x

Iklan

hendrik doni

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Fenomena “The God Father" dan "Gangster Politik”

Proses awal pemilihan kepala daerah yang transaksional ini menyisakan berbagai persoalan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kita baru saja menapaki awal tahun 2018,  gegap gempitanya petasan  penyambutan tahun baru, tidaklah seberapa jika kita bandingkan dengan meriahnya   Sorak-sorai pendukung kandidat-kandidat kepala daerah pada musim pencalonan di negri ini. Ibarat perang dimasa silam,   gendrang-pun telah ditabuh dan persaingan bahkan “pertempuran” pun telah bermula sejak proses pencalonan dimulai baik antar partai maupun eksternal partai politik..

khalayak umumpun menyaksikan betapa proses awal pemilihan kepala daerah yang transaksional ini telah menyisakan berbagai persoalan pelik dan rumit bagi negri pada masa ini bahkan dimasa depan.  sebagai akibat langsung dari terlalu kencangnya gendrang perang politik ditabuh, berakibat bunyinya bertalu-talu. persaingan politik dala proses pencaloan oleh partai politik terlihat cendrung berjalan secara tidak fair  diantara kandidat bakal calon kepala daerah dengan indikasi maraknya  isu “mahar politik”

 manakala bakal calon dan kandidat-kandidat bersaing mendapatkan sebuah “tiket dan kendaraan” yang tentu saja kemudian berharga mahal bahkan melangit sebagai akibat dari suatu hukum yang  dapat kita sebut sebagai hukum “pasar politik” manakala political resoucrhes (sumberdaya politik) tidak sebanding “political demand” serta  “political redistribution” maka muncullah perilaku politik “Give”and ”Take”… “berilah dulu.. baru anda mendapat!”

oleh karena itu dapat difahami pula mengapa kemudian kita sering mendengar suatu perilaku politik yang seolah-olah lumrah dinegri ini apa disebut sebagai proses transaksi politik (political transaction). Sehingga bagi sebagian kandidat,  keberhasilan dirinya mendapatkan suatu rekomendasi partai-partai pendukung sebagai calon kepala daerah dimaknainya pula sebagai sesuatu “kemengan luar biasa sementara”. Mengapa demikian?   karena bakal calon kepala daerah itu telah melewati peristiwa-peristiwa “luar biasa”  yang jika saja mereka mau jujur.. maka akan membuat anda mengeleng-gelengkan kepala bahkan mungkin “ seonyong konyong akan keheranan “gile bener”.. bahasa betawi nye.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Loh ! peristiwa apa itu? maka jawabannya takkan jauh dari bagaimana proses proses pilkada diwarnai oleh permasalahan klasik yang tak kunjung sudah… yaitu antara “ kuasa, harta, wanita dan mafia bahkan “alam gaib sana” yang terkadang tak mampu kita cerna dengan akal kepala.

Tulisan ini tak akan menjelaskan semua peristiwa-peristiwa  “luar biasa” yang umumnya dialami para kandidat tersebut, kali ini saya akan mencoba mendeskripsikan -menganalisis persoalan yang sedang hangat-membara terlebih dahulu yaitu “pemalakan” bakal calon dan kandidat kepala daerah.

Sebagaimana kita ketahui bahwa dimasa-masa pencalonan ini, Partai Politik sebagai infrastruktur politik yang fundamental dalam negara demokrasi sejatinya melakukan proses rekruitmen politik dengan menyeleksi para bakal calon kepala daerah secara baik dan fair. Pertanyaan kita kemudian timbul mengenai persoalan-persoalan Bagaimanakah proses political recruitment itu berjalan? apakah sesuai dengan etika-moral, fairness dan hukum yang berlaku di negara tercinta ini?

 Hampir semua orang memahami bahwa seorang calon akan menjadikan partai politik sebagai Kendaraan dan syarat wajib untuk dapat melakukan pendaftaran calon kepala daerah di KPUD jika tidak melalui jalur independen. elit-elit partai politik menyadari betul apa makna dibalik Syarat tersebut.

ya! meraka sadar betul bahwa mereka sangat dibutuhkan dan sangat penting bagi bakal calon-calon kepala daerah tersebut, sehingga partaipun-pun menjelma menjadi  “lembaga super” bagi kandidat-kandidat, sementara sebagian pengurus-pengurus Partai pun “berevolusi” menjadi orang- “orang super ” pula bak “manusia dewa”. Karena itulah kemudian penting betul  bagi seorang  kandidat menyadari dan menghapal “lirik dan makna” sebuah lagu lama “kaulah segalanya” jika tidak ingin menendangkan lagu “merana”..bagaimanapun caranya!. begitulah agak-agaknya sebagian cara berpikir bakal calon dan elit partai politik negri ini.

dan jikalau kata-kata “bagaimanapun caranya” telah terniat dan banyak menjadi “idiologi” bagi seorang bakal calon kepala daerah, calon presiden dan pengurus Partai, maka disaat itu pulalah hukum transaksi politik berlaku.

Konsekuensi logis dari persoalan itu, maka akan berlaku pula apa yang kita sebut sebut sebagai  hukum “kuasa korupsi” karena kita hanya akan menunggu saja terjadinya sebuah siklus-syaitan antara syahwat kekuasaan,  kerakusan ekonomi, ekploitasi serta korupsi yang jika “dikawinkan” maka tak pelak lagi “lahirlah kemudian turunan beranak pinak  “anak haram” penyakit  sosial lainnya. seperti kriminalitas, kemiskinan dan kekuasaan otoritarian dan lain-lain.

Apabila siklus tersebut benar-benar terjadi, maka selanjutnya sukar untuk dihindari wujud partai politik yang menjelma menjadi kartel-kartel dan genster politik dimana oknum-oknum tertentu kemudian  akan “mengevolusi diri” pula bak “Big Boss: atau “The God Father” yang dalam politik Indoensia perlu dikenalkan juga istilah God Mother” yang ditakuti “anak buah” dan “musuh” serta  koleganya. saking berkuasanya mereka..maka bagi anak buahsabar-sabarlah menempuh gelombang laut hingga mabok skalipun.. tunggu sajalahlah “petuah” dan “perintah”, sementara Bagi para bakal calon Kepala daerah selain dari sabar..ingat-ingatlah selalu,  jangan pernah mencoba tidak loyal, membocorkan rahasia, mengakui apatah lagi mengikiri janji,  jikalau tidak ingin “mati” sebagai kandidat yang gugur sebelum bertempur ke medan perang serta dampak-dampak  lanjutan lain setelah itu.

 Pengibaratan kondisi seperti ini mungkin bagi sebagian orang berlebihan, namun realitas politik negri hari ini tidak lebih baik dari hal–hal yang digambarkan terdahulu, kasus panas dan teranyar yang terungkap kepermukaan : “Lanyala VS Gerindra dalam proses pencalonan Gubernur Jawa Timur, dimana Lanyala menuduh “Gerindra telah memalaknya” (oknum DPP dan DPD) dengan uang Milyaran Rupiah untuk harga sebuah “Rekomendasi” pencalonannya sebagai Gubernur Jawa Timur.

Peristiwa ini kemudian membuat suhu politik nasional menjadi bara panas menggelora yang hingga saat ini masih menyala mengingat dalam kasus ini Gerindra sebagai salah satu kekuatan opisisi utama dan Prabowo sabagai bakal calon Presiden 2019. Bagi para simpatisan dan pendukungnya kasus ini diinterprestrasikan sebagai monuver dan penghianatan yang dimanfaatkan lawan politik, sehingga mereka dijadikan “target tembak” lawan-lawan politiknya itu. namun terlepas dari persoalan Gerindra dan Prabowo tersebut, Kasus dan persoalan ini menimbulkan pertanyaan besar bagi kita;  “ apakah kasus “pemalakan” bagi bakal calon kepala daerah bahkan proses pencapresan ini jamak serta umum berlaku dalam perpolitikan Indonesia? Apakah partai-partai  politik meminta sejumlah “cost” untuk suatu tiket pencalona Kepala daerah? jika iya seberapa besarkah cost itu?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita coba menganalisis perilaku politik dan orgnisasi politik di Indonesia melalui satu “pintu” saja dulu..yaitu  Analisis karakteristik partai politik yang cendrung berkembang kepada un-idiologies dan pragmatis. konsekuensinya perilaku elit politik akan menjadi lebih cendrung mengendepankan pragmatisme dan materialistic. Jangan kau sebut cita-cita idiologis dan idealis kawan!, karena umumnya hanyalah menjadi  “buku” hiasan dilemari  kantor partai dan “dongeng” di mimbar pidato.. bagitulah agaknya sebagian celoteh kawan-kawan mantan aktivis kampus yang sudah menjadi politisi-politisi di negeri ini  . 

Dari persepektif karakteristik organisasi saja, sudah noktah persoalnnya,  belum lagi dari segi sistem politik kita yang terkadang memang sengaja dibuat tidak sempurna sebagai akibat dari verset inters partai politik itu sendir. dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa “kasus Pemalakan” oleh partai politik kepada Kepala daerah adalah kemungkinan besar Jamak dan umum berlaku. sehingga kasus “Gerindra Vs Lanyala hanyalah dapat diibaratkan “sebutir pasir” di dihamparan padang pasir yang begitu luas dan panas, namun manaka kita hendak mengambil satu butir dengan tangan untuk menjukkan sesuatu, maka hal itu sesuatu yang sangat sukar karena saking banyaknya butiran pasir di hamparan padang pasir yang tiba tiba bisa saja berubah menjadi badai pasir ganas dan mematikan tersebut. 

besaran “cost” untuk membeli sebuah kendaraan memang sangatlah beragam, tergantung dimana jika kita ibaratkan dalam sitem kapitalis maka hal tersebut dintentukan oleh hal-hal seperti; seberapa besar potensial buyer dan daya beli dari pada kandidat ?(kandidat kaya/miskin? orang dalam atau orang lur), Jenis barang yang akan diangkut (produk usang, berat atau produk ringan tapi berharga?), serta besarnya market/geografis politik itu sendiri (daerah kaya-besar/kecil). besaran harga kendaraan tersebut memang beragam, namun dipastikan harganya milyaran hingga ratusan milyar rupiah, itu baru untuk harga satu kendaraan. Dikalikan saja jika kendaraanya tidak satu dan jenis kendaraan mewah pula. kita tidak memungkiri ada satu dua kader partai tidak membayar untuk menumpang kendaraan itu, namun bagaimana dengan pasangannya?apakah gratis?dipastikan tidak. persoalan cost politik yang dibungkus dengan biaya-biaya saksi, pertemuan dan lain-lain itu akan jauh lebih tinggi lagi jika nanti masuk pada masa kampanye dan pemilihan. disinilah biasanya masa uang-uang “siluman” bermain dan menghipnotis.

Lalu pertanyaannya sekarang ialah bagaimanakah persoalan ini kita atasi di masa depan? jika kita ingin negri ini keluar dari persoalan yang mendarah daging ini untuk dapat menatap persoalan lain , maka dalam konteks itu terdapat beberapa langkah yang seharusnya kita ambil diantaranya;

  1. Dalam persepktif organisasi, maka hal ini bisa kita mulai benahi dari mereformasi organisasi partai politik itu sendiri. dimana sangat penting membangun partai politik yang berkarakteristik idiologis sehingga perjuangan kadernya betul betul menjadi idealis dan meminimalisir prgamatisme serta materialistik.hal ini akan membawa partai politik menjadi organisasi yang kuat dan disiplin dalasm mencapai visi misi idiologisnya.
  2. Penanaman nilai/sosiliasi  idiologis dan cita-cita idealis organisasi kepada kader dilakukan secara sistematis, kuat dan berkesinambungan. penanam nilai dan sosialisasi kader yang baik, akan melahirkan aktifis-aktifis partai yang tangguh dan berdisiplin dalam memperjuangkan fisi-misi partai yang bersifat idiologis dilandasi semangat idealisme dalam bernegara dan bermasyarakat.
  3. Proses rekruitmen politik partai politik haruslah membudayakan bahkan mengharuskan Kadernya melalui tahapan yang berjenjang, sehingga seorang aktifis partai memiliki jenjang karir yang jelas dan rigid.sehingga ada kepastian dan tidak menjadi politisi lompat-lompat, seprti wujud-wujud didapatkan jabatan tinggi dalam partai oleh orang yang baru saja masuk partai.  Hal ini akan membawa dampak partai politik akan menjadi organisasi yang kuat dalam hal regenerasi dan meminimalisir terjadinya “money politik sogok menyogok” dalam proses seleksi jabatan politik di kepengurusan partai itu sendiri.
  4. Rekruitmen politik untuk jabatan publik mengharuskan kader partai politiknya sendiri,  terlepas dari potensi kalah dan menangnya. urgensinya ialah jika kader dengan maka telah “mendarah daging” idiologi visi misi partai dalam jiwanya. sehingga partai dapat memilki “Trust dan loyalitas” berbanding “orang luar”. jika ini terjadi, maka makna pencalonan seorang kader ialah makna “perjuangan” bukanlah kemenangan saja. implikasinya akan menutup celah “money politic” dari kandidat “orang luar” maupun internal partai. Sehingga proses “palak memalak” akan otomatis berada pada titik minimalis dan cos politik kandidatpun menurun
  5. Melakukan lelang jabatan secara terbuka, berkala  dan sistematis untuk internal partai. Hal ini akan berdampak pada persaingan bakal calon berlangsung secara fear dan terbuka. Misalnya melalui konvensi Presiden, Gubernur dan Bupati/Wali kota yang dapat diselenggarakan dan diawasi oleh panitia independen negara misalnya sehingga mengurngi potensi kecurangan.
  6. Meneggakkan proses reward and punishment kepada kader secara konsisten. termasuk kepada kader umum dan yang sedang memegang jabatan publik. hal ini berdampak terhadap semnagat  kader untuk berusaha secara maksimal dan konsisten memperjuangkan idiologi dan idealism partainya, jika ingin dukungan politik partainya terus diperoleh     
  7. Perlu reformasi sistem politik dan perundang undangan serta penegakkan hukum terhadap partai politik yang melanggar. sebagai contoh, kita memerlukan perubahan undang-undang mengenai pembiayaan partai politik yang seharusnya dilakukan secara terbuka dapat diaudit serta diakses oleh rakyat. selain dari itu, pembiayaan partai politik ini haruslah memiliki standar minimal dan maksimal. misalkan, negara menjamin pembiayaan partai politik yang lolos dalam parlemen untuk operasional standart yang ditentukan secara jelas dan rigid  penggunaanya.dan harus bisa diaudit, jika tidak dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi karena diberi oleh negara. Begitupun batas maksimal sumbangan, harus jelas pula dari mana dan untuk apa digunakan. hal ini akan menutup peluang adanya sumbangan sumbangan “haram” yang biasanya disertai dengan perjanjian dan komitmen tertentu dari dua belah pihak, apakah dari individu, pengusaha, konglomerasi dan lain lain yang dibelakang hari dapat merugikan rakyat.

 

law inforcement terhadap peraturan dan perundang-undangan harus ditegakkan secara konsisten tanpa tebang pilih. dimana jika dilanggar ada ancaman suatu partai atau kandidat di diskualifikasi selama 5 tahun misalnya.jika betul betul dijalankan secara konsisten, maka dipastikan partai dan kandidat tidak mau lagi bermain-main mata.

  1. Penyederhanaan partai politik. Kita sering mendengar perkataan para politisi, bahwa “partai kami memiliki visi dan misi  yang sama dengan partai A, B, C”.., sehingga kita saling mendukung kepada calon tertentu”.jika kita tilik lebih dalam pernyataan yang biasanya sangat laris pada masa-masa pencalonan dan pemilihan Presiden serta kepala daerah ini, maka secara umum partai-partai tersebut mengakui banyak kesamaan, maka alangkah lebih baik jumlah partai-partai tersebut direstrukturisasi. Bayangan saya bahwa di Indonesia cukup 20-25% saja parlement tresholdnya, sehingga secara alami partai partai politik akan  berfusi dan berintegrasi dengan partai lain yang berdekatan secara idiologis visi dan misinya. jumlah partaipun kemudian cukup menjadi 4-5 partai politik saja. hal ini berdampak kepada semakin kecilnya peluang transaksional politik antar elit, antar broker politik yang begitu banyak dan kompleks selama ini.hal ini juga akan berdmpak akan meminimalisir pula biaya politik dalam partai maupun biaya politik dari negara.
  2. Memberikan peluang untuk calon independen dari tingkat Presiden hingga Bupati. hal ini akan melahirkan proses recruitmen politik dan penjaminan hak-hak politik dari segala komponen bangsa. Dampaknya ialah jabatan politik tidak lagi menjadi monopoli partai politik dan proses ini akan membawa atmosfir persaingan yang lebih fear karena masyarakat disuguhkan alternatif-alternatif kepemimpinan terbaik yang lebih beragam dari segala komponen bangsa yang tentunya akan meningkatkan kualitas-kualitas calon pemimpin. jika calon calonnya sudah berkuliatas, maka tentu akan terpilihlah pemimpin yang berkualitas  relatif lebih baik, karena kita memilih satu diantara “orang baik-baik”, bukan satu diantara yang orang buruk apatah lagi jika kita hanya disuguhkan calon diantara “God father” atau God Mother” tadi..alah makk.. ngeri negri!
  3. Budaya politik kritis dari masyarakat harus terus dipupuk dengan melakukan pendidikan politik secara sistematis dan kritis. Negara harus memberikan sokongan fasilitas dan dana yang memadai . hal ini dapat dimulai dengan membentuk KPP (komisi pendidikan Politik). Perlunya lembaga yang bersifat ad-interm (sementara) ini,  agar fokus dan terukur kerjanya, dimana dalam menjalankan kewenagannya dapat bekerja sama dengan lembaga negara yang lain,   organisasi sosial, serta pendidikan. pendidikan politik yang baik dan sistematis akan berdampak kepada, semangat dan jiwa kritis masyarakat dalam proses penyelenggaraan negara akan terwujud, sehingga akan menciptakan generasi politik zaman now (millennia) yang cerdas dan kritis pula terhadap kekuasaan. Proses ini akan membentuk siklus “voter-kandidat” yang berkualitas pula untuk menyeleksi jabatan public negri. suara voter pun takkan dapat lagi terbeli  yang pada akhirnya melahirkan pemimpin-pemimpin amanah, cerdas, dan bermoral tanpa politik transaksional demi memenangkan suatu jabatan politik. inilah siklus politik/perkawinan voter dan kandidat yang baik dalam proses demokrasi dengan “anak cicit” out put demokrasi yang berkualitas serta negri yang lebih cerah.amiin

 

oleh: Doni Hendrik

Pengamat politik-Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas, Mahasiswa S3 Ilmu Politik Ankara university dan Unpad.

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik hendrik doni lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler