x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kitab yang Ditulis Para Diktator

Banyak tiran penguasa meninggalkan tulisan yang bukan hanya mengespresikan cita-cita ideologis mereka, tapi juga menyingkapkan rupa jiwa mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Infernal Library:
On Dictators, the Books They Wrote, and Other Catastrophes of Literacy
Daniel Kalder, 2018

 

Bukan hanya Adolf Hitler dan Mao Zedong yang meninggalkan warisan pustaka, bahkan sejak masa Kekaisaran Romawi pun para diktator telah menulis buku. Para diktator merasa bahwa jejak historis yang mereka tinggalkan mesti dilengkapi dengan karya tulis. Mereka menulis sendiri (atau dituliskan oleh ghost writer) tentang bangunan ideologis cita-cita mereka, teori sosial, memoar, bahkan juga puisi dan novel.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagian karya para despot itu ternyata masih ditakuti hingga kini. Mein Kampf, buku yang ditulis Hitler semasa dipenjara, masih termasuk buku terlarang menurut kebijakan pemerintah negara bagian Bavaria, Jerman. Ideologi Hitler tentang keunggulan ras kulit putih agaknya memang masih diikuti di banyak tempat, bahkan melampaui wilayah Jerman. Jejak kerusakan sosial yang ditimbulkan tampaknya masih berlanjut hingga kini karena masih banyak orang kulit putih yang menganggap diri mereka sebagai ras unggulan.

Apa yang dipikirkan oleh para diktator sehingga mereka merasa sangat penting untuk menulis? Melalui risetnya yang mendalam, Daniel Kalder berusaha menyingkapkan apa, mengapa, dan bagaimana para diktator menyusun warisan pustaka mereka. The Infernal Library, karya Kalder yang terbit pada Maret 2018 ini, menyingkapkan fakta historis yang mengejutkan bahwa banyak diktator memulai karier mereka sebagai penulis. Ketika berkuasa, mereka memahami benar pentingnya mengendalikan masyarakat melalui tulisan. “Melalui tulisan, para diktator membentuk konsepsi kita mengenai sejarah abad ke-20,” kata Kalder.

Tulisan para diktator bukan hanya menyingkapkan cita-cita ideologis mereka, tapi juga ‘rupa jiwa’ mereka, antara lain kecenderungan megalomania. Kalder memulai bukunya dengan kisah tentang Lenin yang menyebarkan gagasannya melalui tulisan, namun ‘segera setelah revolusi pecah, ia memantapkan kendali atas tulisan’. Hitler digambarkan sebagai sosok yang merayu pembacanya dengan menggambarkan dirinya sebagai ‘anak takdir’ dan pilihan logis bagi penyelamatan bangsa selama masa kekacauan.

Bila karya para tiran ini dapat digolongkan sebagai sebuah genre, maka karya mereka termasuk dalam ‘genre of dictator literature’ yang dilukiskan oleh Kalder memiliki karakter ‘kering, agresif, dan dirancang untuk mendistorsi realitas’. Lenin memperkenalkan ‘visi tentang teks sebagai peperangan’ dengan gaya yang luar biasa agresif, seperti yang ia tulis dalam pamflet “Pemusnahan Para Pemusnah”—sebuah teori tentang aksi politik yang membentangkan jalan bagi katastrop.

Sebelum berkuasa, Mussolini menulis novel yang kemudian diterjemahkan oleh Hiram Motherwell sebagai The Cardinal’s Mistress (novel ini masih dijual di situs amazon.com). Dalam sebuah drama tentang hari-hari terakhir Napoleon, Mussolini menuliskan ramalan tentang masa depan dirinya sebagai penguasa dengan mengingatkan bahwa ‘hari-hari otokrasi sudah berakhir’.

Kalder menulis buku menarik tentang orang-orang yang percaya benar bahwa tulisan mampu mengubah realitas. Mereka percaya bahwa tulisan mampu menginfiltrasi dan mengubah pikiran manusia. Sekalipun, untuk mewujudkan apa yang mereka tulis, mereka tidak segan-segan memakai kepalan tangan. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu