x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Bercermin Yuk, Asah Batin, dan Jadi Lebih Efektif

Sukses adalah hak demokrasi semua warga negara, tidak lagi monopoli orang-orang yang dekat lingkaran kekuasaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: Its Time to BE More Effective

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Business and Executive Coach

 

“Happy are they that can hear their detractions and put them to mending.” – William Shakespeare, Much Ado About Nothing

 

Hari ini kata-kata Shakespeare tersebut dapat berwujud sebagai 360° Feedback dalam kegiatan pengembangan kepemimpinan di organisasi. Itu cermin diri yang disampaikan oleh para stakeholders, yaitu orang-orang penting yang terkena dampak langsung dari perilaku dan tindakan-tindakan kita. Mereka adalah direct supports, teman sejawat, atasan, plus keluarga kita.

Bukankah mereka berperan dalam mendukung keberhasilan seorang pemimpin? Stakeholders ibarat deretan tiang-pasak yang menopang tegaknya tiang utama sebuah tenda.

Shakespeare kelihatannya telah memberikan inspirasi bagi para eksekutif dan leaders yang berhasil meraih sukses dan mengijinkan dirinya untuk berkembang lebih hebat. Mereka meyakini dan membuktikan, terbuka menerima masukan dari pihak lain – bahkan masukan pahit dan detracting – akan membuat hidup lebih bahagia dan lebih sukses, going to the next stage. Masukan tersebut diterapkan atau menjadi bahan penimbang menentukan langkah baru, tergantung pada hasil perenungan.

Kata orang bijak, para sahabat sejati adalah yang bersedia menyampaikan kebenaran dan fakta apa adanya.

Perjalanan batin dan intelektual seseorang untuk mencapai tahap legowo, sanggup bercermin secara lebih gamblang tentang dirinya, berbeda-beda. Ada yang berliku, melalui pelbagai drama kehidupan lebih dulu, a hard way learning process. Atau setelah menjalani kehidupan di belahan dunia lain. Ada pula yang secara sistematis mengikuti jalur pendidikan dan selalu menggembleng diri, mengasah kompetensi dalam setiap tahap karir, dan menguji diri di masyarakat.

Tahapan mampu bercermin diri secara lugas tidak tergantung pada usia, gender, suku bangsa, keturunan, jabatan, atau status sosial seseorang. Tapi pada kemampuan menyadari dengan jernih konteks strategis kehadirannya di dunia.

Pembelajaran untuk ke tahap “can hear their detractions and put them into mending”, sebagaimana kata Shakespeare itu, bagi saya sendiri cukup berliku.

Melalui some hard way learning process, sejak berkarir menjadi profesional di grup-grup yang berpengaruh di masyarakat, menjalankan amanah selama lebih dari lima tahun sebagai direktur sebuah perusahaan investasi luar negeri, dan belajar pada orang-orang yang lebih mahir dari berbagai bangsa.

Ditambah menjalani rollercoaster kehidupan, kemudian mengembangkan diri sebagai business coach di Action Coach International, berpraktik dan secara rutin belajar pada para coaches yang lebih senior. Sampai kemudian, melalui salah satu coach, saya mengenal buku Marshall Goldsmith What Got You Here Won’t Get You There (2007). Membahas 20 habit yang dapat mengganjal seorang pemimpin berkembang menjadi lebih efektif.

Buku tersebut ibarat cermin yang memperlihatkan sejumlah flaws diri saya dalam karir, profesi, dan memimpin organisasi bisnis dan non-bisnis. Seperti passing judgement, menilai orang lain dengan memaksakan standard kita. Plus lainnya, dengan kadar berbeda.

Menyadari kenyataan tersebut tentu sangat tidak nyaman. Teganya dulu mendzalimi diri sendiri, dalam kasus tertentu berkata ngawur, bertindak keliru.  

Tapi, seperti kata Jim Collins -- professor pasca sarjana untuk company sustainability and growth, penulis buku Good to Great, Built to Last, dan How the Mighty Fall -- untuk mengembangkan diri kita perlu berani menghadapi “brutal fact”, mengakui fakta getir mengenai diri sendiri dan organisasi.

Langkah pilihan saya selanjutnya adalah membenahi batin dan menambah kompetensi lagi, sampai certified executive coach di Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC).

Salah satu hasil penting dari proses panjang tersebut adalah kemampuan mentertawakan diri sendiri. Itu tercapai setelah tiga kebajikan MGSCC -- yaitu courage (berani menggali diri lebih dalam), humility (mengakui kelemahan dan perlu pertolongan) dan discipline (secara rutin cek dan evaluasi diri) -- saya praktikkan. Itu memerlukan stretching mental, intelektual, fisik, dan finansial.

Setelah melampaui semua itu, saya melihat kekeliruan di masa lalu dengan lebih jernih. Proses pembelajaran tersebut mudah-mudahan memberikan manfaat bagi banyak orang kalau di-share, supaya para pembaca tidak perlu melalui hard way learning dalam proses menjadi pribadi-pribadi yang lebih efektif.

Tulisan-tulisan saya, utamanya di #SeninCoaching ini, adalah bagian dari pengalaman dalam berinteraksi dengan kalangan eksekutif dan pemimpin lebih dari seribu organisasi. Termasuk cerita minggu lalu (#SeninCoaching: Jadilah Orang Biasa untuk Hasil Luar Biasa) – itu cara saya mentertawakan diri sendiri.

Cerita pengalaman pribadi lebih dari 10 tahun silam, yang waktu itu juga sering terlibat heboh, sibuk sana-sini, bahkan akhir pekan lebih banyak di lapangan golf bersama relasi, sehingga ketemu keluarga Minggu sore hari sudah kehabisan energi. Berlagak jadi orang penting, mbagusi, bahkan pernah saat libur Pemilu mendadak harus pergi ke China dan perlu dijemput petugas kedutaan ngurus visa on arrival di Bandara Beijing.  

Mind-set baru mengelola usaha dan perspektif lebih baik memaknai kehidupan, saya peroleh setelah terlibat kegiatan business coaching. By the way, kenapa untuk jadi coach mesti mengikuti proses pembelajaran, pelatihan dan sertifikasi institusi internasional seperti Action Coach dan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching?

Saat kelulusan advanced training skill Action Coach, para coaches ditanya alasan masing-masing mengembangkan kompetensi sebagai coach. Jawaban saya saat itu sama seperti sekarang: “Membantu demokratisasi sukses bagi para pelaku usaha dan pemimpin organisasi bisnis dan non-bisnis di Indonesia. Mengajak  mereka menjadi lebih efektif untuk mampu bersaing global.”

Bukankah ketika zaman Orde Baru kesempatan sukses lebih banyak dipegang kalangan orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan?

Sekarang, pasca reformasi, peluang sukses makin terbuka bagi siapa saja. Dengan mengembangkan kompetensi berdasarkan metodologi sebagaimana yang dipakai oleh para eksekutif organisasi-organisasi yang sukses di negara maju, seperti pengembangan leadership Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching, para pemimpin organisasi di Indonesia dapat lebih percaya diri bersaing di arena global – menjemput peluang dengan kepemimpinan yang lebih efektif.

Ayo kita berani melihat cermin, tatag menghadapi fakta diri, lalu segera berbenah, dan secara konsisten meningkatkan efektivitas kita. Memang perlu stretching untuk berkelahi melawan diri sendiri. Mudah-mudahan Tuhan menolong kita dapat memberikan manfaat lebih baik bagi keluarga, tim kita, para pelanggan, pemasok, dan masyarakat.

Ada baiknya selalu mengingat saran tokoh manajemen modern Peter Drucker: “Our mission in life should be to make a positive difference, not to prove how smart or right we are.” 

 

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader of the Future Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(www.nextstageconsulting.co.id)   

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler