x

Iklan

Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Penggusuran: Ahok-Ridwan Kamil Sama Saja Pelanggar HAM

Menilik kasus penggusuran warga miskin kota yang marak terjadi dibeberapa kota lantas bagaimana relevansinya antara HAM warga dan penguasa kota.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penggusuran Warga Stasiun Barat, Bandung (26 July 2016). Foto Frans Ari Prasetyo

 

Menilik kasus-kasus penggusuran hunian warga miskin kota yang marak terjadi dibeberapa kota, maka  apakah "relokasi"/ penggusuran akan meningkatkan standar kehidupan warga atau malah memerosotkannya. Standar hidup yg paling relevan utk kasus ini adalah "hak atas perumahan yang layak dan tenurial security". Standar ini sudah dikodifikasi dalam berbagai instrumen hak asasi manusia. Republik Indonesia sudah berkomitmen terhadap standar HAM yang berlaku dalam wacana internasional. Bahkan dalam konteks kota, terdapat beberapa kota yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai kota Ramah HAM melalui klaim penguasanya, salah satunya kota Bandung melalui deklarasi walikotanya, Ridwan Kamil dalam perayaan Konferensi Asia Afrika tahun 2015.

Penggusuran yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung di Jakarta melalui kerja tangan rezim penguasanya, yaitu Ahok dan di Bandung melalui Ridwan Kamil telah memberikan gambaran bagaimana hukum dan keadilan warga telah dilanggar, maka atas dasar ini pemerintah melalui komnas HAM mendapatkan laporan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM terhadap warga. Untuk Jakarta, dapat dilihat dari kasus yang terjadi di Bukit Duri. Warga sedang melakukan upaya keadilan melalui pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk "Class Action" (Gugatan Perwakilan Kelompok). Gugatan ini terdaftar dalam sengketa perkara PTUN no. 26/PDT.G/2016/PN.JKT.Pusat yang diajukan pada 10 Mei 2016 antara warga Bukit Duri RT 03, 05, 08, 09 di RW 10, RT 03 RW 11 dan RT06, 07, 08 di RW 12 dengan PU-BWSCC, Gubernur DKI Jakarta, Walikota Jakarta Selatan.  Warga Bukit Duri sempat memenangkan dalam putusan sela PTUN dan melanjutkan proses sidang. Namun fasisme kota tak mau menunggu. Penggusuran pun dilancarkan (untuk menghilangkan "obyek sengketa". Terkait warga siap atau tidak siap mengalami penggusuran itu, nyatanya pemerintah DKI Jakarta telah mengeluarkan Surat peringatan 1 pada tanggal 10 Agustus 016 yang disusul surat peringatan 2 pada tanggal 7 sept 2016. Surat peringatan ke-3 sempat ada tapi belum lagi warga bersiap melakukan antisipasi karena sedang melaksanakan proses persidangan, tapi penggusuran langsung terjadi. Ahok melakukan tidak menghormati pengadilan dan malah melanggarnya dengan melakukan penggusuran.

Komnas HAM sudah mengajukan permintaan penangguhan rencana penggusuran di RW 09,10, RW 11 dan RW 12 kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah mau menunda pembongkaran hingga adanya keputusan berkekuatan hukum tetap demi menghormati proses hukum. Upaya penangguhan ini, berdasarkan pada Pasal 89 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Komnas HAM melalui surat No. 1.303/K/PMT/IX/2016  pada tanggal 9 September 2016, mengajukan perihal permintaan penangguhan rencana penggusuran RW 10, 11 dan 12, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan yang ditujukan kepada Gubernur DKI Jakarta, Basuki Purnama (ahok) tetapi tidak digublis sebagai sebuah kebijakan hukum yang lain dan Bukit Duri tetap digusur. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kawasan Bukit Duri yang digusur merupakan  kawasan RW 09, 10, 11 dan 12 seluas 1,7 hektare, yang berdiri + 320 bangunan dan ditempati oleh + 384 Keluarga 1.275 jiwa. Hingga pertengahan September 2016 tercatat 270 kepala keluarga (KK) warga Bukit Duri pindah ke rusun Rawa Bebek. Sementara itu, ada 70 unit rusun yang belum diambil oleh warga. Selain itu, ada sekitar 68 Kepala Keluarga (KK) yang menolak untuk direlokasi dan memilih tetap bertahan. 52KK di antaranya punya peta bidang dan 14 lainnya tidak punya peta bidang.

Penggusuran terus berlanjut bahkan bukan hanya menyasar wilayah Bukit Duri yang berhadapan langsung dengan Sungai Ciliwung dengan dalih legalisasi normatif untuk normalisasi sungai tapi terus meluas ke area sebelahnya yang bersinggungan langsung dengan area Depo Kereta Api  yang merupakan domain PT Kereta Api Indonesia (PT. KAI) dan  bukan merupakan domain kerja pemerintah DKI Jakarta. Lalu atas wewenang dan legitimasi apa, pemukiman warga yang bersinggungan dengan PT KA ini turut digusur oleh pemereintah DKI Jakarta. Apakah pemerintah DKI Jakarta sudah melakukan perjanjian (kejahatan) tata ruang di wilayah Bukit Duri ini, seolah sekalian kerja, sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui. Sekali menggusur di kawasan Bukit Duri tepi sungai Ciliwung, maka dua hingga tiga kawasan disekitarnya sekalian saja di gusur tanpa membawa surat perintah dan tidak ada peta bidang penggusuran, sehingga warga tak tahu sampai batas mana penggusuran dilakukan.

Penggusuran yang terjadi di Bukit Duri oleh Ahok itu berarti menunjukan bahwa pemerintah DKI tidak mau menunggu putusan pengadilan, yang artinya bukan hanya tidak menghormati peradilan tapi juga menginjak-injak hak warga yang digusur/ korban gusuran untuk meraih keadilan. Bagaimana bisa, penguasa kota (Ahok) meng-claim dirinya taat konstitusi, jika melakukan pelanggaran konstitisi terkait kasus Bukit Duri.

Hal yang serupa telah terjadi sebelumnya di Kota Bandung. Melalui legitimasi pendisiplinan warga, Ridwan Kamil bersama PT KAI melakukan skema penggusuran Stasiun Barat yang dilakukan secara tiba-tiba di waktu pagi hari, pada tanggal 26 July 2016.  Warga yang terdampak penggusuran sebanyak 57 KK yang dipendahkan ke Rusunawa Sadang setang dan Rancacili yang ternyata tidak semua warga mendapatkannya karena keterbatasan rusun. Hal ini menjadi persoalan baru bagi proses penggusuran yang humanis versi kota Bandung.

Sebelum penggusuran paksa ini, memang terdapat surat peringatan untuk warga untuk pindah, tetapi dalih hukum yang dipegang PT KAI juga tidak clear. Misalnya kalim PT KAI, wilayah tersebut berada di Kelurahan PasirKaliki-Kecamatan Cicendo, sedangkan dalam KTP, KK dan data administrasi warga tergusur sebagai penduduk kelurahan Kebon Jeruk-Kecamatan Andir. Maka soal, disini sudah terjadi perampasan sepihak oleh PT KAI terhadap warga Stasiun Barat yang dilegitimasi oleh pemerintah kota Bandung-Ridwan Kamil.  Dalam komentarnya 29 July 2016 , Walikota Bandung Ridwan Kamil terkait penggusuran warga stasiun barat ini memberikan beberapa solusi, antara lain bantuan upaya hukum kepada warga untuk permasalahn status tanah yang dianggap belum clear, dan hingga saat ini solusi yang ditawarkan pun belum sepenuhnya direalisasikan, sehingga warga melakukan gugatan.   

Sebelumnya, KomnasHAM telah mengirimkan surat pada tanggal 29 Maret 2016, terkait Permohonan Penundaan Eksekusi ditujukan kepada Kepala Daop 2 Bandung PT KAI dan Walikota Bandung, Ridwan Kamil. Namun lagi-lagi, semua dilanggar oleh pemerintah.  Mengingat janji solusi yang tidak kunjung dipenuhi oleh Ridwan Kamil, warga kemudian mengajkan gugatan Ke Pengadilan Negeri Klas 1-A Bandung dengan No. Perkara 380/PDT.G/2016?PN.BDG, antara warga Kelurahan Kebon Jeruk Stasiun Barat Rt02 Rw 03 sebagai penggugat dengan PT.KAI sebagai tergugat pertama dan Walikota Bandung sebagai tergugat kedua.

Terdapat persamaan kasus di Bukit Duri-Jakarta dan Stasiun Barat-Bandung. Di Bukit Duri awalnya hanya terkait isu normalisasi tapi belakangan bersinggungan dengan kepentingan yang bukan wewenang pemerintah DKI Jakarta, yaitu terkait lahan PT. KAI. Hal yang sama terjadi di Stasiun Barat yang secara langsung terkait sengketa lahan antara warga dan PT. KAI.  Perbedaanya, jika di Bukit Duri telah memasuki proses persidangan sebanyak 8 kali lalu dengan mengabaikan itu pemerintah DKI Jakarta tetap melakukan penggusuran, sedangkan jika di Stasiun Barat Bandung, proses pengajuan gugatan sengketa warga baru diajukan setelah 2 bulan mengalami penggusuran. Di Jakarta mapun Bandung, Ahok maupun Ridwan Kamil sebagai legitimasi kekuasaan rezim , telah melakukan tindakan pelanggaran HAM dengan melakukan penggusuran paksa, selebihnya lagi diperparah dengan tidak mengindahkan surat rekomendasi KomnasHAM terkait penangguhan terhadap penggusuran warga.

Berdasarkan UU tentang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, musyawarah yang tulus merupakan salah satu unsur yang wajib dipenuhi oleh pemerintah sebelum melakukan penggusuran. Hal ini sebagai prasyarat utama terkait hidup dan penghidupan warga yang terabaikan bahkan dilanggar oleh pemilik wewenang pengusuran, Ahok di jakarta dan Ridwan Kamil di kota Bandung. Meskipun dalam kelanjutannya terdapat upaya ini, tetapi hak sipil warga telah dilanggar sebelumnya dan menenpatkan warga sebagai entitas yang bersalah dihadapan negara. Bukankah warga merupakan bagian dari terbentuknya sebuah negara?. Dalam skema penggusuran, pemerintah yang juga merupakan bagian dari negara melakukan pengabilalihan wilayah secara sepihak, sedangkan wilayah juga menjadi salah satu faktor terbentuknya sebuah negara. Disini terlihat bagaimana pemerintah telah mengkhianati negara dan hal itu terus berlangsung sepanjang penggusuran masih tetap ada.

Pemerintah Jakarta dan Bandung telah bekerja dengan cara-cara stalinistik terhadap kelas masyarakat bawah dan terlalu kapitalistik terhadap kelas masyarakat atas, serta kelas menengah (ngehek). Hasilnya memang akan menimbulkan image pemimpin atau penguasa yang akan menjadi idol dengan menyiratkan adanya pemujaan dan kekaguman dari kelas lainnya walaupun telah melanggar HAM dan konstitusi. Hal ini wajar terjadi dalam argumentasi liberal yang mencerminkan "preferensi subyektif individual" warga terhadap warga lainnya. Lagi-lagi ini tentang HAM dan kelas masyarakat perkotaan yang berada dalam kerangkeng rezim pemerintahan kota yang semakin fasis.

Yang sedikit membedakan antara Ahok dan Ridwan Kamil pada skema penggusuran ini adalah, Ahok telah menyiapkan tempat relokasi untuk warga Bukit Duri dirusun Rawa Bebek yang menurutnya  layak dan lebih baik dari hunian semula dan hal ini merupakan kebijakan yang telah disiapkan sebelumnya, walaupun bukan sepenuhnya sebagai domain ligitasi Ahok. Jadi ketika penggusuran Bukit Duri terjadi, warga sudah langsung masuk ke Rusunawa Rawa Bebek. Sedangkan untuk Ridwan Kamil, kebijakan rusunnya belum tersedia dan ketika terjadi penggusuran di Stasiun Barat, dengan mudahnya akan dipindahkan ke Rusunawa Sadang Serang dan Rancacili yang notabene merupakan kebijakan dari walikota Bandung sebelumnya, Dada Rosada. Selain itu,  setelah di gusur rusunawa Sadang Serang dan Rancacili ini ternyata tidak mampu menampung warga gusuran paksa dan juga rusun yang tersedia belum layak dihuni, karena terdapat beberapa fasilitas yang kurang memenuhi syarat layak dan bahkan ada yang belum tersedia.

Kejadian penggusuran paksa sebelumnya di kampung Kolase di Bandung yang warganya ditempatkan di rusunawa Sadang Serang, tapi rusunawa tersebut belum siap huni, padahal terdapat 14 point hal yang diajukan warga ketika mereka dianggap rela ‘digusur’, tapi bulum juga terpenuhi bahkan terdapat 5 KK yang menolak mengambil rusunawa dan memilih mengontrak di sekitar lokasi hunian sebelumnya di Kampung Kolase. Untuk Stasiun Barat, setelah digusur baru pemerintah kota menyiapkan skenario ‘humanis’ dengan rencananya diberikan bantuan dan solusi. Terdapat 5 point yang dijanjikan Ridwan Kamil, yang diunggahnya pada tanggal 29 July 2016 tapi hingga saat ini warga terdampak penggusuran belum juga mendapatkannya, sehingga pilihan gugatan ke pengadilan itu muncul.  Jadi logikanya adalah penggusuran harus terjadi dulu untuk kepentingan ublik dan menyenangkan kelas lainnya, urusan warga terdampak sebagai kelas yang lain juga baru belakangan diurus  dan hal ini di amini oleh para pendukung /  fanboi penguasa kota.

Tapi para pendukung kebijakan penggusuran itu memang kelas atas dan menengah (ngehek)  yang melihat orang miskin sebagai pengganggu kenyamanan dan memang sepantasnya digusur dan dighettoisasi seperti pesakitan politik yang kembali lagi seperti di jaman rezim diktator. Hal ini telah menelanjangi nalar riuh demokrasi dan menyebabkan preferensi kelas semakin tajam.  Pendukung pemujaan ini berlindung kepada pemahaman legal formal tetapi buta hatinya dengan mengindahkan HAM warga miskin perkotaan yang jadi korban aksi gusuran oleh Ahok dan Ridwan Kamil yang mendukung kepada kepentingan lainnya sebagai bagian dari rezim pembangunan yang baru. Bukit Duri dan Stasiun Barat hanya contoh kecil dari narasi besar penggusuran kota di Jakarta dan Bandung  yang tengah mengalaminya dan akan terus berlangsung sebagai akselerasi berkelindannya antara penguasa (kota) dan kapital. Maka soal Jakarta-Bandung, Ahok-Ridwan Kamil satu sama, pelanggar HAM.

 

*Tulisan ini terbit pertama kali di www.indonesiapolicy.com (19/10/2016) dengan perubahan tajuk oleh Akhmad Taufik (bang AT) menjadi “Penggusuran : Ahok-Ridwan Kamil sama saja pelanggar HAM”

Ikuti tulisan menarik Frans Ari Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler