x

Iklan

firdaus cahyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Demonstrasi di TEMPO dan Arus Besar Kultus Individu

Demonstrasi yang terjadi di kantor TEMPO adalah gambaran sekilas fenomena gunung es dari arus besar kultus individu di negeri ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa hari yang lalu, Kantor TEMPO didatangi massa yang mengatasnamakan dirinya dari Front Pembela Islam (FPI). Mereka berdemonstrasi mengecam pemuatan karikatur yang dianggap menghina imam besar FPI Rizieq Shihab. 

Massa meminta Majalah TEMPO meminta maaf atas pemuatan karikatur itu. Bahkan massa sempat mengancam untuk menduduki kantor TEMPO jika tidak ada permintaan maaf. Suasana pun sempat mecekam.

"Kami ingin meminta TEMPO meminta maaf, kalau tidak kami tak akan pulang dari sini," teriak salah satu orator dari atas mobil komando. Meskipun mengatasnamakan pembela Islam, dalam aksi itu kata-kata makian pun berhamburan."Musuh kita adalah bajingan-bajingan yang ada di dalam gedung ini. Musuh kita bukan bapak-bapak polisi, musuh kita adalah keparat-keparat yang ada di dalam sana," kata seorang orator sambil menunjuk ke arah Gedung Tempo, seperti ditulis portal berita CNN Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita tinggalkan sejenak aksi massa FPI itu. Marilah kita telisik gambar karikatur yang menyulut aksi demonstrasi itu. Dalam karikatur itu digambarkan sosok pria dengan memakai gamis yang sedang mengobrol dengan seorang perempuan. Pria itu mengatakan bahwa dirinya tidak jadi pulang. Sang perempuan pun mengatkan, "Yang kamu lakukan itu Jahat."

Jika kita telisik, apa yang dikatakan sang perempuan seperti yang dikatakan Cinta dalam film AADC (Ada Apa Dengan Cinta) 2. Saat itu Cinta, yang diperankan oleh Dian Sastro Wardoyo, sedang marahan dengan Rangga, yang diperankan Nicholas Saputra. Cinta marah kepada Rangga karena merasa dipermainkan. Begitu kira-kira sebagian jalan cerita film AADC 2.

Pertanyaan berikutnya adalah, siapa pria dengan baju gamis itu? Apakah itu Rangga?

Tidak ada yang tahu. Karena pria dengan baju gamis itu digambar dari arah belakang. Entah mengapa tiba-tiba massa FPI justru menginteprestasikan pria yang memakai baju gamis itu sebagai Rizieq Shihab, imam besarnya.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa massa dengan mudah bergerak atau digerakan untuk melakukan demonstrasi ke TEMPO padahal belum jelas siapa sosok pria dengan baju gamis dalam karikatur itu?

Demonstrasi yang terjadi di kantor TEMPO itu adalah gambaran sekilas fenomena gunung es dari arus besar di negeri ini. Arus besar itu adalah kultus individu. Sebagian orang kini cenderung memuji idolanya itu setinggi langit. Tidak ada orang yang boleh melontarkan kritik terhadap sang idola. Kritik berarti menghina. Orang-orang seperti Megawati, Jokowi, Prabowo, Anies Baswedan, Ahok dan Rizieq Shihab kini cenderung dikultuskan oleh sebagian pendukungnya. 

Siapapun orangnya, apakah itu Megawati, Jokowi, Prabowo, Anies, Ahok dan Rizieg adalah manusia biasa. Mereka bukanlah seorang Nabi atau Rosul yang maksum atau terpelihara dari dosa. Karena itulah kritik terhadap mereka sebagai sesuatu yang wajar. Bisa saja kritik itu diekspresikan melalui tulisan ataupun gambar semacam karikatur.

Mungkin sudah menjadi karakter TEMPO untuk menjadi perusahaan media yang selalu melawan arus besar di masyarakat. TEMPO mencoba melawan arus besar kultus individu yang tengah terjadi di masyarakat kita. Sebelumnya, saat Soeharto dengan Orde Baru berkuasa dan dikultuskan, TEMPO juga malakukan hal yang sama.

Bedanya, jika saat mendapat serangan balik karena melawan arus besar kultus individu terhadap Soeharto, TEMPO mendapat support dari masyarakat sipil, kenapa sekarang suara masyarakat sipil nyaris tak terdengar? Selama 32 tahun rejim Soeharto menerapkan menejemen ketakutan. Namun, saat TEMPO diserang karena melawan kultus individu atas Soeharto, masyarakat sipil nampak tidak takut. Lantas, kenapa sekarang justru nampak diam?

Bisa jadi ketakutan kini tengah merasuki alam bawah sadar sebagian masyarakat kita. Kita bersama-sama tidak melawan arus besar kultus individu karena takut dianggap kafir atau antek PKI (Partai Komunis Indonesia). Kini seakan stigma kafir dan antek PKI begitu menakutkan di negeri ini. Orang yang mendapatkan stigma itu seakan boleh diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Padahal dalam ajaran agama, kultus individu justru berpotensi menghantar orang untuk menyekutukan Tuhan.

Kita sedang berjalan dalam lorong gelap. Awan gelap kultus individu sedang menutupi sinar matahari di bumi nusantara. Akan kah kita diam sambil menunggu awan gelap itu pergi dan matahari kembali bersinar? Tidak, kita tidak bisa menunggu. Di tengah gelap itulah kita harus menyalakan lentera. 

Ikuti tulisan menarik firdaus cahyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler