x

Iklan

Dini Pratiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kenaikan Suhu Bumi yang Membahayakan Kehidupan Makhluk Hidup

Menjaga Suhu Bumi dibawah 1,5 derajat celcius

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak abad 20 suhu bumi terus mengalami kenaikan dan telah membuat perubahan iklim terjadi semakin cepat.    Berbagai upaya seperti reboisasi dan penggunaan energi terbarukan sedang diupayakan oleh hampir seluruh negara di dunia untuk menjaga kenaikan suhu bumi dibawah 1,50C. 

Data NASA menunjukan suhu bumi mulai bertambah sebesar 0.10C pada abad 20, dan mengalami peningkatan sebesar 0.90C sampai sekarang.  Revolusi industri di abad 18 membuat kadar CO2 di udara meningkat lebih dari 30% sehingga membuat suhu bumi naik.  Data ini diperkuat oleh kurva Keeling yang menunjukan konsentrasi CO2 terus meningkat dari 317 ppm sampai 408,79 ppm dari tahun 1960 sampai 2018.  Semua dimulai ketika negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa berlomba-lomba mengembangkan energi dan transportasi menggunakan bahan bakar fosil yang disebut sebagai energi kotor.  Banyaknya Gas Rumah Kaca (GRK) seperti CO2 yang dihasilkan energi kotor membuat panas matahari yang masuk ke bumi menjadi terperangkap di atmosfer dan menjadikan suhu bumi menjadi semakin panas. Menurut penelitian yang dilakukan University of Washington, ada kemungkinan sebesar 90% suhu bumi akan naik sebesar 20C sampai 4,90C pada tahun 2100.

Gunung es di Antartika dan Greenland mengalami penurunan massa es sejak tahun 2002 dimana saat itu suhu bumi meningkat sebesar 0,620C.  Terjadinya gletser tidak hanya sebatas di kutub saja.  Penelitian yang dilakukan oleh Klein menyatakan bahwa puncak Jaya kehilangan luas permukaanya sebesar 0,174 km2 pada tahun 2002.  Munculnya kembali El-Nino tahun 2016 membuat es puncak Jaya yang awalnya setebal 31,49 m berkurang menjadi 20,54 meter.  Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan puncak Jaya akan lenyap pada tahun 2020 jika suhu bumi terus meningkat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Suhu bumi yang terlalu panas membuat es di kutub menjadi retak sehingga pecahan es tersebut akan mencair dan mengalir ke laut.  Semakin banyaknya es di kutub yang mencair, maka permukaan air laut akan semakin bertambah.  Permukaan air telah mengalami kenaikan sebesar 19 cm pada abad ke 20.  National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memperkirakan permukaan air laut di bumi akan naik sebesar 2,5 m pada tahun 2100. Mencairnya es kutub akan menimbulkan malapetaka yang besar terutama bagi penduduk yang tinggal di daerah pesisir. Kenaikan permukaan air laut secara terus menerus dapat mengancam keberadaan pulau-pulau kecil seperti Maldives, Tuvalu, dan Kiribati.  Surabaya dan Jakarta yang terletak di daerah pesisir juga terancam tenggelam tahun 2100 (WWF, 2007).  Jika ini terjadi, maka seluruh penduduk yang tinggal di wilayah pesisir harus bermigrasi ke daerah dataran tinggi.  Akan banyak sekali kerugian yang harus ditanggung oleh masyarakat pesisir bahkan negara apabila seluruh wilayah pesisir terbenam air laut.

Suhu bumi yang terus meningkat juga memperbesar potensi berbagai penyakit endemik seperti malaria dan demam berdarah di negara tropis seperti Indonesia.  Pengaruh tingkat curah hujan dan suhu yang semakin panas membuat nyamuk anopheles, penyebab penyakit malaria,berkembang biak semakin cepat.  World Health Organization mencatat 214 juta kasus baru malaria di dunia dengan angka kematian sebesar 438 ribu orang tahun 2015, dimana sebagian besar korban adalah balita.  Sebuah kenyataan yang sungguh mengerikan melihat perubahan iklim dapat mengancam nyawa manusia.  Nyamuk aedes aegypti juga memiliki peluang bertambah banyak seiring dengan naiknya suhu bumi dan meningkatnya curah hujan.  Pernyataan ini diperkuat dari penelitian yang dilakukan oleh Hales yang menyatakan pada tahun 2085 resiko penyakit demam berdarah akan mengancam 50% sampai 60% populasi manusia di dunia jika perubahan iklim terus terjadi.

Kesepakatan Paris yang telah ditandatangai lebih dari 100 negara di dunia menjadi target internasional untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,50C.  Batas tertinggi kenaikan suhu bumi sebesar 1,50C dapat dicapai jika emisi karbon dibatasi tidak lebih dari 2.9 triliun ton.  Salah satu upaya untuk menjaga kenaikan suhu dibawah 1.50C adalah mengganti energi fosil menjadi energi terbarukan yang ramah lingkungan, mengurangi deforestasi dan melakukan reboisasi.

Beberapa negara maju dan berkembang mulai meninggalkan energi kotor dan beralih ke  energi terbarukan. China yang merupakan salah satu negara penyumbang emisi GRK terbesar di dunia mulai meninggalkan energi kotor dan beralih ke energi bersih seperti energi angin.  Bahkan negara ini mendapat peringkat pertama di dunia dalam produksi energi terbarukan sebesar 1.425.180 GWh berdasarkan informasi worldatlas.

Saat ini Indonesia masih bergantung pada energi fosil sebagai sumber utama penghasil listrik.  Beberapa Non Goverment Organization (NGO) seperti 350 Indonesia, Greenpeace Indonesia, JATAM dan Wahana Lingkungan Indonesia mulai mendesak pemerintah agar segara menghentikan penggunaan energi kotor dan beralih ke energi bersih.  Desakan ini diperkuat dengan aksi kampanye-kampanye mereka agar pemerintah Indonesia membatalkan pembangunan 9 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. 

Pengembangan energi terbarukan merupakan usaha yang harus dicapai Indonesia untuk mengurangi emisi GRK.  Namun, deforestasi menjadi masalah utama yang harus dihadapi negara ini untuk mengurangi kadar CO2 di udara.  Berdasarkan data dari World Resource Institute (WRI), Indonesia merupakan menduduki peringkat ke tujuh sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia dan 65,6% emisi GRK di Indonesia dihasilkan dari deforestasi.  Berdasarkan informasi FAO State of Forest tahun 2011 Indonesia menduduki peringkat dua di dunia dalam deforestasi.

Tidak hanya meningkatkan kadar GRK saja, deforestasi juga mengancam nyawa banyak makhluk hidup dan telah menyebabkan banyak spesis punah.  150 ribu orang utan di Kalimantan telah punah dalam 16 tahun terakhir.  Mengurangi deforestasi dan degradasi di Indonesia merupakan tindakan mendesak yang wajib dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi emisi GRK.

Tindakan lain yang harus dilakukan untuk menurunkan kadar GRK disamping mengurangi deforestasi yaitu memaksimalkan ekosistem pantai yaitu blue carbon.  Mangrove, padang lamun, dan Kawasan payau merupakan ekosistem pantai yang dapat menyerap karbon yang disebut dengan blue carbon. Sebagai penghasil mangrove terbesar di dunia dengan luas 3.112.989 ha, mangrove di Indonesia berperan banyak dalam mengurangi emisi karbon dengan menyerap karbon dan menyimpannya di tanah. Berdasarkan data Conservation International, mangrove memiliki kemampuan menyerap CO2 tujuh kali lipat lebih banyak dibandingkan hutan tropis.

 

Upaya pelestarian mangrove juga didukung oleh kaum anak muda.  Salah satunya adalah aktivitas penanaman mangrove dalam kegiatan International Maritime Youth Program (IMYP) di Majene, Sulawesi Barat, Indonesia.  Pada bulan Juli 2017, puluhan pemuda dari berbagai negara antara lain Indonesia, Vietnam, Kamboja, Australia, Rusia, dan Thailand ikut serta dalam IMYP selama seminggu untuk mengenal lebih jauh sektor maritim di Indonesia, khususnya di Sulawesi Barat.  Salah satu aktivitas dari kegiatan IMYP ini adalah menanam bibit mangrove di Mangrove Learning Center yang terletak di Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene.  Baik peserta IMYP maupun panitia IMYP yang merupakan mahasiswa-mahasiswi Universitas Sulawesi Barat sangat antusias untuk ikut terlibat dalam kegiatan menanam bibit mangrove. Setiap peserta menanam sebanyak 4 bibit mangrove dan jika dijumlah maka ada sebanyak puluhan bibit mangrove yang ditanam dalam kegiatan itu.  Uniknya bibit-bibit mangrove ini ditanam di karang mati, tidak seperti pada umumnya bibit mangrove yang ditanam di tanah lumpur.

” Peran pemuda sangat besar dalam melestarikan mangrove karena kaum muda adalah kaum yang diharapkan sebagai penerus dalam mengembangkan mangrove.  Kawasan Mangrove Learning Center ini juga membuat tatanan hutan mangrove menjadi lebih terawat.", kata Aisyah yang merupakan salah satu peserta IMYP.

Fadri, salah satu mahasiswa Unsulbar yang menjadi panitia IMYP menyatakan, ”Kegiatan penanaman mangrove dalam IMYP sungguh luar biasa.  Kita jadi mengetahui manfaat mangrove yaitu dapat dibuat menjadi obat dan tingkat kepedulian masyarakat di sekitar pesisir semakin tinggi untuk menjaga mangrove sebab mangrove dapat melindungi tempat tinggal mereka yang berada di pesisir dari abrasi laut.”

 Indonesia perlu cepat bertindak dalam sektor energi maupun kehutanan untuk mengurangi kadar emisi GRK di udara.  Target untuk menjaga kenaikan suhu dibatas maksimal 1,50C pasti akan tercapai jika seluruh negara di dunia berkomitmen dan bertindak untuk menurunkan emisi GRK di atmosfer.

 

oleh: Dini Pratiwi

 

 

Ikuti tulisan menarik Dini Pratiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu