definitif atas pertanyaan ini,” tulis Hawking, “tapi kita sekarang memiliki calon bagi teori pamungkas tentang segala hal, jika memang ada, yang disebut teori-M.” Bagi Hawking, Teori-M adalah satu-satunya model yang memiliki seluruh sifat yang harus dimiliki oleh teori yang final. Dan ini melibatkan 10 dimensi ruang dan satu dimensi waktu—bayangkan!

Dengan berpijak pada penafsiran Feynman, Hawking mengatakan, menurut teori-M, semesta kita tidaklah tunggal. Gagasan seperti ini di masa lampau pernah dilontarkan oleh Fakhr al-Din al-Razi (1149-1209), yang menolak konsep geosentris Ptolemeus, yang berarti mendahului Copernicus maupun Kepler dan Galileo. Sekitar 800 tahun yang silam, Al-Razi menyebutkan bahwa alam semesta ini tidak tunggal dan sangat banyak.

Namun, berbeda dengan al-Razi yang menyimpulkan adanya pencipta bagi keajaiban semesta yang luar biasa itu, pencarian Hawking berujung pada kesimpulan bahwa penciptaan alam semesta tidak memerlukan intervensi sesuatu yang supernatural atau tuhan. Semesta yang banyak ini muncul secara alamiah dari hukum fisika. “Masing-masing semesta memiliki banyak sejarah yang mungkin dan banyak keadaan yang mungkin pada masa-masa yang kemudian, misalnya, pada masa seperti sekarang, jauh sesudah terciptanya mereka. Semesta adalah prediksi sains.”

Itulah klaim yang lebih deterministik dibanding pernyataannya dalam bukunya yang populer, A Brief History of Time. “Apabila semesta ada titik awalnya, kita dapat mengira ada penciptanya. Namun, seandainya semesta benar-benar mandiri, tidak memiliki batas atau titik ujung, semesta tidak memiliki awal maupun akhir, maka semesta hanyalah sekedar ada. Bila demikian, di mana tempat bagi Sang Pencipta?”

Scientific determinism, yang beberapa kali ditegaskan oleh Hawking, tidak memberi tempat bagi tuhan. Dalam sejarah perdebatan sains-agama, ini bukan hal baru. Charles Darwin telah memulainya, dan pandangannya diwarisi dengan penuh keyakinan oleh Richard Dawkins (The Selfish Gen dan A Devil’s Chaplain). Namun, Dawkins meyakini, pemain utama dalam evolusi adalah gen, bukan individu organisme seperti dinyatakan Darwin. Seperti halnya Hawking, Dawkins menggusur peran tuhan dalam penciptaan ini.

Sebagian ilmuwan, meskipun meyakini keberadaannya, memang enggan melibatkan tuhan ke dalam arena sains, seperti diwakili Peter Woit, fisikawan dari Universitas Columbia, AS, ketika menanggapi terbitnya The Grand Design, “Saya lebih suka pada naturalisme dan tidak melibatkan Tuhan dalam fisika.” Fisikawan seperti Paul Davies memilih posisi yang berseberangan dengan Hawking (The Mind of God dan God and the New Physics). Memang ada banyak posisi dalam menanggapi perkembangan sains (fisika, biologi, matematika, atau apapun), dan posisi Hawking adalah salah satunya.

Pada akhirnya ini adalah perkara interpretasi, dan Hawking memilih interpretasi materialistik yang ia yakini. Ia berpulang membawa serta keyakinannya itu. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB

Terkini

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB